Home / Romansa / METAMORFOSA-2 (DWILOGI) / 2 - Sebaiknya Kita Putus

Share

2 - Sebaiknya Kita Putus

Author: Jezlyn
last update Last Updated: 2021-04-10 20:06:05

Jelita pun sudah membulatkan tekadnya jika harus mengakhiri hubungan dengan Matheo. Apalagi sejak resmi berpacaran, baik Jelita dan Matheo belum pernah merasakan namanya kencan. Jelita menerima cinta Matheo di saat laki-laki itu sudah berada di Los Angeles. Dan mereka berdua sepakat untuk berkomitmen dan saling setia.

Namun, suara perempuan yang menyambut panggilannya saat ini membuat hatinya langsung merasa terluka.

“Jessie … ouh no, shit!” Jelita bahkan mendengar suara Matheo di seberang sana. Sepertinya Matheo tengah mabuk dan ditemani perempuan bernama Jessie itu.

Sebisa mungkin Jelita menguatkan hatinya yang terasa sangat sakit saat ini. Suara dentuman musik menambah keyakinan jika Matheo memang aktif pergi ke kelab malam.

“Honey, don’t do it here. I think we should go to a hotel.”

Mendengar kata-kata itu membuat Jelita meremas ponselnya dan segera mematikan dengan kasar. Tak terasa tetesan air matanya pun ikut mengalir membasahi pipinya yang putih bersih itu.

“Jadi ini yang lo bilang ke gue bakalan setia, Mat? Janji yang lo kasih dan harapan itu ternyata semuanya bullshit!” pekik Jelita kesal. Bahkan ia sudah tidak memedulikan dirinya yang menjadi bahan tontonan orang-orang yang melintas di jalan raya.

“Gue benar-benar nggak nyangka kalau lo tega melakukan ini semua sama gue,” tambah Jelita sambil mengusap kasar pipinya. Jelita langsung berbalik badan dan segera melangkah masuk ke dalam kafe.

Jangan tanya sehancur apa hati Jelita saat ini. Yang pasti kalau diibaratkan dengan sebuah gelas kaca sudah hancur berserakan di lantai. Janji yang Matheo katakan membuat Jelita sulit mempercayainya kembali.

Janji memang mudah sekali diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Inilah yang jelita rasakan dan alami. Rasa kepercayaan kepada Matheo pun lama-kelamaan semakin memundar dan mengikis seiring berjalannya waktu.

Janji yang pernah diucapkan mereka berdua saat di telepon pun mulai terlupakan dan terabaikan. Kepercayaan yang menjadi pondasi dalam hubungan semakin menjadi sebuah keraguan.

Ting!

Terdengar suara bel pintu kafe yang terbuka membuat Gilang si pemilik kafe langsung menoleh ke arah pintu. Wajahnya tersenyum semringah melihat cewek yang sempat ia taksir dulu datang. Gilang memang sempat menyukai Jelita sewaktu SMA dulu. Dan jujur perasaan itu masih ada sampai detik ini. Tapi, mengingat dijodohkan kedua orangtuanya membuat Gilang sedikit membatasi interaksi dengan Jelita karena calon istrinya itu sangatlah galak dan Gilang merasa khawatir sendiri jika nanti Jelita diapa-apain oleh calon istrinya itu.

“Kok cemberut,” tegur Gilang.

“Lagi pusing aja banyak tugas,” balas Jelita sekenanya.

“Duh, jadi nggak enak kalau gitu.”

Jelita pun langsung tak enak hati ketika Gilang mengatakan itu. Apalagi di sini ia hanya pegawai dan Gilang bos-nya. Dan seharusnya Jelita yang bilang seperti itu bukan Gilang.

“Sorry, harusnya gue yang nggak enak. Urusan kampus kebawa di kafe.”

Gilang terkekeh geli melihat ekspresi Jelita yang menggemaskan. “Its oke, Ta. Jadi saya ngundang kalian datang lebih awal karena mau bahas soal cabang kafe nih.”

Jelita pun langsung mendengarkan dan memilih duduk di sebelah Gilang.  Karena semua karyawan yang lain tidak ada yang berani dekat-dekat Gilang kecuali Jelita saja.

“Niatnya saya mau buka di Daerah Kemang gitu. Cuma saya butuh orang buat dijadikan kepala di sana. Orang yang bisa menghandle dan bertanggung jawab atas kafe itu. Dan kebetulan saya penginnya Jelita yang pegang area Kemang,” ujar Gilang panjang lebar yang membuat Jelita terkejut.

Jujur aja Jelita masih baru menjadi karyawan Gilang, dan langsung diangkat menjadi kepala cabang itu menurutnya sangat berlebihan sekali. Jelita merasa belum pantas dan masih banyak orang lain yang lebih pantas darinya.

“Maaf nih, Pak. Tapikan yang lebih lama bekerja di sini banyak. Sepertinya saya belum bisa dan mampu untuk menghandle kafe. Apalagi saya juga harus kuliah dan belum bisa bekerja secara full time.”

Gilang tersenyum kembali. “Menjadi pemimpin bukan harus yang sudah lama atau sebentar, Ta. Tapi kepercayaan sang owner kepada orang itu.”

“Tapi, Pak—“

“Bagaimana yang lain? Setuju?” potong Gilang cepat. Gilang langsung mencari dukungan kepada karyawan lainnya dan tentu saja karyawan lain langsung mengangguk setuju.

Jelita sendiri hanya menggaruk kepala belakangnya bingung. Dan tak lama Gilang membubarkan meeting yang berlangsung sangat singkat itu.

“Lang, sumpah ini nggak lucu!” protes Jelita langsung. Ia langsung mengubah dari bahasa formal menjadi non-formal saat berdua seperti ini. Bagaimanapun Jelita selalu hormat kepada Gilang saat di depan para karyawan lainnya.

“Lo pantas dapatin kedudukan itu. Lagian gue yakin kalau lo itu mampu kok.”

“Iya, tapikan gue kuliah kalau pagi.”

“Kan kafe buka jam tiga.”

“Iya, sih. Tetap aja kadang gue pulang jam empat kalau ada tambahan mata kuliah.”

“Yaudah, sih, jalani aja, Ta. Gue juga sambil kuliah kok. Sama, 'kan?”

Jelita langsung berdecak sebal mendengar penuturan dari Gilang. “Lo sih enak jadi bos, mau nggak masuk juga ada karyawan yang kerja.”

Gilang terkekeh kembali. “Lo juga kepala di sana jadi sama aja, kan? Lo juga bos.”

Merasa tidak akan pernah habis berbicara dengan Gilang membuat Jelita kesal sendiri. “Terserah lo deh mau ngomong apa. Gue capek ngomong sama lo.”

Gilang masih saja terkekeh terus. “Iya iya, udah jangan ngambek bu bos,” ledek Gilang dan kini ekspresinya langsung serius menatap Jelita. “Ta, are you oke?” tanya Gilang yang membuat Jelita langsung terkejut.

“Kenapa lo tanya begitu? Gue oke kok.”

“Syukur kalau begitu. Btw, gue pergi ke kampus dulu soalnya ada matkul nanti jam satu.”

“Hati-hati.”

Melihat Gilang pergi dan keluar kafe membuat Jelita mendesah lega. Ia pun langsung menuju ke arah ruang ganti dan berbaur bersama karyawan lain di sana.

Sebelum kafe buka, Jelita memilih pergi ke area dapur dan membuat kue yang akan dijual nanti. Jelita yang memiliki bakat membuat kue pun langsung setuju ketika Gilang menawari pekerjaan kepadanya saat itu. Terlebih Jelita sedang membutuhkan uang untuk biaya kuliahnya sendiri di Jakarta.

***

Kos Melati, Jakarta.

Kini sudah pukul 12 malam, dan Jelita baru saja sampai di dalam kamar kos-nya. Tubuhnya yang terasa lelah karena bekerja seharian tadi membuatnya malas untuk bersih-bersih.

Merasa ponselnya terus bergetar membuat Jelita langsung membuka tas dan mengambil ponselnya itu. Keningnya mengerut ketika nama Matheo tengah menghubungi dirinya saat ini.

Terbesit keraguan dalam benak Jelita saat ingin mengangkat telepon dari Matheo. Jelita takut. Perasaan sakit hatinya tadi pagi kembali teringat hingga membuat ia mendesah panjang.

Huft!

Dengan gerakan perlahan pun akhirnya Jelita menggeser tombol berwarna hijau ke samping.

“Halo.”

“Ta, sorry tadi pagi saat lo telepon yang angkat temen gue.”

Jelita diam.

“Ta.”

“Hm.”

“Lo udah mau tidur, ya?”

“Iya.”

“Gue kangen sama lo, Ta. Tapi gue nggak bisa balik ke Jakarta.”

Jelita tertawa miris. Tentu saja nggak bisa ke Jakarta karena ada perempuan lain di sana yang membuat hari-hari Matheo senang.

“Gapapa.”

“Lo enggak kangen sama gue?” tanya Matheo selanjutnya.

Jelita diam tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Matheo ini. Percuma saja ia bilang kangen kalau disananya justru mendua dengan perempuan lain.

“Ta, kok diem aja, sih.”

“Gapapa.”

“Lo sehat, kan? Lo masih kerja sama Gilang?”

“Masih.”

Terdengar embusan napas panjang di seberang telepon sana yang Jelita dengar. “Lo kenapa terima tawaran Gilang, sih? Padahal kalau lo mau kerja bisa di kantor Daddy.”

“Mat, gue kerja sesuai passion yang gue miliki.”

“Ya, gue tahu lo suka buat kue. Tapikan kerjanya gitu, jam 12 malam baru pulang, dan gue di sini baru mau aktifitas buat kuliah.” Matheo mendesah panjang karena lelah harus mengatur waktu jika ingin berkomunikasi dengan Jelita. Perbedaan waktu membuat keduanya suka mengorbankan waktu istirahat seperti saat ini. “Yaudah lo istirahat gih,” tambah Matheo sebelum mematikan sambungan teleponnya.

Jelita diam, ia rasanya ingin mengatakan ini namun entah kenapa tenggorokannya terasa tercekat sendiri.

“Mat.”

“Ya, Ta. Masih kangen, ya?” tebak Matheo sambil terkekeh di seberang telepon sana.

“Gue pengin kita putus!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jezlyn
makasih kak Titi😘
goodnovel comment avatar
Titi Qodariah
mamat semalam mabuk yaa..jd g nyadar ap yg dlakuin n jelita tau akan hal itu.. jd g mrasa bersalah..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Hello, Los Angeles

    Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Maaf Gue Emang Bodoh!

    Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Mulai Muncul Kebohongan

    Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Permintaan Keluarga Matheo Kepada Jelita

    Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Menuruti Keinginan Matheo

    Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama

  • METAMORFOSA-2 (DWILOGI)   Surat Panggilan Dari Kampus

    Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status