Share

4 - Sosial Media Membawa Petaka

Jakarta, Indonesia.

Setelah waktu malamnya dibuat untuk menangis, kini Jelita tampak lebih tenang saat duduk bersama Prita yang kini sedang galau karena akan dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Ternyata yang mengalami masalah hidup yang terasa berat ini ternyata bukan dirinya saja melainkan semua orang—termasuk Prita.

“Sumpah, ya, nggak habis pikir sama Bokap yang jodohin gue sama sugar Daddy,” adu Prita, mengesah.

Jelita yang mendengar cerita Prita pun langsung merasa kasihan sendiri. Tak lupa tangannya menepuk pundak Prita pelan sebagai wujud kalau ia akan selalu ada di saat Prita membutuhkan.

“Gue nggak mau kawin, Ta. Tolongin gue …,” rengek Prita.

Mereka berdua pun langsung berpelukan. Lebih tepatnya Jelita memeluk Prita yang sedang bimbang dengan masa depannya.

Sapuan lembut tangan Jelita mampu membuat perasaan Prita mulai tenang. “Emang udah ketemu sama calon suami lo?”

Prita langsung melepaskan pelukannya dan menatap Jelita kesal. Bibirnya memberenggut ke depan. “Belum lha, lagian gue ogah ketemu sama dia. Pasti tua.”

“Eh, siapa tahu masih muda.”

“Gue nggak mau dijodohin, Ta, nggak mau,” rengek Prita sambil menangis. “Gue pengin nikah sama laki-laki yang gue cintai,” tekan Prita tegas.

“Yaudah lo bilang gitu sama Bokap.”

“Percuma, Ta, percuma. Bokap gue idealisme banget. Apapun yang menurutnya baik dan bagus itu dianggap benar, dan pendapat gue sama Nyokap itu macam angin lalu. Nggak penting!”

Jelita pun bingung harus merespon apa. Dan yang dilakukannya hanya menepuk-nepuk pundak Prita pelan. “Coba sering-sering ngobrol dari hati ke hati, Prit.”

Prita mendengkus. Rasa-rasanya akan percuma juga berbicara dari hati ke hati kepada orangtua yang memiliki sikap idealisme tinggi.

“Gue juga lagi ada masalah sama Mamat,” ceplos Jelita kemudian.

Prita menoleh dan menatap sendu ke arah sahabatnya itu. Tampak wajah yang ditampilkan Jelita saat ini mendadak berubah menjadi muram.

“Lo ribut lagi?”

Jelita mengangguk lemah.

“Masalah apa? Pacaran kalau LDR gitu. Suka banyak ributnya dibanding senangnya. Lo kudu kuatin mental aja, Ta.”

“Semalam gue minta putus.”

“HEEEEEEEEEE.” Prita tampak terkejut. Apalagi mendengar Jelita yang berani meminta putus terlebih dulu. Pasalnya Prita tahu betul jika Matheo merupakan pacar pertama sekaligus cinta pertama dari Jelita. “Taaaaa …,” lirih Prita, ia menyadari jika sahabatnya itu tengah menangis tergugu saat ini.

Prita pun membiarkan Jelita menangis sepuasnya. Yang dilakukan Prita hanya menepuk-nepuk kecil pundak milik Jelita.

“Nangis aja gapapa. Apalagi kalau nangis bisa bikin lo lega. Keluarin. Jangan suka nahan-nahan sesuatu yang membuat lo sesak kayak gini. Luapin aja gapapa. Kita juga punya hak untuk menangis. Bukan bayi aja yang punya hak menangis.”

Prita terus mengoceh agar sahabatnya tak perlu sungkan untuk menangis. Mengeluarkan perasaan yang dirasa saat ini.

“Mungkin gue terlalu jahat minta putus duluan sama Mamat, sampai gue ngebuat dia marah banget kemarin dan tetap mempertahankan hubungan ini.”

“Lo enggak jahat, Ta. Enggak sama sekali,” tekan Prita yang memang tahu kondisi hubungan Matheo—Jelita. “Hati lo berhak bahagia juga. Enggak semestinya lo ngalah terus. Apa perlu gue sembur itu orang?”

Jelita langsung menggeleng tidak setuju. Ini urusan dirinya dengan Matheo. Tidak seharusnya Prita ikut terlibat permasalahan ini.

“Yaudah kalau emang lo nggak setuju. Gue cuma bisa berdoa aja buat kebaikan lo dan Matheo.” Prita mengusap rambut panjang Jelita dengan lembut. Perempuan itu langsung mengambil tisu di dalam tasnya untuk mengusap hidung yang keluar cairan akibat menangis tadi.

Jelita langsung melihat arlojinya, dan segera bergegas menuju kelas karena ada mata kuliah satu lagi. Prita yang sudah selesai pun pamit pulang. Mereka berdua langsung pelukan sebelum benar-benar berpisah. Saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.

***

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Seharian penuh Matheo menghabiskan waktu di luar bersama Jessie dan teman-temannya. Lebih tepatnya mereka membooking tempat karaoke hingga tengah malam seperti ini. Yang dilakukan hanya nyanyi bersama dan saling gantian serta saling minum alkohol sebelum akhirnya Jessie mengusulkan permainan truth or dare.

Awalnya Matheo menolak permainan konyol ini karena menganggap jika permainan ini seperti permainan anak-anak. Namun, dengan bujuk rayu yang Jessie lakukan membuat Matheo tidak bisa menolak.

Mereka berempat akhirnya bermain menggunakan botol berwarna putih bekas sisa minuman yang sudah habis itu.

Tepat saat botol itu sudah diputar oleh Jessie, tepat pula botol itu berhenti tepat di depan Matheo. Jessie tersenyum senang.

“Truth or dare?” tanya Jessie menatap mata Matheo lekat-lekat. Mengunci bola mata lelaki itu. Lelaki yang membuatnya penasaran.

“Truth.”

Jessie berpikir keras. Tak lama bibirnya menyunggingkan senyuman. “When did you first get laid?”

Wajah Matheo langsung pias ditanya seperti itu oleh Jessie. Pasalnya sampai detik ini ia masih perjaka. Niatnya akan melepaskan ini bersama Jelita, tapi entahlah.

“Kenapa kau diam saja? Apa kau masih perjaka?” tebak Jessie, penasaran dan antusias menanti jawaban dari Matheo.

Matheo diam saja. Apalagi jika ketahuan masih perjaka bisa dibully habis-habisan nanti. Lagipula di sini usia remaja sudah sering melakukan seks bebas.

“Dare,” ujar Matheo selanjutnya.

Teman-teman Jessie hanya tersenyum miring melihat sikap Matheo yang tampak segan ditanya seperti itu. Lain hal dengan Jessie yang justru semakin senang mendengar Matheo mengganti truth ke dare.

“Oke, kalau gitu kiss me.” Jessie tersenyum manis menatap Matheo yang tampak ragu. “Setelah itu kau posting di sosial mediamu,” tambahnya tersenyum senang.

Lagi dan lagi, Matheo merasa seperti makan buah simalakama. Pilihan yang diajukan Jessie terasa sulit dijawab.

Apalagi pertanyaan itu mengenai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. “Oke,” jawab Matheo setuju.

Dan kini para teman-teman Jessie langsung mengeluarkan ponsel untuk memotret adegan ciuman Matheo dan Jessie itu. Mereka pun mengabadikan dari sudut yang sangat epik hingga tampak keduanya saling menikmati ciuman.

Selesai memotret, salah satu teman Jessie langsung memperlihatkan hasil jepretannya. Jessie tersenyum puas melihat foto itu karena tampak terlihat Matheo sangat menikmati ciuman ini.

“Posting sekarang.” Jessie langsung mengirimkan foto tersebut ke pesan whatsapp Matheo. Dan tak menunggu lama, Matheo langsung saja menuruti perintah Jessie untuk memposting di instagram pribadinya.

Selesai melakukannya, Matheo merasa akan terjadi peperangan dengan Jelita nantinya. Tapi, Matheo akan jelaskan dengan jujur jika yang dilakukannya dengan Jessie hanya karena sebuah permainan saja dan tidak lebih.

Mereka pun akhirnya melanjutkan permainan itu hingga larut, Matheo tentu saja mengantar Jessie pulang ke apartemennya karena keadaan perempuan itu sudah mabuk parah.

“Matheo, aku mencintaimu,” gumam Jessie, ucapannya tidak terlalu dianggap penting oleh Matheo. Apalagi keadaan Jessie yang mabuk seperti ini. “Putuskan kekasihmu itu, dan berbahagialah denganku honey,” ocehnya menggeruyam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Atik Sairoh
aduhh🤦‍♀ tomat lo polos apa goblok sihh🔥
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status