Share

Bara Mahendra Dirgantara

Bara mengedikan bahu. Ia bangkit dari posisi duduk, lalu melangkah ke dalam kamar di lantai dua. Disusul oleh Andin di belakangnya sembari bermain ponsel.

Meski begitu, Bara dan Andin masih tidur satu ranjang. Namun tersekat oleh guling. Walau dalam keadaan marah, Bara selalu teringat dengan pesan sang ibu sewaktu mereka baru menikah.

“Semarah apa pun kamu, jangan sampai pisah ranjang, Bar.” Begitu kira-kira pesan sang ibu, Rima.

***

Fajar menyingsing. Bara sibuk berbenah berangkat bekerja. Setelah sekiranya rapi, ia menuruni tangga, menyusul Andin yang sudah duduk di kursi meja makan dari tadi.

“Ah, jadi nggak selera makan, nih, gara-gara lihat sampah!” Agnes menekankan kata sampah di dalamnya.

“Aku juga udah kenyang. Pamit berangkat dulu, ya, semua.” Deni, suami agnes, bangkit mengecup kening Agnes lalu pergi dari tempat makan.

Kedua sudut bibir Bara berkedut melihat tingkah laku Deni. Suami dari kakak ipar ke dua yang bekerja sebagai pejabat negara di kota besar itu memang sangat pintar pencitraan. Bara pun tak peduli, lalu duduk di kursi kosong samping Andin.

Berbagai sindiran dilontarkan oleh Ratna, Alin, dan Agnes. Sementara Andin hanya diam menikmati makanan tanpa sepatah kata pun.

“Eh, Mas Tio nggak ikut sarapan?” Andin menatap Tio, suami Alin, berjalan terburu-buru, melewati meja makan.

Tio menggeleng. “Enggak. Aku makan di kantor aja.”

Sekelebat, Bara menoleh, lalu kembali melanjutkan makan. Sementara Alin terlihat membuntuti Tio menuju depan rumah.

Bara yang hanya memiliki posisi sebagai manajer itu pun bangkit dan bergegas berangkat bekerja setelah pamit dengan Andin. Berbeda dengan kedua menantu tampan Abraham yang memakai mobil mewah, Bara hanya memakai sepeda motor butut menuju kantor.

Sering kali Bara mendapat cibiran tentang kendaraan yang dinaiki oleh keluarga Abraham dan rekan kerja lain. Namun sifat Bara yang cuek, tak pernah memedulikan hal itu. Apalagi gaji per bulan yang selalu diberikan seutuhnya ke sang istri.

Tak ada masalah sedikit pun untuk Bara mengenai hal itu. Yang terpenting kebutuhan Andin tercukupi. Bahkan, ada rasa ingin memberi pada ibunya, tetapi ia belum sanggup.

“Ah, jadi kangen sama ibu,” gumam Bara sembari fokus mengendarai motor.

Selama di perjalanan, Bara memikirkan bagaimana caranya agar mendapat gaji lebih dan memberikan pada sang ibu. Semakin dalam Bara larut dalam pikirannya, kendaraan yang ditumpangi semakin tak terarah, hingga menabrak mobil mewah berwarna hitam yang berhenti mendadak di hadapannya.

“Argh!” Bara mengerang saat kaki sebelah kiri tertindih sepeda motor.

Beberapa pengendara yang ada di sana pun menolong Bara. Begitu pun dengan pengendara dan penumpang mobil yang Bara tabrak.

“Maaf, Pak. Apa bapak tidak apa-apa?” tanya lelaki yang memakai pakaian serba hitam, saat Bara sudah duduk di tepi jalan.

Bara mendongak, lalu melihat kaki yang tertindih. Hanya ada luka lebam dan lecet sedikit. Begitu telapak kaki digerakkan, rasa sakit pun menyerang.

“Enggak apa-apa, Pak. Paling hanya terkilir saja,” jawab Bara pada lelaki yang dikira adalah sopir mobil hitam tersebut.

“Apa mau saya bawa ke rumah sakit, Pak?” tawar lelaki dengan name tag, Supri.

Bara tersenyum ramah. Meski rasa sakit begitu terasa, tetapi ia masih bisa menahannya. Kepalanya menoleh ke arah kantor yang jaraknya sudah tak begitu jauh dari tempat kecelakaannya.

“Tidak usah, Pak. Lagian ini salah saya. Seharusnya saya yang minta maaf,” sahut Bara sopan.

“Kalau begitu biar saya cek, Pak.” Lelaki berpakaian hitam itu meraih pergelangan kaki Bara.

Tentu saja Bara merasa tak enak. Selain itu adalah kaki tempat berpijak, pun dengan usia lelaki itu yang terlihat lebih tua darinya.

“Pak, tidak usah, Pak. Pak, saya benar tidak apa-apa.” Bara berusaha melepas genggaman lelaki itu di kakinya.

“Ada apa, Pri?” tanya lelaki tua berpawakan agak gemuk, tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Bara menoleh, tepat saat Supri bangkit dan beridiri tepat di samping lelaki tua itu sembari menunduk.

“Kaki mas-mas ini sepertinya terkilir, Tuan. Tapi tidak mau dibawa ke rumah sakit, jadi saya cek apakah baik-baik saja atau tidak,” beber Supri hati-hati.

Lelaki tua itu menoleh ke arah Bara. Sementara Bara hanya mengangguk sopan dengan senyum canggung di wajahnya.

Lelaki yang memiliki rambut dominan berwarna putih itu membuka kacamatanya. Terlihat jelas ada gurat terkejut di wajah keriputnya. Sorot mata lelaki tua itu enggan berpaling sedikit pun dari Bara, hingga Bara merasa semakin canggung dengan keadaan itu.

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja menabrak mobil bapak,” ucap Bara setelah berhasil berdiri di depan lelaki tua itu dengan kepala menunduk.

Yang harus Bara lakukan memang hanya minta maaf. Meskipun ia tahu bamper belakang mobil sedikit penyok, tetapi mungkin gaji satu bulan tak mampu menggantinya. Lagi pula, dari tampilan lelaki tua di hadapan Bara itu terlihat lebih kaya darinya. Ralat, bahkan lebih kaya dari keluarga Abraham.

Lelaki tua itu hanya terdiam tanpa satu patah kata pun. Menatap lekat wajah Bara yang penuh penyesalan. Sementara di belakangnya, Supri melihat ada gelagat aneh dengan sang tuan.

“Tuan?” panggil Supri, membuyarkan lamunan lelaki tua tersebut.

“Bagaimana?” tanya lelaki tua asal.

“Mas-mas ini minta maaf karena tidak sengaja menabrak mobil Tuan,” jawab Supri.

Lelaki tua itu mengangguk-angguk. Mendekat ke arah Bara, lalu menepuk pundaknya.

“Siapa namamu anak muda?” Lelaki tua itu menatap lekat Bara.

Bukannya marah, mata memerah dengan kantung mata mengeriput itu justru terlihat begitu senang saat bertemu Bara. Sementara Bara terlihat begitu sangat canggung, meski ada sedikit rasa tak asing dengan sosok di hadapannya.

“Bara, Pak. Bara Mahendra Dirgantara,” jawab Bara singkat.

Supri dan lelaki tua itu membelalak. Menatap tak percaya anak muda yang ada di hadapannya itu. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, meski suara kendaraan berlalu-lalang di jalan raya.

Kedua alis Bara saling tertaut. Menangkap gurat wajah aneh di kedua lelaki yang ada di hadapannya itu. Beberapa detik kemudian, Bara melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangan. Matanya membelalak karena waktu sudah menunjukkan jam 07.20 wib.

Padahal waktu masuk kerja sekitar jam setengah delapan. Jadi Bara hanya memiliki waktu sepuluh menit untuk sampai di kantor tempatnya bekerja.

“Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya permisi mau berangkat ke kantor.” Bara mengangguk hormat di hadapan lelaki tua itu.

Supri yang melihat Bara berjalan pincang pun bergegas memapahnya. Sementara lelaki tua itu hanya terus diam dan tanpa jengah menatap setiap pergerakan Bara yang tengah menyalakan motor tanpa menunggu jawaban dari lelaki tua itu.

“Terima kasih, Pak Supri,” ucap Bara tulus, menoleh lelaki tua itu sebelum melajukan motor.

“Tuan, apakah dia …. “

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
apa mungkin itu ayah bara semoga sajah
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status