Share

10 - Healing

Author: Jezlyn
last update Last Updated: 2021-04-16 17:39:22

Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.

Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.

Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”

Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.

Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.

“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.

Merasa seluruh tubuhnya sakit, Jessie segera bangun dan menatap Matheo sebal. Andai saja Jessie bisa berbahasa Indonesia sudah pasti akan menghubungi perempuan bernama Jelita itu untuk melupakan Matheo selama-lamanya.

“Ta, kita masih bersama, kan? Bukannya kita sudah berjanji akan bersama terus sampai kapanpun? Terus lo tahu sendiri kalau gue pengin banyak anak dari lo.”

Jessie yang mendengar semua rancauan Matheo hanya diam saja. Pasalnya Matheo menggunakan bahasa Indonesia yang tidak ia tahu artinya apa. Menyebalkan.

“Matheo,” seru Jessie lantang.

Hebatnya Matheo membuka mata dan disambut tubuh Jessie yang menjulang tinggi di depannya. Bibirnya tersenyum lebar. Bahkan Matheo tengah bersusah payah untuk bangun dari posisi tidurnya.

“Ta, lo ke sini?” katanya—lain hal dengan Jessie yang mengerut bingung dengan ucapan Matheo.

Tanpa diduga, Matheo langsung memeluk Jessie erat bahkan mencium rakus bibir perempuan itu.

“Ta, gue kangen banget sama lo. Sumpah gue kangen sampai sering mimpiin lo.”

Jessie merasa kesusahan melepaskan ciuman Matheo saat ini karena laki-laki itu begitu menggebu-gebu saat menciumnya. Bukan tidak suka dicium. Tapi, Jessie butuh ponsel untuk memotret momen ini agar bisa dipamerkan kepada teman-teman kampusnya besok.

“Ah … Math, are you doing?” suara Jessie bahkan sudah menyerupai desahan karena cumbuan yang diberikan oleh Matheo membuatnya meremang kesekujur tubuh. Matheo memberikan hisapan ke lehernya dan itu membuat Jessie suka.

***

Jakarta, Indonesia.

Satu Minggu Kemudian.

Tepat di hari minggu ini Jelita pergi ke gereja katedral untuk melaksanakan ibadah. Ia berdoa di dalam hati agar diberi kekuatan oleh Tuhan Yesus.

Jelita meyakini apa pun yang terjadi kepadanya kemarin akan ada hikmah setelah ini. Jelita bahkan tidak segan-segan menangis di hadapan Tuhan. Jelita meminta kehidupan yang terbaik untuk dirinya.

Rasa pedih dan sakit hatinya pasti untuk membuat pribadinya agar lebih kuat lagi ke depan.

Selesai beribadah, Jelita keluar gereja dan tersenyum melihat sesosok laki-laki yang sudah menunggunya di parkiran.

“Maaf lama, Gus.”

“Gapapa.”

“Habis ini kita mau kemana?” tanya Jelita.

“Makan soto di dekat Monas situ mau nggak?”

Jelita langsung mengangguk cepat. Ia pun tersenyum senang karena di masa sulitnya kemarin Bagus dan Prita selalu ada untuknya. Mereka berdua bahkan sangat telaten saat merawat Jelita yang tengah sakit hingga sembuh seperti sekarang ini.

Jelita benar-benar bersukur karena memiliki dua teman yang selalu ada di saat dukanya. Bagi Jelita itu sudah cukup membuatnya bahagia.

“Nih, dipake. Ngeri kena tilang polisi,” ujar Bagus sambil terkekeh geli. Lain hal dengan Jelita yang menerima helm dengan mengerucutkan bibir.

Mereka berdua akhirnya pergi dari gereja menuju ke salah satu warung soto di Jakarta Pusat. Bahkan seminggu belakangan hubungan Jelita dan Bagus semakin dekat.

Jelita yang awalnya malu dan risih akhirnya mau menerima perhatian yang diberikan Bagus. Entah kenapa hati Jelita terasa sangat senang dengan perlakuan Bagus yang selalu manis dan menghargai dirinya.

Sampai di warung soto, mereka langsung masuk dan duduk di bangku plastik berwarna merah.

“Mau makan soto apa, Ta?” tanya Bagus.

“Jujur aja pergi sama lo bikin cepat gendut. Diajak makan mulu,” dumel Jelita. Namun, ia juga tersenyum senang. “Tapi thanks, ya, Gus,” tambahnya.

“Gunanya teman emang begini, kan? Menolong anak kos-kosan kayak lo buat makan,” ledek Bagus, terkekeh kecil.

Jelita yang mendengar itu langsung melempar tisu gulung ke depan Bagus. Bibirnya mengerucut sebal.

“Ucapan lo benar, tapi menohok,” balas Jelita.

“Yaudah mau pesan apa? Gue enggak mau lo sakit lagi kayak kemarin. Kebanyakan absen kerja entar dipecat Gilang gimana?”

Jelita langsung mendesah panjang. Ia memang sudah bolos kerja lumayan lama. Tapikan ia juga sudah beri kabar Gilang jika dirinya sakit.

“Gue soto babat aja deh.”

Bagus mengangguk paham. Dia pun akhirnya memesan dua porsi soto babat dan es teh manis. Sambil menunggu pesanan jadi, Bagus selalu menatap wajah Jelita lekat-lekat yang membuat perempuan itu langsung salah tingkah.

“Apaan, sih, Gus. Ngelihatin gue jangan gitu, ah.”

Entah kenapa Jelita merasa deg-degan jika Bagus sudah menatap wajahnya dengan begitu serius seperti tadi. Seperti ada yang beda dari tatapan laki-laki itu.

“Kenapa? Gue hanya sedang menikmati pemandangan yang sangat indah di depan mata.”

Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita langsung blusing. Bahkan rasanya sangat panas. Sebuah kata-kata sederhana yang mampu membuat hatinya langsung berdesir.

“Apaan, sih, Gus.” Jelita langsung memalingkan wajah ke samping karena tidak kuat ditatap lama-lama oleh Bagus.

“Hadap sini. Kenapa lo malahan lihatin kaleng kerupuk.”

Mendengar itu membuat Jelita semakin salah tingkah. Ia pun langsung menoleh kembali dan menatap ke depan hingga matanya bersirobok dengan netra mata laki-laki itu.

Sedang serius bersitatap, tiba-tiba pelayan warung soto itu datang yang membuat keduanya segera menoleh dan tersenyum salah tingkah.

Jelita segera menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Makasih,” ujar Jelita saat sebuah mangkok disajikan di depannya.

“Mari makan!” seru Bagus yang langsung menyantap soto. Jelita yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan konyol laki-laki itu.

Untuk menetralisir rasa gugupnya, Jelita pun langsung ikut makan soto dengan fokus.

“Gue kemarin lihat Prita berantem sama Rendi kenapa, ya?” tanya Bagus, penasaran. Pasalnya kemarin di halaman universitas ia melihat Prita langsung menonjok Rendi hingga membuat keramaian. Bagus ingin menghampiri namun ada mata kuliah yang sangat penting saat itu.

Jelita yang tahu pun hanya memejamkan matanya kuat bahkan menarik napas panjang. Masih tidak menyangka jika Rendi akan melakukan itu semua kepadanya dan Matheo.

“Apa ini ada hubungannya sama Matheo?” tebak Bagus, tepat sasaran.

Jelita pun mengangguk sebagai jawaban.

Bagus langsung meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya mendadak hilang. Dia segera menyandarkan tubuhnya di kursi plastik sambil memejamkan mata. “Apa ini ada hubungannya soal putusnya lo sama Matheo?” tanya Bagus, memastikan.

Jelita mengangguk kembali.

“Shit!” umpat Bagus kesal. Ia sudah curiga dengan Rendi yang selalu telepon menanyakan keberadaannya bahkan sangat mendukung kedekatan dirinya dengan Jelita. “Gue harus kasih pelajaran ke dia.”

“Jangan, Gus.” Jelita langsung mencegah. Bagaimanapun ia tidak mau ada keributan lagi setelah ini. Apalagi hubungan dengan Matheo memang sudah berakhir sekitar satu minggu lalu. “Gue udah iklas. Mungkin gue emang enggak berjodoh sama dia.”

“Tapi, Ta ….”

Jelita menggeleng—menyiratkan agar Bagus tidak usah ikut campur soal Rendi.

“Kenapa dia begitu, sih, motifnya apa coba.” Bagus masih kesal dengan semua ini. Rasa-rasanya ingin menghajar Rendi sampai babak belur.

Jelita langsung menerawang kejadian satu minggu belakang. Di mana Prita berusaha keras mencari bukti kenapa Matheo bertindak kasar kepadanya.

“Jadi ceritanya begini.” Jelita membuang napas kasar terlebih dulu sebelum menceritakan semuanya kepada Bagus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Hello, Los Angeles

    Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Maaf Gue Emang Bodoh!

    Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Mulai Muncul Kebohongan

    Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Permintaan Keluarga Matheo Kepada Jelita

    Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Menuruti Keinginan Matheo

    Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Surat Panggilan Dari Kampus

    Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status