Tidak perduli lakon macam apa yang harus kumainkan atau siapa yang harus kusakiti, aku pasti akan bertemu denganmu. Jikapun aku harus menyusupkan diri dalam hubungan mereka yang sudah terjalin bertahun lamanya, hal itu akan kulakukan asal bisa bertemu kamu. Egois kah diriku? Tentu saja. Tapi apa yang bisa kulakukan saat kamu adalah wujud dari segala duniaku. Nang, mbak ingin bertemu. bacalah dan lihat bagaimana seorang anak yang selamat dari pembunuhan mengenal apa itu bahagia. salam kenal dan selamat membaca kakak semua
View More****
Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Menyerah bukan pilihan. Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku. Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu? ***** Zras.... Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak.. Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam. Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda. Tidak lagi empuk, apalagi hangat. Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring. Satu... Dua... Tiga... Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur. Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan. Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Tapi, senyumnya seketika lenyap saat merasakan pusing teramat sangat. Namun, belum sempat ia mengeluh. Rasa menusuk dan perih membuatnya menatap lelaki yang ada di atas tubuh. Juga kilau benda tajam yang menempel pada dada. Bocah perempuan yang kulitnya sudah tergores dalam itu ingin berteriak. Tapi, wajah sang lelaki membuatnya bungkam dengan pandangan tanya. Apalagi tetes airmata jatuh pada bajunya yang sudah berubah warna. Tidak lagi putih sempurna. "Ayah... sakit." Aduan jujur membuat lelaki yang wajahnya begitu dipenuhi duka, terkejut. Ia seolah tidak percaya anak perempuannya bangun. Reflek ia menjauhkan ujung pisau dari dada bocah perempuan yang tidak menangis, hanya menatapinya dengan pandangan yang membuat tangannya bergetar. Apalagi saat menyadari, jadi semerah apa baju putih sang putri yang menatapnya tanpa berkedip. "Ayah .... Entah, apa yang diucapkan gadis kecil itu pada pria yang sorot matanya tampak begitu lelah. Seolah secuil pun kebahagiaan tak mampu menyapa apalagi merasuk dalam punggung lebarnya yang nampak tak lagi mampu menampung beban kehidupan. Sementara derasnya suara hujan tak mengizinkan kalimat terdengar ataupun menyapai sofa berisi bocah lelaki berusia satu tahun yang begitu lelap dalam mimpinya. Untaian kata kalah dengan rintik ruah yang entah kapan akan berhenti. Sementara dinding bisu melihat bagaimana bocah perempuan itu bangkit lalu mendekat pada sofa. Menjauh dari lelaki yang tak melepas pandangannya dari gerakan sang putri sedetik pun! Ia bahkan bisa melihat mulut putrinya terbuka. Namun tanpa kata saat menatap tubuh lain terbaring di sofa berbeda. Untuk beberapa lama putrinya diam. Lalu dengan susah payah, bocah perempuan itu mengangkat tubuh sang adik yang tak bangun lalu berlari ke arah pintu. Bocah perempuan itu tidak menghiraukan kilau pisau yang sudah membuat dadanya sakit. Menggoreskan luka memanjang yang mampu disamarkan sorot bingung namun tak membantah. Kaki kecilnya hanya terus melangkah melewati lelaki yang diam meski ekor mata mengikuti langkah sang putri. "**ni." Namun, pijakan kecil bocah perempuan yang pupil matanya bergerak gelisah itu terhenti lalu menoleh pada lelaki yang terus menatapnya dengan kata begitu lirih. "Hiduplah dan jaga adikmu." Sorot bocah perempuan yang matanya bak anak Menjangan tersesat itu, melirik tubuh sang ibu yang dadanya tak bergerak naik turun. Hanya diam bak waktunya sudah terputus. "Pergilah, kamu tidak ingin ayah menyakiti adikmu juga 'kan?" Sampai ucapan sang ayah yang mata basahnya menunjukan kesungguhan, membuat bocah perempuan itu menatap dada sang adik juga dadanya sendiri yang masih menyalurkan perih teramat sangat. "Kamu sayang pada adikmu, bukan? Kalau iya, pergilah." Begitu tak adil ucapan sang ayah terdengar. Namun, bocah perempuan yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia menolak, mengangguk dengan ragu. Ia tidak bertanya harus pergi kemana? Atau mencari siapa? Sorot mata bocah perempuan yang tak bersuara itu hanya menatap tampilan sang ayah yang rasanya sudah tak memiliki pilihan lain selain menyuruhnya pergi. "**ni, ayah dan ibu sungguh menyayangimu dan Santo." Kalimat itu membuat airmata tercipta dan terus mengenang dalam bola mata bocah perempuan yang melihat ayahnya tersenyum dengan airmata merambat jatuh. Kakinya bahkan ingin melangkah maju. Memperpendek jarak dengan sang ayah yang sorot matanya menancapkan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan. Tapi, bocah perempuan itu paham apa yang akan terjadi jika ia memaksa tinggal. Adiknya yang begitu lelap terbuai mimpi, akan merasakan apa yang dadanya rasakan. Otak bocah berusia enam tahun itu tahu alasan sang ayah menyuruhnya pergi, menembus lebatnya hujan yang merajai malam. "Ibu...," dan kalimat itu lolos dari mulutnya yang bergetar, menatapi tubuh lain yang terbaring tanpa pergerakan. "PERGI!" Sementara panggilan untuk sang ayah tak sempat ia sampaikan karena teriakan keras membuat bocah perempuan itu langsung membuka pintu dan berlari menembus hujan. Menjauh dari rumah yang akan membuat geger desa tempatnya tinggal saat hujan lebat meninggalkan genangan yang hampir kering. "Maafkan Ayah, nak, dan jaga adikmu." Lelaki yang tak lagi melihat bayangan dua buah hatinya itu berdiri. Tangannya meraih gagang pisau yang masih menyisakan darah sang putri. Ia yang sudah menggenggam pisau, jatuh seolah tak lagi memiliki tenaga. Namun, kembali bangkit, mendekat pada tubuh lain yang tak lagi memperlihatkan kehidupan. Tangannya menggenggam jemari sang istri yang tak lagi menyisakan kehangatan. Isaknya luruh tanpa kata meski sorot matanya memperlihatkan penyesalan begitu dalam. Bahkan, rintik hujan bisa melihat rasa yang sedang lelaki itu selami. Sementara kilat petir memperjelas tetes darah mengalir dari pergelangan tangan sang lelaki yang masih menggenggam tangan sang istri. "Apa Tuhan akan mengizinkan kita bertemu dengan putra dan putri kita lagi, Bu? Jika iya, betapa bahagianya diriku." Sementara suaranya yang lemah, menghilang bersama jatuhnya gagang pisau dari genggaman. *** "Hati-hati, Pak." Kalimat yang sudah terucap entah berapa kali itu membuat lelaki paruh baya yang sedang duduk di belakang kemudi mengangguk. Hujan lebat menghalangi jarak pandang yang membuatnya harus menurunkan kecepatan kendaraan meski sepanjang jalan hanya ada mobil mereka. Lampu jalan yang cahayanya temaram sama sekali tak membantu. Bahkan, jumlahnya yang bisa di hitung jari membuatnya menggerutu dalam bisik. Tidak ingin cucu lelakinya yang duduk di belakang mendengar. "Kenapa tidak tidur, Le?" Yang diberi tanya menggeleng, "tidak ngantuk, Eyang." Jawab Rendra yang kembali menatap kegelapan malam diantara suara hujan yang mengalahkan deru. "Mau makan roti, Le?" Sekali lagi bocah yang hanya melihat kegelapan sejauh matanya memandang itu menggeleng. "Coba telpon anakmu, Bu." Ucapan sang kakek mengalihkan fokus Rendra yang baru kali ini melewati jalanan tembus yang jarak perkampungannya begitu jauh. Sejak kampung pertama yang tak menunjukkan kehidupan berkat lebatnya hujan meski lampu dalam tiap rumah menyala, hanya gelap yang ia lihat. "Tidak diangkat?" Gelengan sang istri membuat lelaki yang duduk di belakang kemudi menarik nafas begitu dalam. "Coba nomer istrinya." Namun, ucapannya kembali mendapat gelengan. Sorot geram terpancar dari wajah tua sang lelaki yang kembali menahan diri untuk merutuk. Apalagi usapan tangan sang istri pada lengannya seolah berkata, "sabar, Pak." "Coba aku telpon hotel tempat mereka menginap- Cit! Decit mobil yang remnya diinjak tiba-tiba, membuat Rendra kaget. Sekaget tubuh bocah perempuan yang tersorot lampu kendaraan diantara gelap malam dan derasnya hujan. "Apa yang di gendongnya?" Tanya Rendra dalam hati, sementara matanya tak beralih dari bocah perempuan yang baju putihnya basah dengan tubuh menggigil kedinginan. ***Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments