Flasback on.
Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.
“Hei, Shelka!”
Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”
“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”
Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.
“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.
“Iya, Kak. Mau kok.”
Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung sekolah. Mereka berdua pun memilih tempat yang sepi untuk berdiskusi—Prita memilih sebuah taman kota.
Lain hal dengan Shelka yang merasa deg-degan sendiri karena merasa tidak memiliki masalah dengan kakak kelas apalagi alumni. Shelka tahu jika Prita merupakan senior-nya dulu yang terkenal sangat galak juga tomboy. Maka dari itu ia langsung ngeri saat diajak pergi tadi.
“Lagi sama siapa sekarang?”
Shelka yang tidak tahu arah pertanyaan itu pun segera bertanya kembali untuk memastikan. “Maksudnya, Kak?”
“Pacar. Lo pacaran sama siapa sekarang semenjak putus sama Matheo?”
Shelka tampak sedih ditanya seperti itu oleh Prita. “Enggak ada.”
Prita berdeham pelan. “Kenapa? Lo kan cantik. Harusnya cepet dong nyari lagi.”
“Enggak ada yang aku suka.”
“Sukanya Matheo?” Prita menoleh ke samping ke arah Shelka sambil tersenyum miring melihat adik kelasnya itu.
“Hehe, iya. Tapikan dia sudah sama Kak Lita. Jadi yaudah gapapa.”
Prita makin yakin jika perusak hubungan sahabatnya ini perempuan di sampingnya. Rasa-rasanya Prita ingin menempeleng kepala ini perempuan yang sangat blak-blakan mengakui perasaan kepada Matheo.
“Kalau Matheo tiba-tiba ngajak balikan gimana?” Prita sengaja memancing agar perempuan di sampingnya jujur lebih dalam lagi soal perasaan kepada Matheo.
“Iya jelas mau dong, Kak. Tapikan aku enggak mau merusak hubungan Kak Matheo sama Kak Lita.”
Prita berdecih kesal. Apa begini kelakuan bibit-bibit pelakor? Benar-benar menyebalkan.
Tak lama perjalanan mereka sampai di sebuah taman kota. Prita langsung turun dari mobil, dan Shelka masih menatap bingung lokasi di depannya.
“Turun!” seru Prita, sedikit kesal.
Buru-buru Shelka turun dari mobil dan mengikuti langkah kaki Prita yang berjalan masuk ke taman. Shelka masih takut hingga menoleh kanan dan kiri untuk memastikan jika di taman ini tidak ada hal aneh nantinya. Shelka takut diprank atau diapa-apain.
“Duduk,” titah Prita.
Shelka langsung duduk di bangku besi taman. Ia masih menunggu ucapan Prita selanjutnya. Namun, Shelka melihat wajah Prita yang masam membuatnya semakin takut.
“Jadi gini, gue ngajak lo ke sini mau tanya satu hal. Lo balikan sama Matheo?” tanya Prita to the poin. Dia memang tidak pandai basa basi seperti manusia pada umumnya.
“Hah! Enggak.”
“Jangan bohong.”
“Sumpah enggak, Kak. Aku komunikasi sama Kak Matheo aja enggak.”
“Gini, ya, Shelka. Saat ini hubungan Matheo dengan Lita sudah berakhir. Dan cowok idaman lo itu membandingkan Lita sama lo. Menuduh Lita selingkuh dengan Bagus. Lo tahu, kan? Lita anggap Bagus hanya teman. Mereka berteman. Kenapa Matheo menuduhnya selingkuh kalau enggak ada orang yang memberikan berita bohong kepadanya.”
“Tapi sumpah bukan aku, Kak.” Suara Shelka bahkan sudah bergetar ketakutan. Ia saja baru mendengar jika hubungan Matheo dengan Lita berakhir detik ini. “Aku enggak ada kontek sama sekali semenjak putus. Kakak bisa lihat ponselku.”
“Kalau bukan lo siapa? Yang masih terobsessi dengan Matheo cuma lo doang. Bagus enggak mungkin. Gue kenal Bagus, dia orang yang baik.”
Dan akhirnya Shelka pun menangis ketakutan. Semua itu justru semakin membuat Prita kesal juga jengah melihatnya.
“Lo kenapa nangis, sih. Enggak gue apa-apain juga. Cuma tanya doang, elah.”
“Tapi bukan aku yang ngadu sama Kak Matheo. Aku memang masih menyukainya sampai detik ini. Tapi, aku enggak berani buat ngerusak kebahagiaan Kak Matheo.”
Prita pun merasa kesal sendiri karena jawaban Shelka selalu seperti ini sejak awal hingga detik ini. Merasa tidak tega melihat Shelka menangis membuat Prita langsung menyudahi ini semua.
“Yaudah anggap aja bukan lo. Dan semoga saja memang bukan lo. Mau gue antar enggak pulangnya?”
Shelka menggeleng kuat, menolak.
“Yaudah kalau gitu gue balik.”
***
Dua hari kemudian.
Prita terkejut melihat ponselnya yang berdering tiada henti. Nama Rendi tertera di sana sedang memanggil ke nomor ponselnya terus-menerus.
Merasa aneh pun membuat Prita langsung menggeser tombol hijau ke samping. Pasalnya, Rendi tidak pernah telepon atau chat dirinya. Mereka berdua hanya saling memiliki nomor kontak masing-masing karena dulu satu kelas saat SMA.
“Ya, Ren. Ada apa?”
“Lo apain Shelka?”
Prita yang baru bangun tidur langsung mengubah posisinya menjadi duduk. “Maksudnya?”
“Enggak usah pura-pura bego lo, Prit.”
Prita memejamkan matanya. Mencoba mengumpulkan nyawa agar bisa mencerna ucapan Rendi barusan.
“Jadi dia ngadu sama lo?”
“Enggak.”
“Cih! Enggak ngadu tapi lo tahu.”
“Gue tahu dari Dita, adik gue. Shelka dibuat nangis sama lo dua hari yang lalu. Ada masalah apa lo sama dia?”
“Enggak ada masalah apa-apa.”
“Bullshit lo, Prit! Lo nuduh berakhirnya hubungan Matheo dengan Lita ulah Shelka?”
Prita makin terkejut, dan tersenyum kecut. “Kok, lo tahu kalau Matheo sama Lita berakhir?”
“Gue tahu karena bukan Shelka perusaknya, melainkan gue!”
Mendengar pengakuan Rendi membuat Prita langsung syok. Emosinya pun mendadak naik mendengar itu. “Kok lo kurang ajar banget, sih! Ada masalah apa lo sama mereka?”
“Lo enggak perlu tahu gue ada masalah apa. Gue cuma ingatin lo buat jangan gangguin Shelka!”
“Hahaha, jadi pahlawannya Shelka lo? Cih! Dibayar berapa lo?”
“Intinya gue berhasil buat Matheo bubar! Dan, bukan Shelka pelakunya.”
“Bajingan lo, Ren. Gue aduin ini ke Matheo sama Lita nanti.”
“Aduin aja, gue enggak takut.”
“Brengsek lo!”
Prita langsung mematikan sambungan teleponnya dengan kesal. Rasanya ia masih tidak percaya jika Rendi melakukan itu semua kepada Matheo yang notaben sahabatnya sendiri. Gila!
Merasa sudah dibuat kesal dan emosi di pagi hari membuat Prita langsung bergegas ke arah kamar mandi. Ia sepertinya butuh bertemu Rendi secara langsung untuk menyelesaikan semua ini.
***
Universitas Jakarta.
Aslinya Prita tidak ada jam kuliah hari ini, tapi karena ada urusan yang sangat penting akhirnya ia berakhir di sini—parkiran kampus.
Melihat Rendi yang baru datang dan sedang memarkirkan sepeda motor, dengan cepat Prita segera keluar mobil dan menghampiri laki-laki itu.
Tanpa basa basi lagi tangan Prita langsung melayang ke wajah Rendi dengan begitu sempurna.
BUG.
“Awww, bangsat!” umpat Rendi, memegang pipinya yang terkena tonjok.
“Gimana? Sakit? Ini enggak seberapa bangsat!” seru Prita lantang.
Rendi berdecih saat tahu siapa yang memukulnya.
“Lo ada masalah apa sama mereka berdua, hah? Kenapa lo tega melakukan ini semua, Ren? Matheo itu sahabat lo sendiri, kan? Kok bisa-bisanya lo tega melakukan ini, hah! Di mana hati nurani lo!”
Prita tidak memedulikan jika dirinya dan Rendi kini sudah menjadi tontonan mahasiswa lain. Prita hanya ingin meluapkan kekesalan dalam tubuhnya yang tidak bisa dibendung lagi.
“Lo pengin tahu alasan gue melakukan ini semua, hah!”
“Ya!” sahut Prita lantang, menanti alasan Rendi melakukan ini semua.
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Saat ini Jelita tengah difokuskan dengan pembukaan kafe baru di kawasan Kemang. Jelita yang mendapat kepercayaan dari Gilang tidak ingin mengecewakan laki-laki itu sedikit pun meski dulunya mereka berdua pernah menjalin kedekatan.Jelita tampak sibuk membantu membuat minuman di counter depan. Karena ia tidak menyangka akan serame ini pengunjung yang datang.Di saat sedang membuat kopi expresso matanya terkejut dengan kedatangan Sasha yang memasuki kafe, dan memilih duduk di meja paling pojokan yang terhalang pilar. Jelita pun segera menyelesaikan dan menyuruh pelayan untuk mengantar ke nomor meja yang memesannya. Jelita langsung segera berjalan menuju ke arah Sasha yang tampak tersenyum semringah.“Sha, kamu sendirian aja ke sini?” tanya Jelita saat sampai di depan meja Sasha.Gadis itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. “Tadi ke Dharmawangsa, dan tanya orang sana kalau Kak Lita dipindah ke sini.”Jelita terseny
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Matheo kini tengah asyik bersama teman-temannya. Terlebih statusnya yang jomlo membuat dia menjadi sangat tidak karuan. Urakan. Bebas.Yang dulunya tidak suka merokok kini Matheo mulai mengenal benda sialan itu. Dan, dia kini tengah asyik merokok sambil memegang bir kaleng.Cup.“Aku mau kau selalu bahagia seperti ini babe.” Suara serak nan seksi itu begitu menggoda hatinya. Matheo yang laki-laki normal pun merasa bergairan mendengar suara serak-serak basah yang membuatnya langsung on.“Shit!” umpatnya. Tangan Matheo langsung mematikan batang rokok itu di asbak yang memang tersedia di meja. Mata sayunya menatap perempuan yang selalu berada di kehidupannya ini. Matheo sudah tidak peduli dengan mantan-nya yang berada di Indonesia. Matheo butuh bahagia saat ini.Dan, berakhirlah sudah Matheo mencium Jessie dengan begitu menggebu-gebu. Matheo mencium perempuan itu karena mer
Hari ini seperti biasa seperti hari-hari kemarin kalau Jelita akan dijemput oleh Bagus jika pulang bekerja. Bibir ranum perempuan itu tersenyum lebar saat melihat Bagus sudah berada di parkiran—menunggunya.“Udah lama?” tanya Jelita, basa basi.“Lima belas menitan yang lalu lah kurang lebihnya.”“Hehehe, sorry, ya, tadi rame banget, Gus.”“Santai aja kali, Ta.”Bagus langsung menyodorkan helm ke arah Jelita yang langsung diterima oleh gadis itu dengan senang hati.Kini mereka berdua mulai membelah jalanan kota Jakarta yang selalu ramai meski sudah larut sekalipun.“Lo udah makan?”Jelita menggeleng cepat.“Makan dulu yuk. Ada penjual nasi kucing yang katanya enak banget gitu.”Jelita langsung terkekeh dan menabok helm milik Bagus. “Lo mah kalau masalah makanan kayaknya paling juara deh.”“Maklum pecinta kuliner,
Jelita merasa ragu dan bimbang saat ingin mengangkat panggilan telepon dari nomor tidak dikenal itu. Perasaannya mendadak campur aduk. Padahal selama ini Jelita tidak pernah berurusan dengan yang namanya pinjaman online atau sejenisnya. Semisal iya pun rasanya tidak etis menelepon di tengah malam seperti ini.Dengan degupan hati yang begitu kencang, Jelita mulai menyapu tombol hijau ke samping dan segera menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Ha-halo,” sapa Jelita, lembut.“Hai, Ta. Gimana kabar lo?”Mata Jelita langsung membola begitu sempurna kala mendengar suara yang sangat tidak asing untuknya. Suara itu—suara yang pernah membuatnya bahagia sekaligus sakit hati dalam waktu yang bersamaan—dia Matheo—suara yang dulu selalu Jelita rindukan, namun kini sangat ia hindari.“Ma-mamat?”“Iya, ini gue. Bersyukur lo masih ingat suara gue.”Jelita masih bingung harus
Merasa bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Matheo soal perasaannya, kini Jelita mengambil jalan tengah. Mematikan telepon dengan cepat.Baru saja ia bernapas lega karena panggilan itu sudah tidak tersambung lagi dengan Matheo. Tiba-tiba ponselnya bergetar yang menandakan adanya pesan chat masuk.[Sesuai ucapan gue tadi. Kalau lo matiin teleponnya tandanya kita balikan!] Read.Jelita hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalas ataupun menjawab. Ia benar-benar merasa lelah menghadapi sikap Matheo yang gampang sekali berubah.[Chat gue bukan koran, Ta.] Read.[Enggak jawab lo utang ciuman sama gue] Read.Merasa ancaman yang dikirimkan oleh Matheo makin ngawur saja membuat Jelita terpaksa membalas chat itu dengan perasaan yang sangat kesal.[Lo maunya apa, sih, Mat?][Gue maunya lo.][Sinting.]Buru-buru Jelita mematikan ponselnya agar Matheo tidak bisa mengganggunya. Rasa kantuk dan lelah pun kini tergantik