Share

10 - Healing

Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.

Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.

Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”

Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.

Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.

“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.

Merasa seluruh tubuhnya sakit, Jessie segera bangun dan menatap Matheo sebal. Andai saja Jessie bisa berbahasa Indonesia sudah pasti akan menghubungi perempuan bernama Jelita itu untuk melupakan Matheo selama-lamanya.

“Ta, kita masih bersama, kan? Bukannya kita sudah berjanji akan bersama terus sampai kapanpun? Terus lo tahu sendiri kalau gue pengin banyak anak dari lo.”

Jessie yang mendengar semua rancauan Matheo hanya diam saja. Pasalnya Matheo menggunakan bahasa Indonesia yang tidak ia tahu artinya apa. Menyebalkan.

“Matheo,” seru Jessie lantang.

Hebatnya Matheo membuka mata dan disambut tubuh Jessie yang menjulang tinggi di depannya. Bibirnya tersenyum lebar. Bahkan Matheo tengah bersusah payah untuk bangun dari posisi tidurnya.

“Ta, lo ke sini?” katanya—lain hal dengan Jessie yang mengerut bingung dengan ucapan Matheo.

Tanpa diduga, Matheo langsung memeluk Jessie erat bahkan mencium rakus bibir perempuan itu.

“Ta, gue kangen banget sama lo. Sumpah gue kangen sampai sering mimpiin lo.”

Jessie merasa kesusahan melepaskan ciuman Matheo saat ini karena laki-laki itu begitu menggebu-gebu saat menciumnya. Bukan tidak suka dicium. Tapi, Jessie butuh ponsel untuk memotret momen ini agar bisa dipamerkan kepada teman-teman kampusnya besok.

“Ah … Math, are you doing?” suara Jessie bahkan sudah menyerupai desahan karena cumbuan yang diberikan oleh Matheo membuatnya meremang kesekujur tubuh. Matheo memberikan hisapan ke lehernya dan itu membuat Jessie suka.

***

Jakarta, Indonesia.

Satu Minggu Kemudian.

Tepat di hari minggu ini Jelita pergi ke gereja katedral untuk melaksanakan ibadah. Ia berdoa di dalam hati agar diberi kekuatan oleh Tuhan Yesus.

Jelita meyakini apa pun yang terjadi kepadanya kemarin akan ada hikmah setelah ini. Jelita bahkan tidak segan-segan menangis di hadapan Tuhan. Jelita meminta kehidupan yang terbaik untuk dirinya.

Rasa pedih dan sakit hatinya pasti untuk membuat pribadinya agar lebih kuat lagi ke depan.

Selesai beribadah, Jelita keluar gereja dan tersenyum melihat sesosok laki-laki yang sudah menunggunya di parkiran.

“Maaf lama, Gus.”

“Gapapa.”

“Habis ini kita mau kemana?” tanya Jelita.

“Makan soto di dekat Monas situ mau nggak?”

Jelita langsung mengangguk cepat. Ia pun tersenyum senang karena di masa sulitnya kemarin Bagus dan Prita selalu ada untuknya. Mereka berdua bahkan sangat telaten saat merawat Jelita yang tengah sakit hingga sembuh seperti sekarang ini.

Jelita benar-benar bersukur karena memiliki dua teman yang selalu ada di saat dukanya. Bagi Jelita itu sudah cukup membuatnya bahagia.

“Nih, dipake. Ngeri kena tilang polisi,” ujar Bagus sambil terkekeh geli. Lain hal dengan Jelita yang menerima helm dengan mengerucutkan bibir.

Mereka berdua akhirnya pergi dari gereja menuju ke salah satu warung soto di Jakarta Pusat. Bahkan seminggu belakangan hubungan Jelita dan Bagus semakin dekat.

Jelita yang awalnya malu dan risih akhirnya mau menerima perhatian yang diberikan Bagus. Entah kenapa hati Jelita terasa sangat senang dengan perlakuan Bagus yang selalu manis dan menghargai dirinya.

Sampai di warung soto, mereka langsung masuk dan duduk di bangku plastik berwarna merah.

“Mau makan soto apa, Ta?” tanya Bagus.

“Jujur aja pergi sama lo bikin cepat gendut. Diajak makan mulu,” dumel Jelita. Namun, ia juga tersenyum senang. “Tapi thanks, ya, Gus,” tambahnya.

“Gunanya teman emang begini, kan? Menolong anak kos-kosan kayak lo buat makan,” ledek Bagus, terkekeh kecil.

Jelita yang mendengar itu langsung melempar tisu gulung ke depan Bagus. Bibirnya mengerucut sebal.

“Ucapan lo benar, tapi menohok,” balas Jelita.

“Yaudah mau pesan apa? Gue enggak mau lo sakit lagi kayak kemarin. Kebanyakan absen kerja entar dipecat Gilang gimana?”

Jelita langsung mendesah panjang. Ia memang sudah bolos kerja lumayan lama. Tapikan ia juga sudah beri kabar Gilang jika dirinya sakit.

“Gue soto babat aja deh.”

Bagus mengangguk paham. Dia pun akhirnya memesan dua porsi soto babat dan es teh manis. Sambil menunggu pesanan jadi, Bagus selalu menatap wajah Jelita lekat-lekat yang membuat perempuan itu langsung salah tingkah.

“Apaan, sih, Gus. Ngelihatin gue jangan gitu, ah.”

Entah kenapa Jelita merasa deg-degan jika Bagus sudah menatap wajahnya dengan begitu serius seperti tadi. Seperti ada yang beda dari tatapan laki-laki itu.

“Kenapa? Gue hanya sedang menikmati pemandangan yang sangat indah di depan mata.”

Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita langsung blusing. Bahkan rasanya sangat panas. Sebuah kata-kata sederhana yang mampu membuat hatinya langsung berdesir.

“Apaan, sih, Gus.” Jelita langsung memalingkan wajah ke samping karena tidak kuat ditatap lama-lama oleh Bagus.

“Hadap sini. Kenapa lo malahan lihatin kaleng kerupuk.”

Mendengar itu membuat Jelita semakin salah tingkah. Ia pun langsung menoleh kembali dan menatap ke depan hingga matanya bersirobok dengan netra mata laki-laki itu.

Sedang serius bersitatap, tiba-tiba pelayan warung soto itu datang yang membuat keduanya segera menoleh dan tersenyum salah tingkah.

Jelita segera menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Makasih,” ujar Jelita saat sebuah mangkok disajikan di depannya.

“Mari makan!” seru Bagus yang langsung menyantap soto. Jelita yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan konyol laki-laki itu.

Untuk menetralisir rasa gugupnya, Jelita pun langsung ikut makan soto dengan fokus.

“Gue kemarin lihat Prita berantem sama Rendi kenapa, ya?” tanya Bagus, penasaran. Pasalnya kemarin di halaman universitas ia melihat Prita langsung menonjok Rendi hingga membuat keramaian. Bagus ingin menghampiri namun ada mata kuliah yang sangat penting saat itu.

Jelita yang tahu pun hanya memejamkan matanya kuat bahkan menarik napas panjang. Masih tidak menyangka jika Rendi akan melakukan itu semua kepadanya dan Matheo.

“Apa ini ada hubungannya sama Matheo?” tebak Bagus, tepat sasaran.

Jelita pun mengangguk sebagai jawaban.

Bagus langsung meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya mendadak hilang. Dia segera menyandarkan tubuhnya di kursi plastik sambil memejamkan mata. “Apa ini ada hubungannya soal putusnya lo sama Matheo?” tanya Bagus, memastikan.

Jelita mengangguk kembali.

“Shit!” umpat Bagus kesal. Ia sudah curiga dengan Rendi yang selalu telepon menanyakan keberadaannya bahkan sangat mendukung kedekatan dirinya dengan Jelita. “Gue harus kasih pelajaran ke dia.”

“Jangan, Gus.” Jelita langsung mencegah. Bagaimanapun ia tidak mau ada keributan lagi setelah ini. Apalagi hubungan dengan Matheo memang sudah berakhir sekitar satu minggu lalu. “Gue udah iklas. Mungkin gue emang enggak berjodoh sama dia.”

“Tapi, Ta ….”

Jelita menggeleng—menyiratkan agar Bagus tidak usah ikut campur soal Rendi.

“Kenapa dia begitu, sih, motifnya apa coba.” Bagus masih kesal dengan semua ini. Rasa-rasanya ingin menghajar Rendi sampai babak belur.

Jelita langsung menerawang kejadian satu minggu belakang. Di mana Prita berusaha keras mencari bukti kenapa Matheo bertindak kasar kepadanya.

“Jadi ceritanya begini.” Jelita membuang napas kasar terlebih dulu sebelum menceritakan semuanya kepada Bagus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status