Share

3 - Semakin Kacau

Kini Jelita merasa lega. Plong. Satu kalimat yang sudah ia pendam selama semingguan ini kini berhasil lolos dari bibir tipisnya.

Namun entah kenapa saat ucapan itu lolos, justru Jelita kini merasa takut sendiri. Degdegan. Gemetar.

“Are you kidding me?” sebuah pertanyaan di seberang telepon membuat hati Jelita semakin deg-degan. Apakah hal yang dilakukannya kini sudah benar atau tidak. Tapi, Jelita yakin yang dilakukan ini sudah tepat.

“Apa lo selingkuh? Emang cowok mana yang bisa membuat lo tega berpaling, Ta?”

Mendengar tuduhan yang dilontarkan Matheo barusan membuat hatinya sakit. Hancur. Dan sebelum menjawab pertanyaan dari Matheo, kini lelaki itu sudah melontarkan berbagai carut-marut kepadanya.

“Gue nggak nyangka seorang Lita bisa selingkuh. Gue tahu lo lagi dekat sama Bagus, dan lo tentunya tahu juga kalau Bagus dulu suka sama lo. Tapi nggak begini caranya dong. Lo kan cewek gue, Ta. Lo harus tahu posisi lo di mana sekarang!”

“Mat …,” suara Jelita langsung bergetar hebat dituduh selingkuh. Padahal alasan ia memutuskan dan mengakhiri ini karena; sikap, sifat—Dari lelaki itu sendiri.

“Udahlah, Ta. Gue enggak mau putus sampai kapanpun. Lo itu milik gue selamanya. SE-LA-MA-NYA.” Sengaja Matheo menekan disetiap kata itu untuk memperjelas jika keinginan Jelita tidak akan pernah ia setujui. “Lo capek, jadi mendingan istirahat dulu. Nanti gue telepon lagi kalau keadaan lo udah tenang.”

Baru akan menjawab tiba-tiba panggilan telepon itu terputus begitu saja yang membuat Jelita langsung mengatupkan bibirnya rapat.

Rasa sakit yang didera pun kini semakin ternganga ketika mengetahui sikap egois Matheo barusan. Entah kenapa Matheo yang dulu ia kenal kini sangat berubah drastis. Sikapnya menjadi sangat mudah marah sekaligus egois.

Tak bisa berbuat apa-apa saat ini membuat Jelita hanya menangis saja untuk meluapkan segala kekesalan di dalam hati. Perasaannya lelah—Jelita mencoba menangis sepuas-puasnya untuk melonggarkan segala kesesakan di dada.

“Lo egois. Egois banget. Gue benci sama lo. Tapi gue juga sayang.” Sekesal apapun yang Jelita rasakan kepada Matheo, tetap saja rasa sayang itu mengalahkan rasa benci dan kecewa yang dialami—seperti saat ini—Jelita hanya bisa menangis dan memaki kepada benda mati di sekitarnya saja.

Dan, untung saja kamar kos yang dihuni Jelita kebanyakan penghuninya anak-anak kuliah semua yang memang gampang gegana saat ada masalah dengan kekasihnya. Jadi hal seperti yang Jelita lakukan merupakan hal biasa yang mereka dengar.

Terlalu lama menangis membuat mata Jelita terpejam perlahan hingga tak sadar jika dia sudah mulai terlelap dan mengarungi alam bawah sadarnya.

***

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Sepanjang mata kuliah pun pikiran Matheo terus berkelana kepada sosok gadisnya. Kenapa bisa tiba-tiba gadisnya meminta putus dengan sangat begitu gampang dan mudahnya. Memang hantu mana yang telah merasuki gadisnya sampai berani melontarkan kata-kata keramat itu.

“Kau sedang memikirkan apa? Aku perhatikan kau melamun terus menerus,” bisik Jessie—gadis yang duduk dan terus menempel kepada Matheo.

“Lita.”

“Kekasihmu?”

“Hm.”

“Kau bertengkar dengannya?” tanya Jessie, penasaran.

“Hm.”

Entah kenapa mendengar hubungan relationship Matheo dengan kekasihnya yang sedang tidak baik membuat Jessie tersenyum senang. Dengan keahlian yang dimiliki pun akhirnya Jessie langsung menatap Matheo dengan pandangan yang sangat sedih.

“Pasti kau sangat tersiksa dengan hubungan ini.” Wajah Jessie cemberut kasihan dan tersenyum manis saat Matheo menoleh ke arahnya.

Tak direspon pun membuat Jessie mencebik kesal. Terlebih Matheo hanya menoleh dan kembali menatap ke depan kelas dengan bibir yang masih saja terkatup rapat.

Tak lama kemudian suara bel pun terdengar nyaring yang membuat sang dosen segera mengakhiri mata kuliahnya. Matheo langsung berdiri untuk segera bergegas pergi namun tangan Jessie menghentikan pergerakannya.

“Kau ingin ke mana?” tanya Jessie.

“Pulang.”

“Are you seriously?” tampak Jessie tak percaya mendengar perkataan Matheo. Pasalnya lelaki itu suka menghabiskan waktu bersama teman-teman jika jam kuliah selesai. Entah menghabiskan di tempat hiburan atau di salah satu apartemen untuk sekadar nonton sekaligus minum.

Matheo mengangguk.

Jessie mendesah kecewa. Ia tahu jika Matheo seperti sedang tak ingin diganggu hari ini. Jessie penasaran dengan sosok Lita itu. Secantik dan seseksi apa dia dengan dirinya. Bahkan Jessie kini tersenyum miring seakan meremehkan gadis bernama Lita itu.

Lain hal dengan Matheo yang keluar kelas dengan tatapan fokus ke depan untuk menuju parkiran—dimana ada mobilnya di sana. Matheo segera memasuki mobilnya dan memutar kunci hingga suara mesin mobil itu terdengar. Kakinya segera menginjak pedal gas hingga arah jarum spidometer itu langsung menukik begitu tajam.

Suara decitan dan gesekan ban dengan aspal pun langsung menggerum sempurna. Mobil sport yang dikendarai kini sudah mulai membelah jalanan kota Los Angeles.

***

Sesaat sampai apartemen, Matheo langsung menelepon Rendi—sahabatnya yang sengaja ia percaya untuk mengawasi Jelita—Di Indonesia sana.

“Jadi Bagus sama Lita sering pergi bareng?” mendengar itu membuat Matheo langsung mengesah dalam.

“Hm, kalau gue perhatiin kayaknya mereka mulai saling suka.”

Matheo langsung berdecih. Mendengkus. Ternyata dugaan dan firasatnya jika Bagus masih menyukai Jelita itu memang benar adanya.

“Ren, gue minta tolong banget sama lo. Awasi mereka terus jangan sampai berbuat lebih.”

“Pasti, Mat. Btw, emang di sana enggak ada cewek cakep?” selesai bertanya Rendi langsung terkekeh sendiri dengan begitu geli. Apalagi tubuh cewek-cewek bule itu bisa membuat horni mendadak bukan? Gimanapun Rendi laki-laki normal. “Kenalin satu, Mat,” tambahnya dibarengi suara kekehan yang sangat begitu renyah.

“Itu gampang, udah dulu kalau begitu, gue banyak urusan.”

“Oke, Mat. Pokoknya lo tenang aja selama ada gue dijamin aman. Gue tetap dukung lo,” cetus Rendi, “segara putus biar lo kembali sama Shelka,” lanjutnya dalam hati.

Selesai telepon Rendi, dan mendengar kedekatan Jelita dengan Bagus membuat hatinya kian semakin panas. Terbakar.

“Jadi ini yang lo mau, Gus? Teman makan teman?” Matheo berdecih seakan jijik kepada persahabatan dirinya dengan Bagus yang sudah terjalin lama itu.

Merasa pusing. Bingung. Bimbang. Akhirnya Matheo memutuskan untuk menelepon Jessie. Bagaimanapun sikap Jessie sangat baik kepadanya—terlebih selalu ada di saat ia membutuhkan—seperti sekarang.

Selesai menelepon, Matheo langsung berjalan ke kamar dan menuju ke arah almari untuk berganti kaus. Sesekali Matheo tersenyum miring saat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Matheo sudah bertekad tidak akan menjadi lemah soal cinta. Ia juga sudah berjanji akan menjaga. Menggenggam. Mempertahankan. Apapun yang dimiliki saat ini—termasuk Jelita—kekasihnya.

Merasa cukup ia langsung segera keluar apartemen untuk menjemput Jessie yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah kafe yang berada di kawasan kota.

Selama perjalanan pun memori wajah Jelita dan senyum gadisnya itu terus berputar-putar di awang-awang. Matheo tersenyum tipis mengingat cara gadisnya merajuk dulu. Perasaan kangen pun langsung timbul begitu saja. Rasanya ingin; Memeluk, mendekap, mencium—gadisnya.

Tak membutuhkan waktu lama perjalanan Matheo sampai di kafe yang terdapat Jessie beserta teman-temannya. Matheo segera turun mobil dan menghampiri gadis itu yang sedang tertawa bahagia.

“Hai,” sapa Jessie, senang.

Matheo hanya tersenyum tipis, dan Jessie segera memperkenalkan Matheo dengan teman-temannya itu.

Matheo pun langsung menyambut teman-teman Jessie dengan sangat senang. Ia bahkan ikut bergabung duduk dengan mereka.

Kini terdapat dua laki-laki dan dua perempuan di meja ini. Tak lama salah satu teman dari Jessie mengajak mereka pergi jalan ke salah satu tempat karaoke ternama di kawasan kota.

Merasa sedang jenuh dan butuh hiburan pun dengan cepat pula Matheo mengiyakan ajakan teman dari Jessie itu.

“Aku tahu kalau kau akan menghubungiku,” ceplos Jessie, “aku pastikan akan membuatmu bahagia hari ini,” tambahnya dengan senyum merekah. Tangannya bahkan tak sungkan untuk bergelendot di lengan Matheo saat berjalan keluar kafe menuju parkiran.

“Thanks you, Jess. You’re always there for me,” balas Matheo, membuat hati Jessie melambung tinggi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Atik Sairoh
dasar tomat bego percaya aja apa yg diomongin rendy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status