Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.
Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.
Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”
Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.
Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.
“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.
Merasa seluruh tubuhnya sakit, Jessie segera bangun dan menatap Matheo sebal. Andai saja Jessie bisa berbahasa Indonesia sudah pasti akan menghubungi perempuan bernama Jelita itu untuk melupakan Matheo selama-lamanya.
“Ta, kita masih bersama, kan? Bukannya kita sudah berjanji akan bersama terus sampai kapanpun? Terus lo tahu sendiri kalau gue pengin banyak anak dari lo.”
Jessie yang mendengar semua rancauan Matheo hanya diam saja. Pasalnya Matheo menggunakan bahasa Indonesia yang tidak ia tahu artinya apa. Menyebalkan.
“Matheo,” seru Jessie lantang.
Hebatnya Matheo membuka mata dan disambut tubuh Jessie yang menjulang tinggi di depannya. Bibirnya tersenyum lebar. Bahkan Matheo tengah bersusah payah untuk bangun dari posisi tidurnya.
“Ta, lo ke sini?” katanya—lain hal dengan Jessie yang mengerut bingung dengan ucapan Matheo.
Tanpa diduga, Matheo langsung memeluk Jessie erat bahkan mencium rakus bibir perempuan itu.
“Ta, gue kangen banget sama lo. Sumpah gue kangen sampai sering mimpiin lo.”
Jessie merasa kesusahan melepaskan ciuman Matheo saat ini karena laki-laki itu begitu menggebu-gebu saat menciumnya. Bukan tidak suka dicium. Tapi, Jessie butuh ponsel untuk memotret momen ini agar bisa dipamerkan kepada teman-teman kampusnya besok.
“Ah … Math, are you doing?” suara Jessie bahkan sudah menyerupai desahan karena cumbuan yang diberikan oleh Matheo membuatnya meremang kesekujur tubuh. Matheo memberikan hisapan ke lehernya dan itu membuat Jessie suka.
***
Jakarta, Indonesia.
Satu Minggu Kemudian.
Tepat di hari minggu ini Jelita pergi ke gereja katedral untuk melaksanakan ibadah. Ia berdoa di dalam hati agar diberi kekuatan oleh Tuhan Yesus.
Jelita meyakini apa pun yang terjadi kepadanya kemarin akan ada hikmah setelah ini. Jelita bahkan tidak segan-segan menangis di hadapan Tuhan. Jelita meminta kehidupan yang terbaik untuk dirinya.
Rasa pedih dan sakit hatinya pasti untuk membuat pribadinya agar lebih kuat lagi ke depan.
Selesai beribadah, Jelita keluar gereja dan tersenyum melihat sesosok laki-laki yang sudah menunggunya di parkiran.
“Maaf lama, Gus.”
“Gapapa.”
“Habis ini kita mau kemana?” tanya Jelita.
“Makan soto di dekat Monas situ mau nggak?”
Jelita langsung mengangguk cepat. Ia pun tersenyum senang karena di masa sulitnya kemarin Bagus dan Prita selalu ada untuknya. Mereka berdua bahkan sangat telaten saat merawat Jelita yang tengah sakit hingga sembuh seperti sekarang ini.
Jelita benar-benar bersukur karena memiliki dua teman yang selalu ada di saat dukanya. Bagi Jelita itu sudah cukup membuatnya bahagia.
“Nih, dipake. Ngeri kena tilang polisi,” ujar Bagus sambil terkekeh geli. Lain hal dengan Jelita yang menerima helm dengan mengerucutkan bibir.
Mereka berdua akhirnya pergi dari gereja menuju ke salah satu warung soto di Jakarta Pusat. Bahkan seminggu belakangan hubungan Jelita dan Bagus semakin dekat.
Jelita yang awalnya malu dan risih akhirnya mau menerima perhatian yang diberikan Bagus. Entah kenapa hati Jelita terasa sangat senang dengan perlakuan Bagus yang selalu manis dan menghargai dirinya.
Sampai di warung soto, mereka langsung masuk dan duduk di bangku plastik berwarna merah.
“Mau makan soto apa, Ta?” tanya Bagus.
“Jujur aja pergi sama lo bikin cepat gendut. Diajak makan mulu,” dumel Jelita. Namun, ia juga tersenyum senang. “Tapi thanks, ya, Gus,” tambahnya.
“Gunanya teman emang begini, kan? Menolong anak kos-kosan kayak lo buat makan,” ledek Bagus, terkekeh kecil.
Jelita yang mendengar itu langsung melempar tisu gulung ke depan Bagus. Bibirnya mengerucut sebal.
“Ucapan lo benar, tapi menohok,” balas Jelita.
“Yaudah mau pesan apa? Gue enggak mau lo sakit lagi kayak kemarin. Kebanyakan absen kerja entar dipecat Gilang gimana?”
Jelita langsung mendesah panjang. Ia memang sudah bolos kerja lumayan lama. Tapikan ia juga sudah beri kabar Gilang jika dirinya sakit.
“Gue soto babat aja deh.”
Bagus mengangguk paham. Dia pun akhirnya memesan dua porsi soto babat dan es teh manis. Sambil menunggu pesanan jadi, Bagus selalu menatap wajah Jelita lekat-lekat yang membuat perempuan itu langsung salah tingkah.
“Apaan, sih, Gus. Ngelihatin gue jangan gitu, ah.”
Entah kenapa Jelita merasa deg-degan jika Bagus sudah menatap wajahnya dengan begitu serius seperti tadi. Seperti ada yang beda dari tatapan laki-laki itu.
“Kenapa? Gue hanya sedang menikmati pemandangan yang sangat indah di depan mata.”
Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita langsung blusing. Bahkan rasanya sangat panas. Sebuah kata-kata sederhana yang mampu membuat hatinya langsung berdesir.
“Apaan, sih, Gus.” Jelita langsung memalingkan wajah ke samping karena tidak kuat ditatap lama-lama oleh Bagus.
“Hadap sini. Kenapa lo malahan lihatin kaleng kerupuk.”
Mendengar itu membuat Jelita semakin salah tingkah. Ia pun langsung menoleh kembali dan menatap ke depan hingga matanya bersirobok dengan netra mata laki-laki itu.
Sedang serius bersitatap, tiba-tiba pelayan warung soto itu datang yang membuat keduanya segera menoleh dan tersenyum salah tingkah.
Jelita segera menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. “Makasih,” ujar Jelita saat sebuah mangkok disajikan di depannya.
“Mari makan!” seru Bagus yang langsung menyantap soto. Jelita yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan konyol laki-laki itu.
Untuk menetralisir rasa gugupnya, Jelita pun langsung ikut makan soto dengan fokus.
“Gue kemarin lihat Prita berantem sama Rendi kenapa, ya?” tanya Bagus, penasaran. Pasalnya kemarin di halaman universitas ia melihat Prita langsung menonjok Rendi hingga membuat keramaian. Bagus ingin menghampiri namun ada mata kuliah yang sangat penting saat itu.
Jelita yang tahu pun hanya memejamkan matanya kuat bahkan menarik napas panjang. Masih tidak menyangka jika Rendi akan melakukan itu semua kepadanya dan Matheo.
“Apa ini ada hubungannya sama Matheo?” tebak Bagus, tepat sasaran.
Jelita pun mengangguk sebagai jawaban.
Bagus langsung meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya mendadak hilang. Dia segera menyandarkan tubuhnya di kursi plastik sambil memejamkan mata. “Apa ini ada hubungannya soal putusnya lo sama Matheo?” tanya Bagus, memastikan.
Jelita mengangguk kembali.
“Shit!” umpat Bagus kesal. Ia sudah curiga dengan Rendi yang selalu telepon menanyakan keberadaannya bahkan sangat mendukung kedekatan dirinya dengan Jelita. “Gue harus kasih pelajaran ke dia.”
“Jangan, Gus.” Jelita langsung mencegah. Bagaimanapun ia tidak mau ada keributan lagi setelah ini. Apalagi hubungan dengan Matheo memang sudah berakhir sekitar satu minggu lalu. “Gue udah iklas. Mungkin gue emang enggak berjodoh sama dia.”
“Tapi, Ta ….”
Jelita menggeleng—menyiratkan agar Bagus tidak usah ikut campur soal Rendi.
“Kenapa dia begitu, sih, motifnya apa coba.” Bagus masih kesal dengan semua ini. Rasa-rasanya ingin menghajar Rendi sampai babak belur.
Jelita langsung menerawang kejadian satu minggu belakang. Di mana Prita berusaha keras mencari bukti kenapa Matheo bertindak kasar kepadanya.
“Jadi ceritanya begini.” Jelita membuang napas kasar terlebih dulu sebelum menceritakan semuanya kepada Bagus.
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Saat ini Jelita tengah difokuskan dengan pembukaan kafe baru di kawasan Kemang. Jelita yang mendapat kepercayaan dari Gilang tidak ingin mengecewakan laki-laki itu sedikit pun meski dulunya mereka berdua pernah menjalin kedekatan.Jelita tampak sibuk membantu membuat minuman di counter depan. Karena ia tidak menyangka akan serame ini pengunjung yang datang.Di saat sedang membuat kopi expresso matanya terkejut dengan kedatangan Sasha yang memasuki kafe, dan memilih duduk di meja paling pojokan yang terhalang pilar. Jelita pun segera menyelesaikan dan menyuruh pelayan untuk mengantar ke nomor meja yang memesannya. Jelita langsung segera berjalan menuju ke arah Sasha yang tampak tersenyum semringah.“Sha, kamu sendirian aja ke sini?” tanya Jelita saat sampai di depan meja Sasha.Gadis itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. “Tadi ke Dharmawangsa, dan tanya orang sana kalau Kak Lita dipindah ke sini.”Jelita terseny
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Matheo kini tengah asyik bersama teman-temannya. Terlebih statusnya yang jomlo membuat dia menjadi sangat tidak karuan. Urakan. Bebas.Yang dulunya tidak suka merokok kini Matheo mulai mengenal benda sialan itu. Dan, dia kini tengah asyik merokok sambil memegang bir kaleng.Cup.“Aku mau kau selalu bahagia seperti ini babe.” Suara serak nan seksi itu begitu menggoda hatinya. Matheo yang laki-laki normal pun merasa bergairan mendengar suara serak-serak basah yang membuatnya langsung on.“Shit!” umpatnya. Tangan Matheo langsung mematikan batang rokok itu di asbak yang memang tersedia di meja. Mata sayunya menatap perempuan yang selalu berada di kehidupannya ini. Matheo sudah tidak peduli dengan mantan-nya yang berada di Indonesia. Matheo butuh bahagia saat ini.Dan, berakhirlah sudah Matheo mencium Jessie dengan begitu menggebu-gebu. Matheo mencium perempuan itu karena mer
Hari ini seperti biasa seperti hari-hari kemarin kalau Jelita akan dijemput oleh Bagus jika pulang bekerja. Bibir ranum perempuan itu tersenyum lebar saat melihat Bagus sudah berada di parkiran—menunggunya.“Udah lama?” tanya Jelita, basa basi.“Lima belas menitan yang lalu lah kurang lebihnya.”“Hehehe, sorry, ya, tadi rame banget, Gus.”“Santai aja kali, Ta.”Bagus langsung menyodorkan helm ke arah Jelita yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senang hati.Kini mereka berdua mulai membelah jalanan kota Jakarta yang selalu ramai meski sudah larut sekalipun.“Lo udah makan?”Jelita menggeleng cepat.“Makan dulu yuk. Ada penjual nasi kucing yang katanya enak banget gitu.”Jelita langsung terkekeh dan menabok helm milik Bagus. “Lo mah kalau masalah makanan kayaknya paling juara deh.”“Maklum pecinta kuliner,
Jelita merasa ragu dan bimbang saat ingin mengangkat panggilan telepon dari nomor tidak dikenal itu. Perasaannya mendadak campur aduk. Padahal selama ini Jelita tidak pernah berurusan dengan yang namanya pinjaman online atau sejenisnya. Semisal iya pun rasanya tidak etis menelepon di tengah malam seperti ini.Dengan degupan hati yang begitu kencang, Jelita mulai menyapu tombol hijau ke samping dan segera menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Ha-halo,” sapa Jelita, lembut.“Hai, Ta. Gimana kabar lo?”Mata Jelita langsung membola begitu sempurna kala mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Suara itu—suara yang pernah membuatnya bahagia sekaligus sakit hati dalam waktu yang bersamaan—dia Matheo—suara yang dulu selalu Jelita rindukan, namun kini sangat ia hindari.“Ma-mamat?”“Iya, ini gue. Bersyukur lo masih ingat suara gue.”Jelita masih bingung harus