Share

Sosok Ayah

Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.

Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”

Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”

Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.

“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.

Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”

Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.

Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin melihat foto sang ayah pun tak diberikan.

“Fotonya udah hilang, Bar. Kalau kamu pengin tahu gimana wajah ayahmu, maka bercerminlah.” Begitu kata Bu Sinta kala itu.

“Eum, kalau begitu saya permisi pamit dulu, ya, Jeng,” pamit Bu Rima canggung.

Bu Rima bangkit dari posisi, menyalami Bu Sinta dan Bara, berlalu meninggalkan mereka yang masih bungkam.

Bu Sinta kembali melanjutkan memotong bahan milik pelanggan sesuai ukuran. Ada raut wajah berbeda di sana. Bu Sinta yang biasa selalu tersenyum, tetapi kali ini terlihat murung.

“Aku juga mau pamit, Bu.” Bara meraih perlengkapan kantor yang digeletakkan di belakangnya.

“Kapan nginep sini sama Andin, Bar?” tanya Bu Sinta, begitu Bara berdiri di sampingnya.

Bara menatap lekat wajah penuh harap Bu Sinta. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Bara. Namun, sebisa mungkin ia sembunyikan rapat-rapat.

“Kalau aku udah enggak sibuk, pasti aku ajak Andin nginep di sini, Bu,” lontar Bara tak sepenuhnya berbohong.

Tak salah bukan dengan ucapan Bara? Meskipun sebenarnya Andin tak pernah mau diajak menginap di rumah san ibu, tetapi Bara masih disibukkan dengan pekerjaannya.

“Beneran?” Bu Sinta menatap Bara penuh binar.

Dari tatapan Bu Sinta, Bara merasa bersalah karena memberi harapan padanya. Padahal sesibuk apa pun Bara, ia memang ingin sesekali menginap di rumah yang begitu nyaman ini. Namun, ia tak yakin jika Andin mau ikut menginap bersamanya.

Bara tersenyum, mengangguk ragu sembari menyalami punggung tangan Bu Sinta khidmat. Meski begitu, Bu Sinta senang mendengar Bara hendak menginap jika tak sibuk.

“Aku pulang dulu, ya, Bu,” pamit Bara, berdiri di ambang pintu, diangguki oleh Bu Sinta. “Assalamualaikum.”

Bu Sinta menyusul Bara. Ia melihat Bara menyalakan motor. Entah mengapa, wanita paruh baya itu menatap bangga putranya yang hanya memakai sepeda motor buntut.

Karena menurut pandangannya, meski Bara sudah menikah dengan orang terpandang dan bekerja dengan jabatan yang lumayan, putranya tetap rendah hati. Padahal kenyataan berbanding terbalik.

“Sering-sering ke sini, ya, Bar,” ucap Bu Sinta dengan suara keras, begitu sepeda motor Bara menyala.

Bara mengangguk sebelum kendaraan roda duanya meluncur meninggalkan halaman rumah. Di sepanjang perjalanan, Bara semakin penasaran alasan sang ibu begitu sensitif jika disinggung sang ayah.

"Sebenarnya apa yang dilakukan ayah? Sampai-sampai ibu tidak pernah mau membahasnya?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
aku juga penasaran bara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status