Home / Urban / MILIARDER yang TERTUNDA / Bara Mahendra Dirgantara

Share

Bara Mahendra Dirgantara

Author: Dee Roro P
last update Last Updated: 2022-11-20 11:22:34

Bara mengedikan bahu. Ia bangkit dari posisi duduk, lalu melangkah ke dalam kamar di lantai dua. Disusul oleh Andin di belakangnya sembari bermain ponsel.

Meski begitu, Bara dan Andin masih tidur satu ranjang. Namun tersekat oleh guling. Walau dalam keadaan marah, Bara selalu teringat dengan pesan sang ibu sewaktu mereka baru menikah.

“Semarah apa pun kamu, jangan sampai pisah ranjang, Bar.” Begitu kira-kira pesan sang ibu, Rima.

***

Fajar menyingsing. Bara sibuk berbenah berangkat bekerja. Setelah sekiranya rapi, ia menuruni tangga, menyusul Andin yang sudah duduk di kursi meja makan dari tadi.

“Ah, jadi nggak selera makan, nih, gara-gara lihat sampah!” Agnes menekankan kata sampah di dalamnya.

“Aku juga udah kenyang. Pamit berangkat dulu, ya, semua.” Deni, suami agnes, bangkit mengecup kening Agnes lalu pergi dari tempat makan.

Kedua sudut bibir Bara berkedut melihat tingkah laku Deni. Suami dari kakak ipar ke dua yang bekerja sebagai pejabat negara di kota besar itu memang sangat pintar pencitraan. Bara pun tak peduli, lalu duduk di kursi kosong samping Andin.

Berbagai sindiran dilontarkan oleh Ratna, Alin, dan Agnes. Sementara Andin hanya diam menikmati makanan tanpa sepatah kata pun.

“Eh, Mas Tio nggak ikut sarapan?” Andin menatap Tio, suami Alin, berjalan terburu-buru, melewati meja makan.

Tio menggeleng. “Enggak. Aku makan di kantor aja.”

Sekelebat, Bara menoleh, lalu kembali melanjutkan makan. Sementara Alin terlihat membuntuti Tio menuju depan rumah.

Bara yang hanya memiliki posisi sebagai manajer itu pun bangkit dan bergegas berangkat bekerja setelah pamit dengan Andin. Berbeda dengan kedua menantu tampan Abraham yang memakai mobil mewah, Bara hanya memakai sepeda motor butut menuju kantor.

Sering kali Bara mendapat cibiran tentang kendaraan yang dinaiki oleh keluarga Abraham dan rekan kerja lain. Namun sifat Bara yang cuek, tak pernah memedulikan hal itu. Apalagi gaji per bulan yang selalu diberikan seutuhnya ke sang istri.

Tak ada masalah sedikit pun untuk Bara mengenai hal itu. Yang terpenting kebutuhan Andin tercukupi. Bahkan, ada rasa ingin memberi pada ibunya, tetapi ia belum sanggup.

“Ah, jadi kangen sama ibu,” gumam Bara sembari fokus mengendarai motor.

Selama di perjalanan, Bara memikirkan bagaimana caranya agar mendapat gaji lebih dan memberikan pada sang ibu. Semakin dalam Bara larut dalam pikirannya, kendaraan yang ditumpangi semakin tak terarah, hingga menabrak mobil mewah berwarna hitam yang berhenti mendadak di hadapannya.

“Argh!” Bara mengerang saat kaki sebelah kiri tertindih sepeda motor.

Beberapa pengendara yang ada di sana pun menolong Bara. Begitu pun dengan pengendara dan penumpang mobil yang Bara tabrak.

“Maaf, Pak. Apa bapak tidak apa-apa?” tanya lelaki yang memakai pakaian serba hitam, saat Bara sudah duduk di tepi jalan.

Bara mendongak, lalu melihat kaki yang tertindih. Hanya ada luka lebam dan lecet sedikit. Begitu telapak kaki digerakkan, rasa sakit pun menyerang.

“Enggak apa-apa, Pak. Paling hanya terkilir saja,” jawab Bara pada lelaki yang dikira adalah sopir mobil hitam tersebut.

“Apa mau saya bawa ke rumah sakit, Pak?” tawar lelaki dengan name tag, Supri.

Bara tersenyum ramah. Meski rasa sakit begitu terasa, tetapi ia masih bisa menahannya. Kepalanya menoleh ke arah kantor yang jaraknya sudah tak begitu jauh dari tempat kecelakaannya.

“Tidak usah, Pak. Lagian ini salah saya. Seharusnya saya yang minta maaf,” sahut Bara sopan.

“Kalau begitu biar saya cek, Pak.” Lelaki berpakaian hitam itu meraih pergelangan kaki Bara.

Tentu saja Bara merasa tak enak. Selain itu adalah kaki tempat berpijak, pun dengan usia lelaki itu yang terlihat lebih tua darinya.

“Pak, tidak usah, Pak. Pak, saya benar tidak apa-apa.” Bara berusaha melepas genggaman lelaki itu di kakinya.

“Ada apa, Pri?” tanya lelaki tua berpawakan agak gemuk, tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Bara menoleh, tepat saat Supri bangkit dan beridiri tepat di samping lelaki tua itu sembari menunduk.

“Kaki mas-mas ini sepertinya terkilir, Tuan. Tapi tidak mau dibawa ke rumah sakit, jadi saya cek apakah baik-baik saja atau tidak,” beber Supri hati-hati.

Lelaki tua itu menoleh ke arah Bara. Sementara Bara hanya mengangguk sopan dengan senyum canggung di wajahnya.

Lelaki yang memiliki rambut dominan berwarna putih itu membuka kacamatanya. Terlihat jelas ada gurat terkejut di wajah keriputnya. Sorot mata lelaki tua itu enggan berpaling sedikit pun dari Bara, hingga Bara merasa semakin canggung dengan keadaan itu.

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja menabrak mobil bapak,” ucap Bara setelah berhasil berdiri di depan lelaki tua itu dengan kepala menunduk.

Yang harus Bara lakukan memang hanya minta maaf. Meskipun ia tahu bamper belakang mobil sedikit penyok, tetapi mungkin gaji satu bulan tak mampu menggantinya. Lagi pula, dari tampilan lelaki tua di hadapan Bara itu terlihat lebih kaya darinya. Ralat, bahkan lebih kaya dari keluarga Abraham.

Lelaki tua itu hanya terdiam tanpa satu patah kata pun. Menatap lekat wajah Bara yang penuh penyesalan. Sementara di belakangnya, Supri melihat ada gelagat aneh dengan sang tuan.

“Tuan?” panggil Supri, membuyarkan lamunan lelaki tua tersebut.

“Bagaimana?” tanya lelaki tua asal.

“Mas-mas ini minta maaf karena tidak sengaja menabrak mobil Tuan,” jawab Supri.

Lelaki tua itu mengangguk-angguk. Mendekat ke arah Bara, lalu menepuk pundaknya.

“Siapa namamu anak muda?” Lelaki tua itu menatap lekat Bara.

Bukannya marah, mata memerah dengan kantung mata mengeriput itu justru terlihat begitu senang saat bertemu Bara. Sementara Bara terlihat begitu sangat canggung, meski ada sedikit rasa tak asing dengan sosok di hadapannya.

“Bara, Pak. Bara Mahendra Dirgantara,” jawab Bara singkat.

Supri dan lelaki tua itu membelalak. Menatap tak percaya anak muda yang ada di hadapannya itu. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, meski suara kendaraan berlalu-lalang di jalan raya.

Kedua alis Bara saling tertaut. Menangkap gurat wajah aneh di kedua lelaki yang ada di hadapannya itu. Beberapa detik kemudian, Bara melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangan. Matanya membelalak karena waktu sudah menunjukkan jam 07.20 wib.

Padahal waktu masuk kerja sekitar jam setengah delapan. Jadi Bara hanya memiliki waktu sepuluh menit untuk sampai di kantor tempatnya bekerja.

“Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya permisi mau berangkat ke kantor.” Bara mengangguk hormat di hadapan lelaki tua itu.

Supri yang melihat Bara berjalan pincang pun bergegas memapahnya. Sementara lelaki tua itu hanya terus diam dan tanpa jengah menatap setiap pergerakan Bara yang tengah menyalakan motor tanpa menunggu jawaban dari lelaki tua itu.

“Terima kasih, Pak Supri,” ucap Bara tulus, menoleh lelaki tua itu sebelum melajukan motor.

“Tuan, apakah dia …. “

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
apa mungkin itu ayah bara semoga sajah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Menuntut Penjelasan

    “Kali ini kenapa Anda ingin saya menempati rumah mewah ini?” sambung Bara, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.“Saya tidak bermaksud menelantarkan kamu dan ibu kamu, Bar, tapi …. “ Pak Dirgantara menggantung kalimatnya.“Tapi apa, Pak? Apa Bapak akan bilang karena takut harta Anda saya minta satu sen?” tuduh Bara serta-merta.Sontak, Pak Dirgantara menggeleng. Rasa bersalah yang selama ini bersarang dalam hati semakin besar melihat amarah Bara.Sementara Bara semakin kalut dengan pikirannya sendiri. Bara sama sekali tak berpikiran untuk meminta harta Pak Dirgantara. Sekali pun sang kakek itu miskin, Bara akan menerima kehadirannya dengan hati terbuka. Apa salah jika Bara mengetahui keluarga aslinya?Dengan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Pak Dirgantara, Bara yakin 100% bahwa Pak Dirgantara dengan mudah akan menemukan keberadaannya. Akan tetapi, Pak Dirgantara seolah tak menginginkan kehadiran sosok cucu kecilnya.Pak Dirgantar mengambil satu foto yang terpajang di buffet

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Sebuah Pengungkapan

    Pak Dirgantara terdiam sejenak dengan tatapan tajam lurus ke arah Bara. Sedetik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat, lalu mengangguk.“Ya, nama saya Dirgantara,” jawab Pak Dirgantara penuh penekanan.Bara terperanjat. Lidahnya sedikit kelu dengan napas yang tercekat. Namun, ia menepis jauh-jauh pikiran tentang kesamaan nama Bara dan Pak Dirgantara.‘Mungkin ada banyak nama Dirgantara di negeri ini,’ pikir Bara.“Apa kamu terkejut?” tebak Pak Dirgantara tepat sasaran.Bara mengangguk ragu. Memang Bu Sinta tak pernah menunjukkan foto atau bahkan kenangan snag ayah. Namun, Bu Sinta tak menutup-nutupi makam sang ayah. Dan setiap tahun, Bara rutin mengunjungi makan yang letaknya lumayan jauh dari rumah ibunya.Bara dapat melihat dengan jelas di batu nisan itu bahwa makan ayahnya tertulis nama Mahendra Dirgantara. Lalu, apa hubungan nama Dirgantara yang tersemat di bagian belakang nama Bara? “Apa yang membuatmu terkejut?” Pak Dirgantara memicingkan mata.Bara tersenyum tipis. Entah kena

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Curahan Hati Bara

    Bara menatap bergantian Pak Dirgantara dan Supri. Sementara Supri hanya tersenyum, melihat tingkah polos Bara.“Kamu di sini saja, Mas Bara. Tenang saja, Tuan itu baik,” ujar Supri sembari tersenyum. “Lagian saya ada urusan sebentar.”Bara pun mengangguk mendengar penjelasan Supri. Tatapannya beralih pada Pak Dirgantara yang tengah duduk dengan kaki menyilang.Hening. Bara hanya menunduk karena merasa canggung dan tak enak hati berada di rumah mewah yang mungkin tak seharusnya disinggahi. Sementara Pak Dirgantara terus mengamati wajah Bara dengan seulas senyuman.“Eum, maaf. Kenapa Bapak menatap saya seperti itu, ya?” tanya Bara tak enak.Pak Dirgantara hanya tertawa pelan. Saking pelannya, tawa itu cenderung mengarah ke kekehan. Ia menggelengkan kepala, tak menyangka jika takdir akan membawanya sampai detik ini.“Saya hanya tidak menyangka jika takdir akan memihak kepada saya,” jawab Pak Dirgantara lirih, tetapi masih didengar oleh Bara.Bara mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan P

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Rumah Mewah Pak Dirgantara

    Bara mengangguk pelan. Menatap pria tua bertubuh tinggi besar dengan seksama. Kemudian, ingatannya terputar saat ia menabrak mobil mewah yang baru saja ditumpangi.“Oh, Bapak itu?” Bara menunjuk Pak Dirgantara, kemudian beralih menunjuk ke luar. “Dan mobil itu?”Pak Dirgantara hanya tersenyum. Sontak, Bara menoleh, menuntut jawaban dari Supri.“Benar. Mobil yang kamu tumpangi tadi adalah mobil yang kamu tabrak tempo lalu,” jelas Supri, membuat Bara terkejut.Bara gusar. Ia merasa bersalah pada Pak Dirgantara yang begitu baik menolongnya. Sementara Pak Dirgantara yang mengamati wajah babak belur Bara pun khawatir."Bapak masih ingat nama saya?" Bara menunjuk dirinya sendiri.Pak Dirgantara tersenyum. "Tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa nama kamu dari dulu."Bara mengernyit. Ia tak tahu maksud Pak Dirgantara mengatakan dari dulu. Dari dulu kapan? Padahal, ia dan Pak Dirgantara baru saja bertemu.“Wajah kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?” Pak Dirgantara mendekat, menyentu

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Seonggok Sampah di Rumah Mewah

    Supri melirik Bara dari balik cermin, kemudian kembali fokus menyetir. “Kata kamu terserah saya yang penting jangan pulang dan ke rumah sakit, kan?”Bara terdiam. Rasa sakit itu perlahan mulai hilang saat Bara fokus mengamati jalanan yang hendak memasuki perumahan mewah.Kendaraan roda empat yang Bara tumpangi itu mulai memasuki halaman rumah dengan gerbang besar yang terbuka otomatis. Tak cukup sampai di sana. Bahkan, mobil yang Supri kendarai harus melewati taman dengan pohon cemara di sepanjang jalan yang lumayan panjang sebelum sampai tepat di depan rumah.“Sudah sampai, Mas. Saya bawa kamu ke rumah majikan saya. Karena saya tinggal di sini.” Supri keluar dari pintu kemudi, lalu bergegas membuka pintu belakang.Tak dapat dipungkiri, tatapan takjub Bara tunjukkan begitu melihat dengan jelas rumah mewah berwarna putih dengan tangga di teras. Bahkan, rasa sakit yang menimpanya kini lenyap begitu saja entah ke mana.“Ru-rumah siapa ini, Pak?” Bara tergagap, setia menatap takjub rumah

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Keberuntungan Bara

    Dengan tertatih, Bara berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah jalan raya yang tak begitu jauh lokasinya. Kali ini, Bara memutuskan untuk tak buru-buru kembali ke rumah karena tak mau ibunya khawatir.“Awwh! Ssh!” Bara meringis kesakitan dan tersungkur di trotoar.Tubuh Bara terasa ngilu. Tanpa sadar, lelaki yang tengah berteriak itu meneteskan air mata. Ia meluapkan segala amarah dan rasa sakit secara bersamaan. Kaki Bara tak sengaja menendang botol kaleng yang ada di sampingnya dan mendarat di jalan raya.Tepat saat itu, mobil sedan mewah berwarna hitam itu hendak lewat. Dari dalam kaca mobil, si sopir melihat Bara masih telentang sembari memegang perut.“Anak muda sekarang kenapa suka sekali mabuk?” gumam Supri, yang ternyata adalah pengendara mobil mewah tersebut.Entah kenapa meski pikiran menentang, naluri Supri ingin sekali menolong lelaki. Supri pun menepikan mobil mewah yang dikendarainya dan berjalan ke arah Bara.“Mas, Mas!” Supri menggoyang-goyangkan badan Bara da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status