Jakarta, Indonesia.
Setelah waktu malamnya dibuat untuk menangis, kini Jelita tampak lebih tenang saat duduk bersama Prita yang kini sedang galau karena akan dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Ternyata yang mengalami masalah hidup yang terasa berat ini ternyata bukan dirinya saja melainkan semua orang—termasuk Prita.
“Sumpah, ya, nggak habis pikir sama Bokap yang jodohin gue sama sugar Daddy,” adu Prita, mengesah.
Jelita yang mendengar cerita Prita pun langsung merasa kasihan sendiri. Tak lupa tangannya menepuk pundak Prita pelan sebagai wujud kalau ia akan selalu ada di saat Prita membutuhkan.
“Gue nggak mau kawin, Ta. Tolongin gue …,” rengek Prita.
Mereka berdua pun langsung berpelukan. Lebih tepatnya Jelita memeluk Prita yang sedang bimbang dengan masa depannya.
Sapuan lembut tangan Jelita mampu membuat perasaan Prita mulai tenang. “Emang udah ketemu sama calon suami lo?”
Prita langsung melepaskan pelukannya dan menatap Jelita kesal. Bibirnya memberenggut ke depan. “Belum lha, lagian gue ogah ketemu sama dia. Pasti tua.”
“Eh, siapa tahu masih muda.”
“Gue nggak mau dijodohin, Ta, nggak mau,” rengek Prita sambil menangis. “Gue pengin nikah sama laki-laki yang gue cintai,” tekan Prita tegas.
“Yaudah lo bilang gitu sama Bokap.”
“Percuma, Ta, percuma. Bokap gue idealisme banget. Apapun yang menurutnya baik dan bagus itu dianggap benar, dan pendapat gue sama Nyokap itu macam angin lalu. Nggak penting!”
Jelita pun bingung harus merespon apa. Dan yang dilakukannya hanya menepuk-nepuk pundak Prita pelan. “Coba sering-sering ngobrol dari hati ke hati, Prit.”
Prita mendengkus. Rasa-rasanya akan percuma juga berbicara dari hati ke hati kepada orangtua yang memiliki sikap idealisme tinggi.
“Gue juga lagi ada masalah sama Mamat,” ceplos Jelita kemudian.
Prita menoleh dan menatap sendu ke arah sahabatnya itu. Tampak wajah yang ditampilkan Jelita saat ini mendadak berubah menjadi muram.
“Lo ribut lagi?”
Jelita mengangguk lemah.
“Masalah apa? Pacaran kalau LDR gitu. Suka banyak ributnya dibanding senangnya. Lo kudu kuatin mental aja, Ta.”
“Semalam gue minta putus.”
“HEEEEEEEEEE.” Prita tampak terkejut. Apalagi mendengar Jelita yang berani meminta putus terlebih dulu. Pasalnya Prita tahu betul jika Matheo merupakan pacar pertama sekaligus cinta pertama dari Jelita. “Taaaaa …,” lirih Prita, ia menyadari jika sahabatnya itu tengah menangis tergugu saat ini.
Prita pun membiarkan Jelita menangis sepuasnya. Yang dilakukan Prita hanya menepuk-nepuk kecil pundak milik Jelita.
“Nangis aja gapapa. Apalagi kalau nangis bisa bikin lo lega. Keluarin. Jangan suka nahan-nahan sesuatu yang membuat lo sesak kayak gini. Luapin aja gapapa. Kita juga punya hak untuk menangis. Bukan bayi aja yang punya hak menangis.”
Prita terus mengoceh agar sahabatnya tak perlu sungkan untuk menangis. Mengeluarkan perasaan yang dirasa saat ini.
“Mungkin gue terlalu jahat minta putus duluan sama Mamat, sampai gue ngebuat dia marah banget kemarin dan tetap mempertahankan hubungan ini.”
“Lo enggak jahat, Ta. Enggak sama sekali,” tekan Prita yang memang tahu kondisi hubungan Matheo—Jelita. “Hati lo berhak bahagia juga. Enggak semestinya lo ngalah terus. Apa perlu gue sembur itu orang?”
Jelita langsung menggeleng tidak setuju. Ini urusan dirinya dengan Matheo. Tidak seharusnya Prita ikut terlibat permasalahan ini.
“Yaudah kalau emang lo nggak setuju. Gue cuma bisa berdoa aja buat kebaikan lo dan Matheo.” Prita mengusap rambut panjang Jelita dengan lembut. Perempuan itu langsung mengambil tisu di dalam tasnya untuk mengusap hidung yang keluar cairan akibat menangis tadi.
Jelita langsung melihat arlojinya, dan segera bergegas menuju kelas karena ada mata kuliah satu lagi. Prita yang sudah selesai pun pamit pulang. Mereka berdua langsung pelukan sebelum benar-benar berpisah. Saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.
***
Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Seharian penuh Matheo menghabiskan waktu di luar bersama Jessie dan teman-temannya. Lebih tepatnya mereka membooking tempat karaoke hingga tengah malam seperti ini. Yang dilakukan hanya nyanyi bersama dan saling gantian serta saling minum alkohol sebelum akhirnya Jessie mengusulkan permainan truth or dare.
Awalnya Matheo menolak permainan konyol ini karena menganggap jika permainan ini seperti permainan anak-anak. Namun, dengan bujuk rayu yang Jessie lakukan membuat Matheo tidak bisa menolak.
Mereka berempat akhirnya bermain menggunakan botol berwarna putih bekas sisa minuman yang sudah habis itu.
Tepat saat botol itu sudah diputar oleh Jessie, tepat pula botol itu berhenti tepat di depan Matheo. Jessie tersenyum senang.
“Truth or dare?” tanya Jessie menatap mata Matheo lekat-lekat. Mengunci bola mata lelaki itu. Lelaki yang membuatnya penasaran.
“Truth.”
Jessie berpikir keras. Tak lama bibirnya menyunggingkan senyuman. “When did you first get laid?”
Wajah Matheo langsung pias ditanya seperti itu oleh Jessie. Pasalnya sampai detik ini ia masih perjaka. Niatnya akan melepaskan ini bersama Jelita, tapi entahlah.
“Kenapa kau diam saja? Apa kau masih perjaka?” tebak Jessie, penasaran dan antusias menanti jawaban dari Matheo.
Matheo diam saja. Apalagi jika ketahuan masih perjaka bisa dibully habis-habisan nanti. Lagipula di sini usia remaja sudah sering melakukan seks bebas.
“Dare,” ujar Matheo selanjutnya.
Teman-teman Jessie hanya tersenyum miring melihat sikap Matheo yang tampak segan ditanya seperti itu. Lain hal dengan Jessie yang justru semakin senang mendengar Matheo mengganti truth ke dare.
“Oke, kalau gitu kiss me.” Jessie tersenyum manis menatap Matheo yang tampak ragu. “Setelah itu kau posting di sosial mediamu,” tambahnya tersenyum senang.
Lagi dan lagi, Matheo merasa seperti makan buah simalakama. Pilihan yang diajukan Jessie terasa sulit dijawab.
Apalagi pertanyaan itu mengenai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. “Oke,” jawab Matheo setuju.
Dan kini para teman-teman Jessie langsung mengeluarkan ponsel untuk memotret adegan ciuman Matheo dan Jessie itu. Mereka pun mengabadikan dari sudut yang sangat epik hingga tampak keduanya saling menikmati ciuman.
Selesai memotret, salah satu teman Jessie langsung memperlihatkan hasil jepretannya. Jessie tersenyum puas melihat foto itu karena tampak terlihat Matheo sangat menikmati ciuman ini.
“Posting sekarang.” Jessie langsung mengirimkan foto tersebut ke pesan whatsapp Matheo. Dan tak menunggu lama, Matheo langsung saja menuruti perintah Jessie untuk memposting di instagram pribadinya.
Selesai melakukannya, Matheo merasa akan terjadi peperangan dengan Jelita nantinya. Tapi, Matheo akan jelaskan dengan jujur jika yang dilakukannya dengan Jessie hanya karena sebuah permainan saja dan tidak lebih.
Mereka pun akhirnya melanjutkan permainan itu hingga larut, Matheo tentu saja mengantar Jessie pulang ke apartemennya karena keadaan perempuan itu sudah mabuk parah.
“Matheo, aku mencintaimu,” gumam Jessie, ucapannya tidak terlalu dianggap penting oleh Matheo. Apalagi keadaan Jessie yang mabuk seperti ini. “Putuskan kekasihmu itu, dan berbahagialah denganku honey,” ocehnya menggeruyam.
Jakarta, Indonesia.Jelita merasa syok saat banyak akun yang men-tag namanya di kolom komentar instagram Matheo. Merasa penasaran pun membuat Jelita membuka itu. Hatinya langsung berdenyut nyeri melihat postingan yang diunggah oleh Matheo. Dia—ciuman dengan seorang perempuan di sana. Jelita langsung menangis dan menutup akun instagramnya.“Ta, meja nomor 14 cappucinno late 1,” teriak teman kerja Jelita.Tak ingin diketahui oleh orang lain membuat Jelita buru-buru memasukan ponselnya di kantong celemek. Ia pun segera membuat pesanan untuk meja nomor 14 itu.“Lita! Astaga!” pekik salah satu rekannya. “Lo lagi kenapa, sih? Itu meluber airnya,” serunya dengan kesal dan segera mengambil alih pekerjaan Jelita."Maaf, maaf," lirih Jelita tak enak.Merasa tidak konsen bekerja membuat Jelita langsung berjalan mundur. Ia pun segera pergi menuju ke belakang bangunan kafe yang sepi. Jelita merogoh sakunya dan me
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Satu minggu kemudian.Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.“Halo.”“Ren.”“Ada apa, Mat? Tumben sering t
Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan