Pagi ini Alona duduk berhadapan dengan Wickley yang sedang menyantap sarapan pagi. Pria itu sudah rapi dengan setelan kantor yang terlihat sangat mengilat, tak ada yang berbicara di antara mereka sampai acara sarapan selesai.
"Apa yang kau inginkan?" Wickley melipat kedua tangan seraya menyangga tubuh pada sandaran kursi.
Alona menaikkan sebelah alis bingung. "Apa maksudmu?"
"Bangun pagi, membersihkan semuanya lalu memasak, bukan dirimu sekali jika kau tak menginginkan sesuatu. Jadi cepat katakan!" ujaranya tegas.
Dalam satu waktu kita terkadang selalu mengedepankan rasa egoisme. Bukan untuk berniat jahat, hanya saja terkadang hati tak mau berkompromi untuk membuka diri, menerima setiap masukan dari sekitar dan hanya mementingkan pemikiran sendiri demi melindungi hati. Itulah yang selama ini dilakukan Alona, beribu petuah dan nasihat yang dilontarkan orang terdekatnya tentang bagaimana sebenarnya pernikahan tak membuatnya berubah pandangan. Bukan status yang jadi masalah, tapi manusia itu sendiri dengan pemikiran dan sikap yang salah.Sejatinya menyatukan dua pikiran memang bukan segampang menyatukan dua tubuh yang hanya satu malam pun bisa. Tapi ini lebih dari itu, bagaimana kita menekan ego demi mengedepankan kenyamanan bersama. Bagaimana seharusnya kita seb
Alona berjalan mengelilingi kamar, meneliti setiap sudut yang ada di dalam ruangan itu. Tak lupa juga dia mengecek kamar mandi serta balkon, dan Alona tak bisa menghentikan perasaan kagumnya akan kemewahan dan kemegahan kamar ini.Wanita itu melangkah keluar kamar, ingin melihat kembali interior serta design memukau dari rumah ini. Rasanya tadi ia belum puas memanjakan mata untuk menikmati pemandangan ini. Alona sadar ia sudah seperti wanita kampungan yang begitu norak. Tapi mau bagaimana lagi, dia memang terpesona sedalam itu pada rumah ini. Mungkin karena sebelumnya dia belum
Alona menyesap secangkir teh hangat yang tadi diantar pelayan ke dalam kamar yang saat ini ditempatinya. Jari wanita itu masih terasa bergetar karena kejadian mengejutkan yang terjadi beruntun dalam satu hari ini. Dimulai dari kererkejutannya melihat mayat di ujung tangga, hingga membuatnya berakhir diseret oleh Wickley ke rumah ini. Lalu wanita gila itu datang dan hampir membunuhnya yang malah membuat dirinya sendiri terkena tembakan dari pistol seorang Wickley Watson yang nyaris membuat Alona spot jantung."Umm ... a
Pagi ini Alona lagi-lagi diteror oleh telepon dari ibunya yang tak lelah mengingatkan untuk pulang ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung, sang ibu kali ini mengikutsertakan kakak dan abangnya untuk membujuk Alona agar segera kembali."Kamu kapan sih mau dengerin omongan orang tua?" sungut mamanya kesal.
Wickley benar-benar menepati janjinya, tak sampai sebulan mereka di Indonesia, semua persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Rencananya minggu depan adalah hari yang dipilih pria itu untuk acara besar mereka yang bahkan tanpa bertanya pada Alona lebih dulu.Meski sempat mendapat bogeman mentah dari sang abang, Ilyas, yang meraung marah ketika Wickley bertamu ke rumah dan menyatakan duduk perkaranya, tapi pria itu tetap tak gentar dan terus memasang wajah datarnya. Alona bahkan harus menjerit hingga pingsan
Alona mengganti-ganti channel TV dengan kesal yang merongrong seluruh jiwa. Pria brengsek itu yang memaksa Alona untuk ikut ke apartemennya, tapi dia malah pergi entah ke mana sejak tiga jam yang lalu tepat setelah Alona menyelesaikan mandinya.Wickley bahkan pergi tanpa pamit, meninggalkannya begitu saja, dan hingga kini tak memberi kabar apa pun. Ingin rasanya Alona perg
Pagi-pagi sekali Alona terbangun di atas ranjang king size Wickley yang hanya berbalut selimut tebal, badannya terasa lengket dan bau keringat. Menoleh ke samping, dirinya mendapati pria itu yang sedang tertidur nyenyak. Jika melihat wajahnya saat ini, Alona tak akan percaya bahwa pria yang selama ini berkelakuan iblis padanya adalah pria yang sama.Wajah damai Wickley membuat Alona tak sadar tersenyum, apa lagi mendengar suara dengkur halus pria itu yang anehnya malah terasa merdu di telinga Alona. Dengan ragu,
Sepanjang perjalanan menuju rumah orangtua Alona, Wickley tak memberikan kesempatan wanita itu melepas tautan jari mereka. Perasaan cemas semakin menyelimuti pria itu melihat Alona yang tak mengucapkan sepatah kata sedari tadi. Dia lebih suka Alona yang meledak-ledak dari pada bersikap dingin seperti ini. Kalau memang marah, harusnya wanita itu melampiaskan, bahkan jika ingin memaki pun Wickley merasa lebih baik, dari pada hanya diam begitu.Kesunyian di antara me