Home / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 6. ANAK-ANAK TAK BERUNTUNG

Share

6. ANAK-ANAK TAK BERUNTUNG

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-08-05 17:09:59

Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati.

12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.

Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu.

"Bagus, tidak ada infeksi."

Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru.

"Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."

Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.

Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.

Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak.

"Ui, Ui."

Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk apa yang ia lihat dengan celoteh yang hanya bisa dipahami bocah perempuan itu. Hal yang biasanya berlaku untuk orang tua, paham apa yang anaknya ucapkan meski orang lain tidak tahu bahasa planet mana yang dicelotehkan anak-anak mereka.

Dan hanya saat-saat seperti itu, bocah perempuan yang tak pernah mengeluhkan lukanya, tersenyum.

Hal yang sudah dihafal dokter suka rela yang datang setiap hari Minggu untuk memeriksa anak-anak panti asuhan.

"Nak, jangan kena air dulu, ya."

Kalimat dokter Imron membuat bocah perempuan itu mengangguk, "terimakasih."

Dan dokter Imron tersenyum untuk ucapan yang tidak pernah luput dari anak yang begitu iritnya dalam bertutur.

Anak sama yang potretnya masih saja dicari sampai bocah perempuan itu dan adiknya berpindah-pindah tempat tinggal. Dari panti asuhan satu ke panti asuhan lain.

Karena kemanapun ia dan adiknya pergi, para pencari warta mengikuti.

Hal yang akan berujung pada keriuhan karena berpasang-pasang mata penasaran ingin tahu wajah anak-anak beruntung yang bisa selamat dari tindakan gila ayah mereka.

Tapi beruntung? Sungguh kalimat tak berperasaan saat mata bocah perempuan yang diajak bicara adiknya begitu gelap menenggelamkan.

Sikap dan wajahnya akan berubah begitu dingin saat adiknya tak melihat.

Anak-anak panti bahkan enggan mengajak bocah perempuan ini bermain. Mereka menjaga jarak. Enggan bercerita tentang dengkuran pak satpam yang keras atau kue siapa yang jatuh ke lantai.

Dan bocah perempuan yang duduk diam memerhatikan adiknya bermain mobil-mobilan itu menoleh. Menatap telunjuk salah satu pengurus panti yang membuatnya langsung bangun.

Apalagi saat lelaki yang sedang diajak bicara pengurus panti itu, mengeluarkan lembaran rupiah yang langsung masuk kantong.

Bocah perempuan itu menggendong Santo lalu berlari. Menjauh dari pengurus panti yang dalam sakunya sudah berisi uang.

"Hei-

Tapi, panggilan pengurus panti yang matanya terkejut, mengurungkan niat untuk mengejar karena ada orang lain selain dirinya dan orang yang memberinya uang di tempat itu.

"Kalau kau mau memberiku uang lebih, aku akan ambikan potret mereka untukmu, Mas."

Dan, tawaran yang membuat mata berbinar, disetujui.

"Kamu tinggal terima beresnya saja, Mas." tambah pengurus panti yang matanya berubah hijau melihat lembar-lembar rupiah yang ditarik menjauh saat tangannya sudah menyentuh ujung uang.

"Saya ingin potret mereka jelas, Bu Idris."

"Jangan khawatir, Mas, saya bahkan bisa membuat mereka berekspresi sampai membaut orang-orang menaruh simpati."

Seringaian pengurus panti makin lebar saat lebaran rupiah sudah ada di tangan. Ia bahkan mencium lembaran rupiah itu sebelum masuk ke dalam saku.

**

***

****

"Jangan lari-lari di lorong!"

Seruan itu membuat bocah perempuan yang berlari, menoleh. Namun, ia tak menggubris.

"Dasar anak bisu."

Apalagi menghiraukan gerutuan pengurus panti yang wajah masamnya begitu jelas.

"Ui?"

"Petak umpet."

Kalimat yang sudah dihafal telinga, membuat Santo menunduk, makin menyembunyikan diri, bahkan menutup wajah dengan jemarinya yang masih memegang mobil-mobilan.

Bocah lelaki yang sudah pandai menyembunyikan dua pipi gembilnya itu, rapat menutup mata sampai tak melihat ke arah mana sang kakak berlari.

Bibir basahnya terkatup, tidak ingin mengeluarkan suara karena ia dan sang kakak sedang main petak umpet.

Dari siapa? Entahlah. Karena sang kakak yang sudah menemukan tempat sembunyi akan sangat diam dengan mata awas.

Debaran dada sang kakak yang erat memeluk bahkan sangat kencang meski sudah menemukan tempat sembunyi.

"Silahkan duduk, Pak, Bu."

Santo yang melihat telunjuk sang kakak menempel bibir, mengangguk. Dan kembali menyembunyikan wajah pada dada sang kakak yang menyembul besar berkat perban.

"Biar saya buatkan teh dulu."

"Tidak usah repot-repot. Aku minta kopi saja."

Jawaban yang membuat tawa tak lama diikuti langkah dan pintu yang dibuka.

"Kapan terakhir kita ke sini, Buk?"

"Tiga bulan lalu, Pak."

"Tidak banyak yang berubah kecuali pohon mangga di depan buahnya sudah habis ya."

Sepasang lansia yang ditinggal dalam ruang pemilik panti, bercengkrama. Tidak menyadari obrolan mereka didengar dua pasang telinga yang duduk bersembunyi-

Hachih!

Sampai suara bersin membuat obrolan keduanya terhenti lalu menoleh pada kolong meja.

Sepasang pasutri yang rambutnya sudah ditumbuhi uban bisa melihat selebar apa mata bocah yang kehadirannya disadari.

Namun, mereka tak mengatakan apapun saat hidung basah sang bocah lelaki diusap tangan bocah perempuan yang menunjukkan tatapan waspada.

"Kalian sedang main petak umpet?"

Terdengar begitu lembut suara wanita yang senyumnya menciptakan lesung pipi, "teruslah disitu, ibuk dan bapak tidak akan mengatakan pada siapapun. Janji."

Meski tak mendapat jawaban, wanita itu menjulurkan kelingking yang ragu di sambut bocah perempuan yang sudah siap bangun.

Sepasang pasutri yang memundurkan kursi tersenyum tanpa syarat karena melihat bocah lelaki yang menyembunyikan pipi gembilnya di balik mobil-mobilan, sesekali melihat ke arah mereka. Penasaran.

Hanya butuh waktu sesaat untuk keduanya menjatuhkan hati pada bocah berpipi gembil itu.

Sementara bocah perempuan yang tahu arti dari pandangan dua orang dewasa di hadapannya, makin erat memeluk tubuh Santo.

Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia sudah melihat bagaimana wajah orang dewasa yang datang dengan pengharapan lalu pergi dengan anak panti yang akan menjadi anak mereka.

Anak-anak yang dibawa pergi itu tidak lagi perlu berbagi apapun, mereka akan memiliki kamar sendiri, mainan sendiri, pakaian sendiri, bahkan memiliki orang tua yang akan senang jika dipanggil 'ayah dan ibu'.

Kalimat sama yang ia dengar dimanapun bocah perempuan ini dan adiknya tinggal, setelah harus pergi karena orang-orang yang ingin mengambil potret mereka mengganggu ketenangan panti dan penghuni di dalamnya.

"Ui?"

Santo yang bisa merasakan debaran jantung sang kakak tak biasa, mendongak. Menatapi wajah bocah perempuan yang takut memanggil ayah dan ibu mereka. Orang-orang yang namanya bersanding dengan sebutan buruk. Terutama sang ayah yang sudah meninggalkan bekas pada dada bocah perempuan yang berdenyut perih lalu keluar dan kembali berlari.

Meninggalkan sepasang pasutri yang panggilannya diabaikan.

"Sedang melihat apa, Pak, Bu?"

Yang diberi tanya menoleh pada pemilik panti yang datang dengan dua gelas kopi dan secangkir teh di atas nampan.

Ia lalu menatap punggung bocah yang berlari menjauh lalu menatap sepasang pasutri yang sudah menjadi donatur tetap sejak yayasan tempatnya mengabdikan hidup, berdiri.

"Santo nama anak itu, Pak, Bu. Bocah lucu yang penurut."

Pemilik panti rasanya enggan mengenalkan nama sang bocah perempuan yang punggungnya tak lagi terlihat. Dan ia tersenyum untuk tatapan wanita berlesung pipi yang belum dikarunia buah hati meski usianya tak lagi muda. Nasib katanya.

"Santo?"

Binar yang belum pernah pemilik panti lihat tercetak begitu jelas di mata satu dari banyaknya donatur tetap yang ada dihadapannya sekarang. Meskipun wanita di hadapannya ini sudah bertemu dengan banyak anak yang katanya kurang beruntung hanya karena anak-anak itu tinggal di panti asuhan.

"Iya, Bu, Muhammad Susanto namanya."

Dan kalimat sang pemilik panti yang masih tak menyebut nama sang bocah perempuan, seolah menggambarkan niat yang mungkin akan memisahkan seorang kakak dari adiknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status