Seluruh yang makan siang sudah kembali ke kantor. Memanfaatkan waktu sepuluhan menit sebelum kembali ke kantor, Rania mengajak Vonny untuk berbicara di smoking area. Ini dilakukan karena Rania merasa aneh dengan sikap Verdi. Ia tak perduli sebenarnya dan mulai terbiasa dengan sikap abainya. Tapi percakapan dengan Vonny di siang itu yang diisi dengan keduanya merokok, mengubah pandangannya.
"Jadi ceritanya sudah baikan nih?" tanya Vonny dengan suara perlahan sambil memainkan rokok mild di jemarinya.
"Baikan dengan siapa?"
Vonny mengulum senyum sambil mengerling ke posisi dimana Verdi tadi berada. Begitu menyadari maksudnya, muka Rania memerah.
"No way! Aku betul-betul nggak suka dengan orang ini."
"Lantas, kenapa bisa makan bareng doooong?" tanyanya sembari mengepul asap rokok ke udara yang diikuti Rania melakukan yang sama.
“Lagian, pake acara plirak-plirik segala.“
Ka
Permintaan Verdi untuk segera memulai pekerjaan langsung disanggupi dan proses audit pun segera dimulai.Verdi memang sangat piawai. Tak berlebihan jabatan Lead Auditor ia sandang. Sesaat setelah ia membaca Prosedur Operasi Standard, ia lalu mengajukan pertanyaan berdasarkan berkas itu. Pertanyaannya begitu rinci dan sangat dalam. Dengan kepandaian Verdi menginvestigasi dan merinci tak urung Rania terjebak dengan jawaban yang dikeluarkannya. Ada cukup banyak pertanyaan mengenai pelaksanaan prosedur yang dapat dijawab secara benar berikut penunjukan bukti-bukti berupa surat atau dokumen. Tapi satu-dua diantaranya memang begitu sulit dijawab sehingga membuat Rania tak urung harus mengakui bahwa terjadi kesalahan prosedural dalam departemennya."Gila, kamu teliti banget.""Aku bukan cuma Internal Auditor. Aku juga memimpin. Lead Auditor, remember?"Rania menyibak rambut. "Cieeeee. Ya, ya, ya. Dan aku juga keinget
Urusan di Polsek selesai. Verdi sudah di dalam kendaraan yang dalam perjalanan pulang dengan didampingi seorang pemuda. Mewarisi genetik dari sang ayah secara nyaris sempurna Terry, nama pemuda itu, seolah-olah adalah wujud Verdi dalam bentuh pemuda 20 tahun. Keduanya tidak berbicara sepatah pun sampai kemudian Verdi memecah keheningan. “Sampai kapan kamu terus bikin ulah yang bikin pusing Papa seperti ini?” Tidak ada tanggapan. Terry melempar pandangan ke luar, tanpa minat untuk menjawab pertanyaan itu. “Entah,” jawabnya. Tanggapannya yang dilontarkan lima menit kemudian menunjukkan keengganan yang kuat padanya untuk berbincang. “Jadi kamu gak ada keinginan berubah?” Pertanyaan tajam dan menusuk itu ditanggapi dengan senyum sinis. “Emang perlu berubah?” “Sialan. Ya tentu aja harus! Kita hidup dalam masyarakat dengan norma dan etika yang harus dipenuhi.” “Papa ngomongin soal etika? N
Hendi hanya melihat saja ketika keduabelah pihak sama-sama berargumentasi tanpa ada tanda-tanda seorang pun mengalah. Ia juga belakangan mencoba mengingatkan bahwa sekarang saatnya jam istirahat. Namun sayang peringatannya dianggap angin lalu. Bahkan ketika ia mengingatkan untuk kali ketiga, malah Verdi dan Rania secara berbarengan menoleh ke arahnya dan bertanya dengan berteriak: "Apa??!!" Disemprot seperti itu, Hendi terdiam dengan kedua tangan mengembang. Seolah berkata bahwa ia tak jadi menyampaikan sesuatu. * Kegalauan melanda Rania. Ibunya datang mendadak di rumah kontrakannya. Sempat cipika-cipiki yang kemudian dilanjutkan dengan aneka obrolan yang menghangatkan suasana, sejam kemudian sikap keduanya jadi berubah dingin. Kaku. &nb
Rania menggeleng. Ia jelas tidak suka dengan pertemuan dengan Verdi yang sebentar lagi bakal terjadi. Kemarin mereka berbaikan, tapi sore harinya bertengkar lagi. Hhhh…. Ia letih. Mereka sudah terlalu sering bertengkar. Sudah seminggu ini ia berada di perusahaan itu. Artinya selama itu pula ia mengenal Verdi. Namun kualitas hubungan mereka tidak berubah.“Jadi aku harus tunggu dia?” Rania menatap dengan tak bersemangat.“Nggak perlu menunggu. Itu dia,” penyelia, anak buah Hendi menunjuk ke suatu arah di belakang punggung Rania.Rania menoleh. Diantara tumpukan produk jadi dalam rak-rak penyimpanan, Verdi nampak berjalan mendekati tempat mereka. Sama halnya dengan mereka bertiga, Verdi sudah mengenakan pakaian, sepatu, dan helm proyek sebagai standar keselamatan dalam pabrik. Rania merasa dirinya seolah gila karena melihat Verdi dengan penampilan begitu saja membuat pria itu jadi menarik.
Berlembar-lembar kertas tisyu yang ada di sana diambil Renty dari kotaknya untuk kemudian digunakan demi melap bekas minuman yang tadi tumpah di tangan dan bajunya.“Pagi-pagi begini kamu sudah teriak-teriak hanya karena kecipratan air minum. Kamu kenapa?”Ditanya demikian, Renty justeru berang. “Elo nggak berasa ini gara-gara elo?”Rania terperanjat. Karena dirinya? Kenapa bisa jadi begitu?“Semua pekerjaan gue berantakan,” lanjut Renty. “Mr. Rajha komplain berat. Gue jadi keliatan bego.”Parjo meninggalkan ruangan sedangkan Rania duduk mendengarkan tuduhan Renty.“Ini soal apa sih sebetulnya?”Renty membalik badan dan menatap tajam ke arah Rania.“Ini soal email elo yang judulnya Shipping Companies. Email yang seminggu lalu dikirim ke gue tapi di-CC ke seluruh kantor di Asia Pasific tentang penen
Suasana dalam sebuah ruang rapat berukuran kecil sudah sejak tadi panas. Mulanya Angga hanya memanggil Ditya. Namun berikutnya ia juga memanggil Nurul untuk ikut serta dalam pertemuan penting siang itu. “Bapak manggil aku?” tanya Nurul saat muncul di muka pintu. “Ya. Duduk,” jawabnya sambil menunjuk bangku kosong di depannya dengan dagu. “Bapak lagi periksa sebuah kasus. Ini mengenai kasus perekrutan orang untuk Ever Foods.” “Perekrutan manajer ekspor?” “Iya, itu.” Pr
"Bapak malah mikir, jangan-jangan gara-gara suka ke dukun badannya jadi menciut jadi seukuran anak SMP, eh seukuran anak SD malah.""Hush! Koq udah main fisik?""Yeeee, ini bukan pengalaman pertama aku, Mbak. Coba deh sering-sering masuk ke ruang kerja nak Edwin, eh... pak Edwin. Kadang pas Kamis malem suka ada bau-bau kemenyan. Gak percaya kan?"Rania menutup mulut untuk menahan tawa. "Dosa ah jelek-jelekin orang."Parjo malah balik bertanya. Entah karena lugu atau pura-pura lugu. "Kalo ngomongin orang yang emang udah jelek, bukannya itu jujur namanya, Mbak? Malah dapet pahala dong! Itu sih bukan dosa!"Rania kini tertawa lepas. Pembicaraan itu benar-benar menarik dan di luar dugaan."Terus, kalau manajer atau staf lain bagaimana? Percaya tahayul juga?""Yang jelas selama 10 tahun di sini, ada satu boss yang Bapak tau paling gak percaya begituan. Benci malah. Namanya Pak Verdi."
“Ini dokumen lama dimana Invoicenya menunjukkan jumlah barang, deskripsi, harga per unit untuk produk yang sama.” Rania menunjukkan selembar dokumen di tangannya pada kedua petugas. Mereka melihat sepintas.“Ya, lantas?” “Nilai barang ini hanya 3 dollar saja,” katanya sambil menunjukkan sesuatu di Invoice yang adalah harga barang. “Ini adalah barang-barang yang kami kirim bulan lalu. Dan itu kami kirim lagi dimana bapak-bapak kemudian menilai kami melakukan kesalahan.” “Yakin harganya hanya segini?” “Tentu,” kali ini Rania menunjukan