Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.
Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.
Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.
“Nona Cahaya Jelita Pramana.”
Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil obat milik Jelita. Prita pun membayarkan semua biaya berobat Jelita.
Saat selesai, mereka langsung berjalan keluar klinik menuju mobil honda jazz merah milik Prita. Jelita yang masih diam membisu membuat Prita mengesah dalam.
“Ta, lo masih mikirin cowok enggak tahu diri itu? lupain, Ta. Lupain.” Lama-lama Prita geram sendiri melihat sahabatnya menjadi perempuan tak berdaya seperti ini. Apalagi Prita baru pertama kali melihat Jelita segalau dan sehancur ini. “Tahu lo bakalan disakitin begini, enggak bakalan gue restuin hubungan lo sama Matheo.”
Prita terus menerocos sambil memutar kunci mobil hingga terdengar suara mesin yang menyala. Jelita sendiri hanya diam membisu.
“Pokoknya lo harus bisa cepat move on. Gue enggak mau lihat lo sedih-sedih terus. Sekarang tugas lo sembuhin diri. Ingatkan tadi kata dokter? Jaga pola makan dan istirahat. Jangan terlalu capek.”
Kini Prita terus mengomeli dan menerocos seperti sedang memarahi anaknya. Apalagi Jelita sampai detik ini masih bungkam terus.
Selama perjalanan menuju ke kos-an, Prita terus mencari-cari pedagang bubur sepanjang jalan. Namun, belum ada sama sekali. Meski adapun harus ke pasar tradisional yang jam segini sudah rame.
“Kita mampir mini market sebentar, ya. Beli roti buat lo minum obat nanti,” ucap Prita, pamit.
Kini Jelita sendirian di dalam mobil sambil diam termenung. Pikirannya terbayang dengan semua kata-kata yang diucapkan Matheo melalui pesan chatnya itu. Jelita benar-benar terluka ketika dibanding-bandingkan dengan Shelka.
Tak membutuhkan waktu lama, Prita sudah kembali sambil membawa satu kantung plastik berlogo mini market. “Nih, makan tuh roti,” titah Prita, tegas.
Merasa ucapannya tidak direspon membuat Prita merasa kesal dan naik pitam kepada Jelita. “Lo kenapa, sih, Ta? Masih mikirin Matheo? Cowok enggak ada akhlak itu?” Prita merasa lama-lama akan terserang hipertensi menghadapi Jelita yang susah move on ini.
“Memang, sih, lo baru beberapa jam putusnya. Tapi, setidaknya jangan galau-galau amat lah. Lagipula cowok modelan Matheo banyak di Tanah Abang!”
Selesai menggerutu Prita langsung tancap gas mobilnya menuju kos-an Jelita. Mengantar sahabatnya yang sedang putus cinta ini.
Tak membutuhkan waktu lama, mereka sampai dan Prita selalu mengarahkan untuk Jelita makan, minum obat dan tidur.
“Lama-lama gue mirip jadi emak-emak deh,” ujar Prita sambil terkekeh kecil.
“Thanks banget pokoknya, Prit. Entar duitnya gue ganti yang tadi.”
Prita langsung mengibaskan tangannya ke depan. “Enggak usah. Gue iklas nolong temen. Yang penting lo sembuh. Gue kangen kita seru-seruan lagi kayak dulu. Mana Siena sekarang kuliah di luar kota pula.” Prita tersenyum tipis membayangkan masa SMA-nya dulu dengan para genk-nya.
Jelita ikut tersenyum dan mengingat momen bahagia saat masa putih abu-abunya itu. “Lo enggak balik? Entar orangtua lo nyariin gimana?”
“Lo ngusir gue setelah jam dua pagi telepon buat buru-buru ke sini,” sindir Prita, pura-pura merajuk.
Jelita terkekeh kembali. “Enggak, dih. Gue ingatin aja soalnya ada jam mata kuliah, kan, nanti jam 7.”
Prita langsung mendongak dan menatap ke arah jam dinding. Bibirnya langsung mendengkus saat melihat sudah waktu subuh.
Buru-buru Prita mendekat ke arah Jelita, menatap manik mata perempuan itu. “Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa enggak usah sungkan buat telepon gue. Pokoknya gue ada buat lo 24 jam, Ta.”
“Thanks banget, ya, Prit.” Jelita merasa tersentuh kala memiliki sahabat seperti Prita ini. Perempuan itu benar-benar sangat baik kepadanya tanpa pamrih. “Lo hati-hati di jalan. Kalau ada semut jangan ditabrak,” ledek Jelita yang membuat Prita berdecak sebal.
“Yaudah gue balik.”
Akhirnya Jelita kini sendirian lagi setelah tadi sudah mengganggu Prita di pagi buta. Jelita mendesah dalam dan mulai memejamkan mata karena merasa sangat ngantuk. Entah karena terlalu lelah menangis atau efek minum obat barusan. Pokoknya Jelita sudah tidak bisa menahan matanya lagi untuk melek.
***
Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Saat ini yang dilakukan Matheo hanya mondar mandir di dalam apartemennya. Sejak mengatakan putus dengan Jelita tadi, ia merasa sesak sendiri—apalagi perkataannya yang sangat kasar—Matheo menyesal.
“Aaaaarrrg!” Matheo mengerang frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri dengan sangat kasar. Kenapa bisa ia mengatakan Jelita seorang jalang. Kenapa!
Sungguh rasa-rasanya Matheo ingin mengiris lidahnya sendiri saat ini karena sudah berucap demikian yang membuat gadis itu pasti akan sangat terluka.
Matheo langsung mengambil ponselnya dan melihat isi chat room dirinya dengan Jelita. Matanya menatap nanar dan penuh penyesalan karena sudah mengetikan itu semua barusan.
Merasa kesal membuat Matheo melempar ponselnya ke arah sembarang. “Maafin gue, Ta. Maafin gue.”
***
Kelab Malam.
Matheo merasa penat juga stress karena memikirkan hubungannya yang sudah berakhir itu. Ia pun akhirnya memutuskan pergi ke salah satu kelab malam untuk melampiaskan kondisinya yang bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja.
“Kau sudah terlalu banyak minum honey,” tegur Jessie.
Matheo hanya mengesah. Ia tetap meminta gelasnya untuk terus diisi oleh pramutama bar. “Lagi,” katanya sambil memegang gelas sloki yang sudah kosong—mengulurkan ke pramutama bar untuk diisi kembali.
Saat sudah diisi, Matheo langsung menenggak hingga tandas. Bibirnya tersenyum lebar kemudian terkekeh dan lama-lama mengoceh tidak jelas.
“Kau harus tahu sekarang diriku tidak memiliki kekasih lagi. Hahaha—Ah shit! Dia selingkuh dengan sahabatku dan aku sakit hati,” oceh Matheo sambil memukul-mukul dadanya sendiri—memberitahu jika hatinya saat ini sangat sakit dan terluka akibat Jelita yang sudah mengkhianati cintanya.
Lain hal dengan Jessie yang tampak terkejut dan tersenyum senang mendengar berita ini. “Jadi sekarang kau single?”
Matheo mengangguk-angguk dan tak lama kepalanya jatuh ke meja bar tender. “Ayo isi lagi,” rancaunya. Tangan yang memegang gelas sloki sudah diangkat tinggi agar pramutama bar mengisikan minumannya lagi.
“Kalau begitu aku mau jadi kekasihmu,” bisik Jessie, lembut—tepat di samping telinga Matheo.
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Saat ini Jelita tengah difokuskan dengan pembukaan kafe baru di kawasan Kemang. Jelita yang mendapat kepercayaan dari Gilang tidak ingin mengecewakan laki-laki itu sedikit pun meski dulunya mereka berdua pernah menjalin kedekatan.Jelita tampak sibuk membantu membuat minuman di counter depan. Karena ia tidak menyangka akan serame ini pengunjung yang datang.Di saat sedang membuat kopi expresso matanya terkejut dengan kedatangan Sasha yang memasuki kafe, dan memilih duduk di meja paling pojokan yang terhalang pilar. Jelita pun segera menyelesaikan dan menyuruh pelayan untuk mengantar ke nomor meja yang memesannya. Jelita langsung segera berjalan menuju ke arah Sasha yang tampak tersenyum semringah.“Sha, kamu sendirian aja ke sini?” tanya Jelita saat sampai di depan meja Sasha.Gadis itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. “Tadi ke Dharmawangsa, dan tanya orang sana kalau Kak Lita dipindah ke sini.”Jelita terseny
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Matheo kini tengah asyik bersama teman-temannya. Terlebih statusnya yang jomlo membuat dia menjadi sangat tidak karuan. Urakan. Bebas.Yang dulunya tidak suka merokok kini Matheo mulai mengenal benda sialan itu. Dan, dia kini tengah asyik merokok sambil memegang bir kaleng.Cup.“Aku mau kau selalu bahagia seperti ini babe.” Suara serak nan seksi itu begitu menggoda hatinya. Matheo yang laki-laki normal pun merasa bergairan mendengar suara serak-serak basah yang membuatnya langsung on.“Shit!” umpatnya. Tangan Matheo langsung mematikan batang rokok itu di asbak yang memang tersedia di meja. Mata sayunya menatap perempuan yang selalu berada di kehidupannya ini. Matheo sudah tidak peduli dengan mantan-nya yang berada di Indonesia. Matheo butuh bahagia saat ini.Dan, berakhirlah sudah Matheo mencium Jessie dengan begitu menggebu-gebu. Matheo mencium perempuan itu karena mer
Hari ini seperti biasa seperti hari-hari kemarin kalau Jelita akan dijemput oleh Bagus jika pulang bekerja. Bibir ranum perempuan itu tersenyum lebar saat melihat Bagus sudah berada di parkiran—menunggunya.“Udah lama?” tanya Jelita, basa basi.“Lima belas menitan yang lalu lah kurang lebihnya.”“Hehehe, sorry, ya, tadi rame banget, Gus.”“Santai aja kali, Ta.”Bagus langsung menyodorkan helm ke arah Jelita yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senang hati.Kini mereka berdua mulai membelah jalanan kota Jakarta yang selalu ramai meski sudah larut sekalipun.“Lo udah makan?”Jelita menggeleng cepat.“Makan dulu yuk. Ada penjual nasi kucing yang katanya enak banget gitu.”Jelita langsung terkekeh dan menabok helm milik Bagus. “Lo mah kalau masalah makanan kayaknya paling juara deh.”“Maklum pecinta kuliner,