Share

Perjodohan yang Terlambat

Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk.

“Eh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.” Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya.

“Iya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.” Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang.

Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual.

“Untuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?” tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang.

“Iya, Bu, sudah ada,” jawab Bu Sinta sembari tersenyum.

Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.

Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala.

Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sudah banyak. Apalagi kualitas jahitannya sudah seperti butik.

‘Andai aja aku punya banyak uang, Bu. Pasti ibu sudah memiliki butik saat ini,” batin Bara.

Senyum di bibir Bara pun mengendur. Kepalanya tertunduk. Merasa bersalah dengan sang ibu yang sudah berusia senja tapi masih bekerja keras.

“Eh, Jeng. Ini Bara, kan? Anak Jeng Sinta yang sering diceritakan itu?” Bu Rima menunjuk Bara yang masih tertunduk lesu.

Bu Sinta mengiyakan. Sementara Bara tersenyum menyapa dan mendenga bahwa sang ibu selalu menceritakannya.

“Loh? Kok, sendirian ke sini? Istrimu nggak ikut?” Bu Rima duduk di kursi samping Bara.

Jika dilihat-lihat, dari pakaian Bu Rima ini seperti ibu sosialita pada umumnya. Bedanya, pakaian yang dikenakan Bu Rima begitu sederhana, tetapi terlihat elegan.

Berbeda dengan ibu mertua Bara yang terkesan memaksa memakai pakaian serba branded.

“Iya, Bu. Tadi dari kantor terus mampir ke sini. Belum sempat pulang.” Bara menjawab dengan sopan dan apa adanya.

Bu Rima mengangguk-angguk. Melihat bangga Bara yang memakai pakaian kantor meski sedikit lusuh.

"Kalau aja kamu belum menikah, sudah ibu jodohkan sama anak ibu, Bar." Bu Rima sedikit mendekat ke arah Bara.

Sorot mata antusias begitu terlihat dari wanita separuh baya yang usianya tak jauh dari Bu Sinta. Sementara Bara hanya tersenyum canggung.

Melihat gurat ketidaknyamanan Bara, Bu Sinta dengan sigap mengalihkan pembicaraan.

"Bu Rima, ini modelnya mau yang seperti gimana, Bu?" tanya Bu Sinta, meminta Bu Rima mendekat.

Bu Rima meraih ponsel yang ada di clutch bag berwarna hitam miliknya. Ia membuka model baju yang diinginkan, lalu memberitahukan pada Bu Sinta.

“Hebat, ya, Jeng Sinta. Dari hasil jahit, dia bisa menyekolahkan kamu sampai kamu sukses seperti ini." Bu Rima menoleh. Tatapan bangga dari Bu Rima tak pernah pudar sedikit pun.

“Alhamdulillah, Jeng. Enggak murni dari hasil jahit, kok.” Bu Sinta duduk di kursi jahitan sembari melingkarkan alat ukur. “Dia sendiri yang kerja keras belajar sampai dapat beasiswa.”

Tatapan Bu Rima semakin bangga terhadap Bara. Sementara Bara seolah malu atas ucapan Bu Sinta.

“Enggak gitu, kok. Ini memang sudah campur tangan Allah. Makanya aku bisa jadi seperti ini,” sahut Bara tak mau kalah.

Bu Rima dan Bu Sinta mengangguk. Setuju dengan ucapan Bara.

“Saya jadi penasaran. Pasti suami kamu juga secerdas Bara, kan, Jeng?” tebak Bu Rima.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
tunggu sudah nya ajah bu rima
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status