Share

Proyek Besar

Tangan lelaki tua itu terangkat. Memberi isyarat pada Supri untuk diam. Bola mata lelaki yang memakai pakaian kantor itu menatap punggung Bara yang mulai menghilang dari penglihatannya.

“Cari tahu dia nama orang tua dan di mana dia tinggal!” perintah lelaki tua itu saat mobil yang dikendarai mulai melaju.

Supri mengangguk. “Baik, Tuan.”

Lelaki tua itu menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan. Sikunya ditumpu di atas jendela mobil belakang dengan jari mengusap-usap dagu. Bola mata yang seolah menemukan berlian itu tampak berbinar, disertai senyum tipis di wajahnya.

Dengan kecepatan penuh, Bara sampai di kantor tepat waktu, meski harus mandi keringat di pagi hari karena berlari dengan kaki pincang.

“Woy, Bro. Kenapa kaki elu pincang begitu? Habis digebuk sama bini?” celetuk Dion, tiba-tiba menghampiri meja Bara.

Bara meraih map asal dan memukulkan ke kepala Dion. “Sembarangan banget lu kalau ngomong!”

Dion terbahak melihat raut wajah kesal Bara. Sementara Bara hanya menatap Dion sinis sembari sibuk mengipas wajahnya menggunakan map yang ada di atas meja.

“Ya, lagian elu ngapain keringatan gitu pagi-pagi begini? Mana lu lari-lari dengan kaki pincang begitu!” Dion menunjuk kaki kiri Bara.

“Tadi gue nabrak mobil yang ngerem mendadak di depan gue,” beber Bara polos.

Dion kembali terbahak. Sementara Bara menatap aneh rekan kerja sekaligus sahabatnya itu. Sebenarnya Bara sudah tak heran dengan kelakuan Dion yang terbilang absurd dan receh itu. Namun menurutnya, Dion adalah sahabat yang paling mengerti Bara.

Selain berteman sejak duduk di bangku menengah atas sampai sekarang, pun sering kali Dion selalu membantu Bara di saat Bara susah. Kenangan pahit itu akan selalu Bara ingat, meski ia sukses nanti.

“Ngapa lu ngetawain gue!” Bara mendelik ke arah Dion.

Dion menghentikan tawa. Tangannya menyentuh pipi yang terasa kaku.

“Ya, lagian elu ngapain nyium pantat mobil?” Dion kembali tertawa pelan. “Bini lu udah nggak mau dicium sama elu? Jadi elu milih nyium pantat mobil, gitu?”

Dion kembali tertawa, sedangkan Bara memilih bungkam. Ada benarnya juga ucapan Dion. Andin memang sedikit sulit untuk melakukan hal intim dengannya, tetapi sampai kapan pun, Bara tak akan mengatakan masalah rumah tangganya pada Dion. Bisa berabe nanti jika mulut ember Dion sudah bocor ke mana-mana.

“Udah lu sana kerja. Nggak usah gangguin gue! Ditegur sama kepala manajer bisa berabe lu!” usir Bara, mendorong tubuh Dion.

Dion berdecak kesal. Ingin memukul Bara, tetapi sudah terlebih dahulu ditegur oleh Pak Dirham, kepala manajer di perusahaan tersebut.

“Dion! Apa pekerjaanmu sudah selesai semua? Sampai-sampai kamu ada kesempatan untuk bersenang-senang?”

Dion hanya menggeleng. Sementara manajer Bara hanya mengulum senyum melirik wajah murung Dion sembari membungkuk hormat di hadapan Pak Dirham.

“Cepat selesaikan pekerjaanmu!” perintah Pak Dirham, mengintruksi Dion menggunakan kepalanya.

Bergegas, Dion duduk di kursi kerja sembari membuka satu persatu map yang ada di hadapannya.

“Bara, kita ada meeting jam sepuluh dengan client mengenai pembangunan proyek yang akan kita garap.” Pak Dirham mendekat ke meja Bara, lalu menyodorkan dua map berwarna biru dan merah ke hadapan Bara.

“Pelajari dan siapkan presentase kita nanti. Jika proyek ini berhasil, kamu akan mendapatkan bonus besar,” sambung Pak Dirham.

Keinginannya memberi uang pada sang ibu sudah di depan mata. Bara tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu begitu saja. Dengan mata binar penuh harap, Bara mengambil alih dua map tersebut, membukanya sekilas, lalu menutup kembali.

“Baik, Pak. Akan saya pelajari dan mempersiapkan semua,” ucap Bara antusias.

Pak Dirham mengangguk-angguk. Terlihat dari sorot matanya, ia begitu percaya dengan kemampuan Bara. Karena berkali-kali Bara berhasil menaklukan proyek-proyek besar.

“Di map biru, itu adalah estimasi proyek sesuai keinginan klien.” Pak Dirham menunjuk map berwarna biru di tangan kanan Bara. “Sedangkan di map merah itu adalah estimasi anggaran yang akan keluar jika mengerjakan proyek tersebut.”

Bara membuka map berwarna biru, memahami sekejap, lalu menutupnya. Begitu pun dengan map berwarna merah yang penuh dengan angka tersebut.

“Baik, Pak. Saya paham.” Bara menatap Pak Dirham penuh keyakinan sembari meletakkan map di atas meja.

Pak Dirham tersenyum. Tak salah ia memberi posisi Bara sebagai manajer proyek karena kecerdasannya yang terbilang di atas rata-rata. Terkadang, Pak Dirham pun heran, mengapa takdir seolah mempermainkan kehidupan orang seperti Bara itu.

“Saya permisi dahulu. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan, kamu bisa ke ruangan saya.” Pak Dirham menepuk pundak Bara dan berlalu menuju ruangannya.

Bara duduk di kursi kerjanya. Senyum merekah terbit di wajah Bara. Tatapan antusias penuh binar terus tertuju pada dua map di hadapan yang tengah ia buka. Jika dihitung, mungkin sudah lima kali Bara mendapat pekerjaan proyek seperti itu. Namun, baru kali ini ia dijanjikan bonus besar jika berhasil menjalankan proyek.

Tak ayal, hal itu menimbulkan kecemburuan sosial terhadap manajer lain yang tak pernah dipercaya menjalankan proyek tersebut. Meski begitu, manajer lain tak berani mengutarakannya. Ujungnya, mereka akan membicarakan Bara di belakang.

“Wah, ada yang mau dapat gaji gede, nih. Jangan lupa sama temen!” Suara Dion mengeras di akhir kalimat.

Bara hanya berdecak, sekelebat menatap Dion, lalu kembali fokus dengan dua map di tangannya.

“Woy, lu nggak denger, ya, gue ngomong apa?” teriak Dion, membuat beberapa rekan lain menoleh.

Bara mengedikan bahu, tak mengindahkan ucapan Dion tersebut. Mulut Bara tak hentinya menggumam mengucapkan syukur pada Tuhan yang mengabulkan doanya, meski ia harus terluka terlebih dahulu di jalan raya.

Tiba-tiba Bara tertawa pelan, tapi masih terdengar di telinga Dion.

“Dih, diajak ngomong dia diem. Giliran gue diem, dia ketawa!” Dion menatap aneh Bara yang tiba-tiba menghentikan tawanya. “Emang dasar gila, ya, lu!”

Bara berdecak, lalu mendesis. Kesal dengan mulut Dion yang tak bisa diam. Andai saja ia punya kekuatan sihir membungkan mulut sahabatnya itu, mungkin sudah ia lakukan dari tadi.

“Ada suara tapi nggak ada orangnya. Jadi merinding,” sindir Bara sembari bergidik ngeri.

Mendengar hal itu, Dion pun tersulut emosi. Bergegas, ia meraih kertas lalu melempar ke arah Bara dan berhasil mengenai kepalanya. Sementara Bara hanya mengusap-usap kepala tanpa menghiraukan Dion.

“Aku berlindung dari kutukan syaithan yang terkutuk.” Bara menekankan kata syaithan sembari menatap Dion. Membuat kekesalan Dion semakin tersulut.

“Kurang ajar lu, ya, Bar! Awas lu!” ancam Dion, kembali fokus pada pekerjaannya.

Sesuai dengan jadwal yang tertera, Bara beserta jajaran penting perusahaan menghadiri meeting bersama klien di salah satu restaurant hotel bintang lima. Namun, matanya membelalak begitu tahu klien yang ditemuinya tersebut.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
punya temen kaya dion kaya nya gak bakalan kenal sama yang nama nya galau kenal na sama yang nama jengkol ajah wah jangan itu itu ketemu yang tadi yah
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status