Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
DIA MILIKKU"Kamu itu nggak pantas bersanding dengan Arka. Lihat, kamu dengannya itu jomplang banget!" seru Kak Sitha sambil menunjuk mukaku dengan muka merah padam. "Mas Arka sendiri yang bilang kalau ia mencintaiku, Kak," ucapku membela diri. Aku menatap wanita yang usianya hanya terpaut tiga tahun denganku itu. Ia balik menatapku sinis. "Cinta?" Kak Sitha tertawa lebar. Aku memutar bola mata malas melihat kakak perempuanku yang sombong dan terlalu percaya diri itu. "Dengar, ya, Ndah. Arka itu lebih pantas denganku karena aku sarjana, sedangkan kamu hanya tamatan SMA." Kak Sitha berkacak pinggang. Sorot matanya tajam dan penuh kebencian. "Aku memang hanya tamatan SMA, tetapi aku bisa cari uang dan tidak pernah merepotkan siapa pun," ujarku. Kak Sitha mendengkus, lalu berjalan mendekatiku. "Kamu menyindirku, hah?" Aku memegang tangannya dan tersenyum. "Aku tidak bermaksud menyindir, tetapi memang kenyataannya seperti itu," "Menyebalkan!" Setiap hari aku datang ke kantin sek
"Sebenarnya ini ada apa? Kenapa kamu bilang akan menikah sekarang juga?" tanya lelaki yang tadi dipanggil 'Pa' oleh Wiji. Tidak kusangka, lelaki itu sangat tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Kalau sudah tua saja gagah dan berwibawa, bagaimana saat masih muda, ya? Mungkin Wiji juga tampan andai wajahnya tidak rusak. "Sebenarnya ini hanya salah paham, Pa. Wanita itu memergoki aku yang sedang membantu Mbak Endah karena ia hampir jatuh, tetapi ia malah memanggil orang-orang dan bilang kalau aku sudah berbuat mes*m dengannya, padahal kenyataannya tidak seperti itu." Wiji menunduk. Lelaki itu menatap Wiji dengan sorot mata tajam. Lalu berpandangan dengan wanita yang ada di sampingnya. "Maling mana ada yang mau ngaku? Untung tadi aku melihatnya, kalau tidak, mungkin keperawanan adikku ini sudah hilang," ujar Kak Sitha ketus. "Cukup, Kak! Aku tidak seperti itu. Sudah kubilang kalau ini hanya salah paham!" Aku berteriak. Tanganku mengepal dan dadaku bergemuruh mendengar ucapan
Arka mendekatiku yang duduk berdekatan dengan Wiji. Mata elangnya menampakkan keberatan dengan hadirnya laki-laki yang wajahnya rusak itu. "Arka, aku akan menikah malam ini," ucapku tersendat.Aku menghela napas. Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku meski dengan mulut yang bergetar. Mataku memanas dan bulir bening yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga membasahi pipi. "Hei, kenapa kamu malah menangis? Iya, kita memang akan menikah, tapi tidak malam ini karena sekarang baru lamaran. Kamu sudah nggak tahan untuk menjadi istriku, ya?" Arka tersenyum. Aku memejamkan mata. Senyum itu lah yang selalu kurindukan selama ini. Namun, setelah ini tidak akan ada lagi. "Begini, Sayang. Malam ini aku lamar kamu dulu dan setelah itu kita baru akan menentukan tanggal pernikahannya kapan," ucap Arka. "Iya, Nak. Kami sebagai orang tua juga sudah setuju dengan pilihan Arka. Bagi kami, kamu adalah wanita yang baik sehingga cocok dengannya," sahut Bu Lurah--ibunya Arka dengan mengulas
Aku mengusap air mata yang terus mengalir dengan jari tangan. Aku pasrah dengan takdir ini. Sekali lagi kupandang Kak Sitha yang terus menempel di tubuh Arka. Melihat Arka yang menggenggam erat tangan Kak Sitha, membuatku semakin yakin untuk menerima Wiji. Dengan begini, aku jadi tahu kalau ternyata Arka adalah orang yang tidak teguh pendirian. "Bagaimana kalau pernikahan kalian kita adakan barengan saja." Bapak yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara. "Enggak mau, biarkan Endah menikah lebih dulu sekarang juga agar ia bisa pergi secepatnya dari sini dan aku bisa memiliki Arka seutuhnya. Sudah muak melihatnya setiap hari." Kak Sitha masih menggelayut manja di lengan Arka. Tanganku mengepal ke bawah mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Bisa-bisanya ia bilang muak melihatku setiap hari. Kalau boleh jujur seharusnya aku yang muak punya kakak kandung perempuan seperti dia yang layak disebut benalu bagiku. Tidak sadarkah ia kalau selama ini akulah yang sudah membuatnya bisa ma
Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak. "Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua. "Kenapa?" tanya Kak Sitha. "Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka. "Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak. Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya. Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari