Jelita pun sudah membulatkan tekadnya jika harus mengakhiri hubungan dengan Matheo. Apalagi sejak resmi berpacaran, baik Jelita dan Matheo belum pernah merasakan namanya kencan. Jelita menerima cinta Matheo di saat laki-laki itu sudah berada di Los Angeles. Dan mereka berdua sepakat untuk berkomitmen dan saling setia.
Namun, suara perempuan yang menyambut panggilannya saat ini membuat hatinya langsung merasa terluka.
“Jessie … ouh no, shit!” Jelita bahkan mendengar suara Matheo di seberang sana. Sepertinya Matheo tengah mabuk dan ditemani perempuan bernama Jessie itu.
Sebisa mungkin Jelita menguatkan hatinya yang terasa sangat sakit saat ini. Suara dentuman musik menambah keyakinan jika Matheo memang aktif pergi ke kelab malam.
“Honey, don’t do it here. I think we should go to a hotel.”
Mendengar kata-kata itu membuat Jelita meremas ponselnya dan segera mematikan dengan kasar. Tak terasa tetesan air matanya pun ikut mengalir membasahi pipinya yang putih bersih itu.
“Jadi ini yang lo bilang ke gue bakalan setia, Mat? Janji yang lo kasih dan harapan itu ternyata semuanya bullshit!” pekik Jelita kesal. Bahkan ia sudah tidak memedulikan dirinya yang menjadi bahan tontonan orang-orang yang melintas di jalan raya.
“Gue benar-benar nggak nyangka kalau lo tega melakukan ini semua sama gue,” tambah Jelita sambil mengusap kasar pipinya. Jelita langsung berbalik badan dan segera melangkah masuk ke dalam kafe.
Jangan tanya sehancur apa hati Jelita saat ini. Yang pasti kalau diibaratkan dengan sebuah gelas kaca sudah hancur berserakan di lantai. Janji yang Matheo katakan membuat Jelita sulit mempercayainya kembali.
Janji memang mudah sekali diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Inilah yang jelita rasakan dan alami. Rasa kepercayaan kepada Matheo pun lama-kelamaan semakin memundar dan mengikis seiring berjalannya waktu.
Janji yang pernah diucapkan mereka berdua saat di telepon pun mulai terlupakan dan terabaikan. Kepercayaan yang menjadi pondasi dalam hubungan semakin menjadi sebuah keraguan.
Ting!
Terdengar suara bel pintu kafe yang terbuka membuat Gilang si pemilik kafe langsung menoleh ke arah pintu. Wajahnya tersenyum semringah melihat cewek yang sempat ia taksir dulu datang. Gilang memang sempat menyukai Jelita sewaktu SMA dulu. Dan jujur perasaan itu masih ada sampai detik ini. Tapi, mengingat dijodohkan kedua orangtuanya membuat Gilang sedikit membatasi interaksi dengan Jelita karena calon istrinya itu sangatlah galak dan Gilang merasa khawatir sendiri jika nanti Jelita diapa-apain oleh calon istrinya itu.
“Kok cemberut,” tegur Gilang.
“Lagi pusing aja banyak tugas,” balas Jelita sekenanya.
“Duh, jadi nggak enak kalau gitu.”
Jelita pun langsung tak enak hati ketika Gilang mengatakan itu. Apalagi di sini ia hanya pegawai dan Gilang bos-nya. Dan seharusnya Jelita yang bilang seperti itu bukan Gilang.
“Sorry, harusnya gue yang nggak enak. Urusan kampus kebawa di kafe.”
Gilang terkekeh geli melihat ekspresi Jelita yang menggemaskan. “Its oke, Ta. Jadi saya ngundang kalian datang lebih awal karena mau bahas soal cabang kafe nih.”
Jelita pun langsung mendengarkan dan memilih duduk di sebelah Gilang. Karena semua karyawan yang lain tidak ada yang berani dekat-dekat Gilang kecuali Jelita saja.
“Niatnya saya mau buka di Daerah Kemang gitu. Cuma saya butuh orang buat dijadikan kepala di sana. Orang yang bisa menghandle dan bertanggung jawab atas kafe itu. Dan kebetulan saya penginnya Jelita yang pegang area Kemang,” ujar Gilang panjang lebar yang membuat Jelita terkejut.
Jujur aja Jelita masih baru menjadi karyawan Gilang, dan langsung diangkat menjadi kepala cabang itu menurutnya sangat berlebihan sekali. Jelita merasa belum pantas dan masih banyak orang lain yang lebih pantas darinya.
“Maaf nih, Pak. Tapikan yang lebih lama bekerja di sini banyak. Sepertinya saya belum bisa dan mampu untuk menghandle kafe. Apalagi saya juga harus kuliah dan belum bisa bekerja secara full time.”
Gilang tersenyum kembali. “Menjadi pemimpin bukan harus yang sudah lama atau sebentar, Ta. Tapi kepercayaan sang owner kepada orang itu.”
“Tapi, Pak—“
“Bagaimana yang lain? Setuju?” potong Gilang cepat. Gilang langsung mencari dukungan kepada karyawan lainnya dan tentu saja karyawan lain langsung mengangguk setuju.
Jelita sendiri hanya menggaruk kepala belakangnya bingung. Dan tak lama Gilang membubarkan meeting yang berlangsung sangat singkat itu.
“Lang, sumpah ini nggak lucu!” protes Jelita langsung. Ia langsung mengubah dari bahasa formal menjadi non-formal saat berdua seperti ini. Bagaimanapun Jelita selalu hormat kepada Gilang saat di depan para karyawan lainnya.
“Lo pantas dapatin kedudukan itu. Lagian gue yakin kalau lo itu mampu kok.”
“Iya, tapikan gue kuliah kalau pagi.”
“Kan kafe buka jam tiga.”
“Iya, sih. Tetap aja kadang gue pulang jam empat kalau ada tambahan mata kuliah.”
“Yaudah, sih, jalani aja, Ta. Gue juga sambil kuliah kok. Sama, 'kan?”
Jelita langsung berdecak sebal mendengar penuturan dari Gilang. “Lo sih enak jadi bos, mau nggak masuk juga ada karyawan yang kerja.”
Gilang terkekeh kembali. “Lo juga kepala di sana jadi sama aja, kan? Lo juga bos.”
Merasa tidak akan pernah habis berbicara dengan Gilang membuat Jelita kesal sendiri. “Terserah lo deh mau ngomong apa. Gue capek ngomong sama lo.”
Gilang masih saja terkekeh terus. “Iya iya, udah jangan ngambek bu bos,” ledek Gilang dan kini ekspresinya langsung serius menatap Jelita. “Ta, are you oke?” tanya Gilang yang membuat Jelita langsung terkejut.
“Kenapa lo tanya begitu? Gue oke kok.”
“Syukur kalau begitu. Btw, gue pergi ke kampus dulu soalnya ada matkul nanti jam satu.”
“Hati-hati.”
Melihat Gilang pergi dan keluar kafe membuat Jelita mendesah lega. Ia pun langsung menuju ke arah ruang ganti dan berbaur bersama karyawan lain di sana.
Sebelum kafe buka, Jelita memilih pergi ke area dapur dan membuat kue yang akan dijual nanti. Jelita yang memiliki bakat membuat kue pun langsung setuju ketika Gilang menawari pekerjaan kepadanya saat itu. Terlebih Jelita sedang membutuhkan uang untuk biaya kuliahnya sendiri di Jakarta.
***
Kos Melati, Jakarta.
Kini sudah pukul 12 malam, dan Jelita baru saja sampai di dalam kamar kos-nya. Tubuhnya yang terasa lelah karena bekerja seharian tadi membuatnya malas untuk bersih-bersih.
Merasa ponselnya terus bergetar membuat Jelita langsung membuka tas dan mengambil ponselnya itu. Keningnya mengerut ketika nama Matheo tengah menghubungi dirinya saat ini.
Terbesit keraguan dalam benak Jelita saat ingin mengangkat telepon dari Matheo. Jelita takut. Perasaan sakit hatinya tadi pagi kembali teringat hingga membuat ia mendesah panjang.
Huft!
Dengan gerakan perlahan pun akhirnya Jelita menggeser tombol berwarna hijau ke samping.
“Halo.”
“Ta, sorry tadi pagi saat lo telepon yang angkat temen gue.”
Jelita diam.
“Ta.”
“Hm.”
“Lo udah mau tidur, ya?”
“Iya.”
“Gue kangen sama lo, Ta. Tapi gue nggak bisa balik ke Jakarta.”
Jelita tertawa miris. Tentu saja nggak bisa ke Jakarta karena ada perempuan lain di sana yang membuat hari-hari Matheo senang.
“Gapapa.”
“Lo enggak kangen sama gue?” tanya Matheo selanjutnya.
Jelita diam tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Matheo ini. Percuma saja ia bilang kangen kalau disananya justru mendua dengan perempuan lain.
“Ta, kok diem aja, sih.”
“Gapapa.”
“Lo sehat, kan? Lo masih kerja sama Gilang?”
“Masih.”
Terdengar embusan napas panjang di seberang telepon sana yang Jelita dengar. “Lo kenapa terima tawaran Gilang, sih? Padahal kalau lo mau kerja bisa di kantor Daddy.”
“Mat, gue kerja sesuai passion yang gue miliki.”
“Ya, gue tahu lo suka buat kue. Tapikan kerjanya gitu, jam 12 malam baru pulang, dan gue di sini baru mau aktifitas buat kuliah.” Matheo mendesah panjang karena lelah harus mengatur waktu jika ingin berkomunikasi dengan Jelita. Perbedaan waktu membuat keduanya suka mengorbankan waktu istirahat seperti saat ini. “Yaudah lo istirahat gih,” tambah Matheo sebelum mematikan sambungan teleponnya.
Jelita diam, ia rasanya ingin mengatakan ini namun entah kenapa tenggorokannya terasa tercekat sendiri.
“Mat.”
“Ya, Ta. Masih kangen, ya?” tebak Matheo sambil terkekeh di seberang telepon sana.
“Gue pengin kita putus!”
Kini Jelita merasa lega. Plong. Satu kalimat yang sudah ia pendam selama semingguan ini kini berhasil lolos dari bibir tipisnya.Namun entah kenapa saat ucapan itu lolos, justru Jelita kini merasa takut sendiri. Degdegan. Gemetar.“Are you kidding me?” sebuah pertanyaan di seberang telepon membuat hati Jelita semakin deg-degan. Apakah hal yang dilakukannya kini sudah benar atau tidak. Tapi, Jelita yakin yang dilakukan ini sudah tepat.“Apa lo selingkuh? Emang cowok mana yang bisa membuat lo tega berpaling, Ta?”Mendengar tuduhan yang dilontarkan Matheo barusan membuat hatinya sakit. Hancur. Dan sebelum menjawab pertanyaan dari Matheo, kini lelaki itu sudah melontarkan berbagai carut-marut kepadanya.“Gue nggak nyangka seorang Lita bisa selingkuh. Gue tahu lo lagi dekat sama Bagus, dan lo tentunya tahu juga kalau Bagus dulu suka sama lo. Tapi nggak begini caranya dong. Lo kan cewek gue, Ta. Lo harus tahu posisi lo di mana sekarang!”“Mat …,” suara
Jakarta, Indonesia.Setelah waktu malamnya dibuat untuk menangis, kini Jelita tampak lebih tenang saat duduk bersama Prita yang kini sedang galau karena akan dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Ternyata yang mengalami masalah hidup yang terasa berat ini ternyata bukan dirinya saja melainkan semua orang—termasuk Prita.“Sumpah, ya, nggak habis pikir sama Bokap yang jodohin gue sama sugar Daddy,” adu Prita, mengesah.Jelita yang mendengar cerita Prita pun langsung merasa kasihan sendiri. Tak lupa tangannya menepuk pundak Prita pelan sebagai wujud kalau ia akan selalu ada di saat Prita membutuhkan.“Gue nggak mau kawin, Ta. Tolongin gue …,” rengek Prita.Mereka berdua pun langsung berpelukan. Lebih tepatnya Jelita memeluk Prita yang sedang bimbang dengan masa depannya.Sapuan lembut tangan Jelita mampu membuat perasaan Prita mulai tenang. “Emang udah ketemu sama calon suami lo?”Prita langs
Jakarta, Indonesia.Jelita merasa syok saat banyak akun yang men-tag namanya di kolom komentar instagram Matheo. Merasa penasaran pun membuat Jelita membuka itu. Hatinya langsung berdenyut nyeri melihat postingan yang diunggah oleh Matheo. Dia—ciuman dengan seorang perempuan di sana. Jelita langsung menangis dan menutup akun instagramnya.“Ta, meja nomor 14 cappucinno late 1,” teriak teman kerja Jelita.Tak ingin diketahui oleh orang lain membuat Jelita buru-buru memasukan ponselnya di kantong celemek. Ia pun segera membuat pesanan untuk meja nomor 14 itu.“Lita! Astaga!” pekik salah satu rekannya. “Lo lagi kenapa, sih? Itu meluber airnya,” serunya dengan kesal dan segera mengambil alih pekerjaan Jelita."Maaf, maaf," lirih Jelita tak enak.Merasa tidak konsen bekerja membuat Jelita langsung berjalan mundur. Ia pun segera pergi menuju ke belakang bangunan kafe yang sepi. Jelita merogoh sakunya dan me
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Satu minggu kemudian.Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.“Halo.”“Ren.”“Ada apa, Mat? Tumben sering t
Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J