Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli
Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.“Dari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?” Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.“Suami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?” gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.“Siapa yang nuduh?” Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. “Bedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!”Bara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.“Mas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. “Aku habis dari rumah ibu.”Uc
Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.“Andin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?” Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.“Kenapa?” tanya Bara dengan suara serak.“Kayaknya papah pulang, deh,” jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.“Ya, udah. Biarin aja, Sayang.” Bara kembali mengecup bibir Andin.
"Ma-mau apa maksudnya, Kak?" tanya Andin tergagap.“Kok, kamu mau, sih, berhubungan badan sama orang yang nggak bisa nyukupin kebutuhan kamu, Ndin?” Alin berdecak, menyilangkan kedua tangan di depan dada.Jika sudah diremehkan seperti ini, Andin akan memilih bungkam dan enggan memperdebat pemikiran kedua kakaknya yang didukung oleh sang ibu tersebut.Dan inilah sebenarnya alasan Andin tak mau melakukan hubungan dengan sang suami. Meskipun sudah disembunyikan sedemikian rupa, entah kenapa kedua kakaknya pasti akan mengetahui, lalu mengolok-oloknya.Sementara di dalam kamar mandi, Bara tengah menyelesaikan kegiatannya. Sekiranya cukup lega, Bara kembali mandi dengan cepat.“Lagi dingin-dingin, udah mandi dua kali aja!” gerutu Bara sembari melangkah ke ranjang. “Mana nggak jadi buat anak!”Bara memakai pakaian yang sudah sempat diambil sebelumnya dan diletakkan di tepi ranjang tadi. Sekelebat, bayangan pakaian dalam Andin melintas di pikirannya. Membuat Bara kesulitan menelan salivanya.
Entah mendapat keberanian dari mana Bara mengatakan hal tersebut. Padahal selama ia menikah dengan Andin, tak sedikit pun Bara mengatakan hal kasar, nada tinggi, atau bahkan membawa kata wanita lain di dalam perdebatan mereka.Namun kali ini, saking muaknya Bara dengan tingkah laku Andin yang selalu ingin dituruti tanpa mau memahami dirinya, hingga terlontarlah kata tersebut dari mulut Bara entah disengaja atau tidak.“Oh, jadi gitu?” Andin bangkit dari posisi, sembari menatap kesal Bara. “Udah ngasih uang berapa kamu, Mas? Sampai berani-beraninya berkata seperti itu?”Bara membelalak. Kedua alisnya terangkat. Tak mengerti dengan ucapan Andin.“Berkata seperti itu gimana, Ndin?” Bara meletakkan laptop di atas meja kaca dan menggenggam tangan Andin.“Bawa-bawa wanita lain itu maksudnya apa?” pekik Andin, menepis tangan Bara.Bara mengangkat satu alis. “Kamu cemburu?”Andin menggeleng cepat. Kedua tangannya melipat sembari menatap remeh Bara yang masih duduk di sofa dengan lapisan kulit
"Enggak sama sekali!" Bara menekankan di setiap kata.Andin membelalak, tak percaya dengan ucapan Bara."Tunggu aja! Aku bakal lebih sukses dari dia!" geram Bara, dengan gigi gemeletuk.Bahkan menyebut nama Reno saja, Bara enggan. Menurut lelaki berumur 30 tahun lebih itu sangat muak mendengar pujian-pujian Andin pada Reno."Apa?" Andin tertawa, terbahak. Bak mengejek perkataan Bara. "Kerjaan kamu aja kayak gini! Udahlah kamu nggak ada gunanya! Gimana caranya kamu bisa ngalahin Reno, Mas?"Bara hanya menunduk. Bekerja di bawah tekanan siapa pun tak pernah membuat diri Bara merasa malu sedikit pun. Akan tetapi, entah mengapa bekerja sama di bawah tekanan dan bayang-bayang Reno membuat harga dirinya seolah terinjak.“Wuih, keren, ya, Reno. Masih muda tapi udah punya perusahaan sendiri,” celetuk Andin, masih sibuk berselancar di situs internet.Mendengar sang istri membangga-banggakan lelaki lain tentu saja membuat hati Bara tersayat. Bahkan ia tak mampu lagi memusatkan pikiran pada peke
Agnes menarik paksa tangan Bara. Tentu saja Bara memberontak dan berusaha terlepas dari cekalan Agnes tanpa melukai wanita itu sedikit pun. Namun entah apa yang membuat cengkraman itu sulit terlepas, padahal tenaga Bara lebih kuat darinya.Sialnya, bahkan kaki Bara tak sengaja sempat menendang tepi pintu menuju dapur itu, hingga menyisakan rasa sakit di ibu jarinya.“Awh! Shit!” erang Bara kesakitan.“Makanya, kamu nurut aja sama aku!” Agnes mencengkram kerah kaos polos Bara. “Di sini kamu itu tidak lebih dari seorang budak! Tahu kamu?”Melihat hasrat liar kakak ipar yang di luar batas itu, membuat Bara tertawa remeh.“Dan bahkan, wanita yang katanya terhormat pun mau berhubungan sama seorang budak?” Bara menekankan kata terhormat dan budak di dalamnya.Mendengar hal itu, Agnes merasa kesal. Tepat saat dirinya hendak menampar Bara, tiba-tiba saja suara Andin terdengar.“Kalian sedang apa?” tanya Andin sembari memegang gelas kosong di tangannya.Bara menghela napas lega. Merasa disela
“Ada apa, sih? Malam-malam berisik aja?” Suara Pak Abraham menggema, begitu hendak sampai di dapur.Agnes sedikit berlari dan memeluk Bu Ratna. Sementara Andin dan Bara masih berdiri di tempat tanpa melepas pandangan.“Bara mau memperkosa aku, Mah,” ucap Agnes terisak dan berbohong.Seluruh keluarga Abraham terperanjat. Dengan serta-merta, mereka menuduh Bara yang tidak-tidak dan memilih mempercayai putri ke dua mereka.“Kamu pikir kamu siapa di sini? Hah? Berani-beraninya kamu mau memperkosa anak saya! Dasar bajingan!” Bu Ratna memberi pukulan bertubi pada Bara yang sudah duduk di sofa ruang keluarga.“Mah, aku nggak salah! Aku sama sekali nggak memperkosa Kak Agnes! Bahkan nyentuh aja enggak!” kilah Bara, sembari menghalangi pukulan Bu Ratna.“Mah, sudah, Mah. Hentikan! Kita dengerin dulu penjelasan ini!” perintah Pak Abraham tak terbantah. “Jika benar dia melakukan itu, Papah sendiri yang akan menghukumnya.”Sontak, Bu Ratna pun menghentikan pukulan itu. Andin yang duduk di samping