Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang.
“Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar.
“Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi.
“Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi.
“Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra.
“Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya.
“Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.
“Baiklah. Sekarang, minta mereka berdua mengucapkan janji padaku. Sebelum itu, kembalikan yang lain ke rumah mereka masing-masing!” titah makhluk itu.
“Baik Tuan.” Kemudian, entah dengan mantra apa, tiba-tiba empat dari muda-mudi itu menghilang dari goa itu. Kini, hanya tinggal Karta dan Minah yang tinggal di goa itu.
“Hai, Karta dan Minah, berjanjilah kepada tuan kita bahwa nanti setelah kalian menikah dan kalian memiliki anak perempuan, kalian akan menyerahkan anak kalian sebagai mempelai dari tuan kita. Untuk itu, saat anak perempuan kalian nanti menginjak usia lima tahun, tuan sendiri yang akan datang dan memberinya tanda,” ucap Karta yang diikuti oleh Karta dan Minah.
Setelah mereka mengucapkan janji itu, tiba-tiba mereka jatuh pingsan. Saat mereka terbangun mereka sudah ada di kamar masing-masing.
“Kang, semalam aku bermimpi aneh deh,” ucap Minah ketika bertemu dengan Karta.
“Sama aku juga, Min,” jawab Karta.
“Apa ... kita harus tanya sama Aki Sudra?!” tanya Minah.
“Sebaiknya begitu. Mimpi itu terasa sangat nyata,” sahut Karta.
“Bukannya semalam, kita memang pergi ke goa itu ya Kang? Apa sebenarnya semalam kita cuma mimpi?” ucap Minah menerka-nerka.
“Kita ke rumah Aki saja. Ayok!” ajak Karta.
Sesampainya di rumah Aki Sudra, Karta dan Minah segera menceritakan apa yang mereka alami yang telah mereka anggap sebagai mimpi.
“Itu bukan mimpi!” ucap Aki Sudra. Karta dan Minah sama-sama terkesiap.
“Kalian tidak percaya?” tanya Aki Sudra sambil mengusapkan tangan dan meniupkan mantra pada kaca yang selalu disimpannya dalam kantung kain yang tergantung di pinggangnya.
“Lihatlah! Kalian dengan sadar mengucapkan janji dan sumpah kalian!” ujar Aki Sudra.
Karta dan Minah merasakan seluruh sendi dalam tubuh mereka seperti tercerabut tak bersisa. Aki Sudra yang melihat itu merasa marah. Kemudian dia membaca mantra yang membuat kedua orang di hadapannya berteriak dan berguling-guling di tanah.
“A-a-am-pu-ni k-ka-mi Ki!” seru Karta sambil menahan sakit pada seluruh tubuhnya. Begitu pula dengan Minah.
“Ki ... t-to-long a-am-pu-ni k-ka-mi. K-ka-ka-mi m-mo-hon, Ki,” lirih Minah dengan tubuh bergetar menahan sakit.
“Aku ampuni kalian! Jika sekali lagi aku melihat penyesalan di wajah kalian. Aku akan langsung mencabut nyawa kalian!” seru Aki Sudra. Laki-laki itu pun menghentikan mantranya.
“Pulanglah! Dan persiapkan pernikahan kalian! Jangan lupa, siapkan tempat khusus untuk Tuan,” perintah Aki Sudra.
“Tunggu!” teriak Aki Sudra saat Karta dan Minah sudah melangkah akan meninggalkan tempat itu. Mereka pun menghentikan langkah mereka.
“Siapkan darah ayam cemani dan bunga tujuh rupa di tempat yang kalian siapkan untuk Tuan!” perintah Aki Karta.
Singkatnya hari pernikahan Karta dan Minah pun tiba. Dia menyiapkan semua yang di minta oleh Aki Sudra secara diam-diam. Beberapa bulan setelah mereka menikah, kemudian giliran Haruni dan Widarta. Disusul kemudian Sarina dan Suryaman. Jarak pernikahan mereka, masing-masing hanya sekitar tiga bulan.
Satu tahun kemudian Minah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Rudiansyah. Kemudian menyusul Haruni yang melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik yang diberi nama Mayasari. Hal ini membuat Haruni dan Widarta cemas. Namun hal itu, berbanding terbalik dengan Sarina yang merasa senang dengan kelahiran Mayasari.
Beberapa bulan kemudian, Sarina juga melahirkan bayi perempuan yang diberinya nama Watinaya. Tak nampak kecemasan dalam raut wajah Sarina meski dia melahirkan bayi perempuan. Sarina dan Suryaman memang telah tertutup mata hatinya hingga mereka merelakan putrinya menjadi mempelai dari iblis hitam. Apakah mereka benar-benar merelakan Wati menjadi mempelai iblis hitam?
Lima tahun kemudian.
Rudiansyah, Mayasari dan Watina tumbuh bersama menjadi anak-anak yang manis dan ceria hingga malam itu tiba. Malam dimana dimulainya bencana besar dalam hidup mereka berenam bahkan pada anak-anak mereka.
Malam itu, malam jum’at kliwon yang bertepatan dengan malam bulan purnama. Haruni merasakan kecemasan luar biasa.
“Kang, bagaimana ini?! Apa kita harus menyerahkan Maya?!” tanya Haruni dengan memeluk putrinya. Airmatanya meleleh.
“Aku juga bingung, Runi,” sahut Widarta.
“Kang, kita ke rumah Kang Karta. Kita titipkan Maya pada mereka dan suruh mereka pindah dari desa ini. Anak mereka laki-laki jadi akan aman!” seru Haruni menggebu-gebu. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang sejak tadi mendengarkan perbincangan mereka.
‘Jadi begitu. Kalian mau ingkar janji pada Tuan. Haruni, kamu harus hancur. Aku sudah meminta Tuan agar membuatmu hanya bisa memiliki keturunan perempuan. Jadi, mau berapa kali pun kamu melahirkan, kamu hanya akan melahirkan bayi perempuan yang akan menjadi mempelai dari Tuan. Tidak hanya kamu, tapi seluruh keturunanmu’ gumam orang itu yang ternyata adalah Sarina. Dia pun menyeringai dan bergegas menemui suami dan anaknya.
Haruni dan Widarta bergegas ke rumah Karta dan menitipkan Maya pada mereka. Namun, tiba-tiba angin bertiup kencang dan muncullah sosok mengerikan itu. Bersamaan dengan itu, muncul juga Aki Sudra, Suryaman dan Sarina.
“Jadi kalian mau berkhianat padaku!” bentak makhluk menyeramkan itu.
“T-tidak Tuan, kami hanya sedang berkunjung ke sini,” sahut Widarta.
“Benar Tuanku, mereka hanya berkinjung,” timpal Karta.
“Bohong Tuan! Saya mendengar sendiri jika mereka berencana menyembunyikan anak mereka!” seru Sarina.
“Sarina! Apa kau katakan!” seru Widarta yang terkejut mendengar ucapan adiknya.
“Kang! Aku benci Haruni. Aku benci isterimu itu. Kalo saja bapak dan ibu masih ada, aku yakin, mereka akan menolak perempuan itu jadi menantunya!” Sarina berteriak kalap.
Plaak!
“Akang menampar aku?! Aku adik kandungmu Kang! Demi perempuan sundal itu Akang menamparku?! Apa sih istimewanya perempuan itu!” seru Sarina semakin kalap.
“Sarina, apa salahkku sama kamu?! Kenapa tiba-tiba kamu berubah begini padaku?!” tanya Haruni kebingungan.
“Cih! Dasar nggak tahu diri. Hei! Perempuan sundal, kamu pikir aku tidak tahu jika kamu itu bekasnya suamiku, huh!” bentak Sarina.
“Apa maksud kamu Sarina?!” tanya Haruni yang mulai terpancing oleh emosi.
“Tidak usah pura-pura kamu!” bentak Sarina.
“Kang Suryaman sendiri yang cerita jika kamu pernah tidur dengannya!” timpal Sarina lagi.
“Cukup!” bentak makhluk mengerikan itu.
“Jika kalian mau berkelahi. Maka bertarunglag hingga salah satu dari kalian mati! Sudra, biarkan mereka bertarung sampai mati!” perintah makhluk itu. Aki Sudra meniupkan mantra pada puncak kepala dua perempuan yang bertengkar itu. Entah darimana datangnya, tiba-tiba dua perempuan seperti kerasukan dan bertarung adu kekuatan.
Sementara itu Widarta yang tak mampu menghentikan mereka segera meminta Karta dan Minah untuk pergi dari sana dan menyelamatkan Maya. Namun, mereka lupa jika di tempat itu ada iblis yang bisa mengetahui segalanya.
“Sudra! Suryaman! Kejar mereka! Aku akan menikmati pertunjukan ini!” perintah iblis itu sambil terkekeh mengerikan. Tak ada seorang pun warga yang mengetahui hal ini karena Aki Sudra telah membuat seluruh warga tertidur.
“Langkah Aki Sudra di hadang oleh Widarta. Namun, apalah artinya Widarta di bandingkan Aki Sudra dengan sekali hentak tubuhnya telah terpelanting ke tanah. Melihat hal itu emosi Haruni semakin tersulut. Dia menyerang Sarina dengan membabi buta.
Aki Sudra yang mendapat isyarat dari majikannya, langsung membaca mantra dan membuat perkelahian itu berakhir dengan Sarina dan Haruni yang jatuh pingsan. Suryaman merasa marah dan berniat menyerang Haruni yang pada saat itu justru terpaku melihat Sarina yang meregang nyawa. Dia berteriak histeris lalu jatuh pingsan. Untuk menyudahi semuanya Aki Sudra juga menghabisi Suryaman dan dengan mantranya, dia mengirimkan Wati pergi dari tempat itu. Tampak dari seringaiannya, Aki Sudra tengah merencanakan sesuatu. Atas perintah Tuannya dia saat ini sedang mengejar Karta dan isterinya. Meninggalkan Haruni dan Widarta yang pingsan
Di tempat lain, Karta yang tengah berlari bersama isteri dan dua anak kecil itu merasa ada yang mengikuti. Dia berusaha untuk mencari tempat untuk sembunyi. Dia merasa kasihan dengan istri dan kedua anak kecil yang tak lain adalah anaknya dan anak Widarta.
“Kalian mau kemana, tengah malam begini?” tanya seorang pria paruh baya yang memakai baju jubah berwarna putih dan mengenakan sorban di kepalanya.
“Tolong kami, Pak. Kami dikejar iblis, kami butuh tempat istirahat,” ucap Karta menghiba pada pria itu. Dia tak mampu lagi berpikir darimana datangnya pria itu. Saat ini dia hanya butuh tempat istirahat.
‘Dikejar iblis’ gumam pria itu seperti mengetahui sesuatu. Kemudian pria itu mengluarkan sesuatu dari saku jubahnya. Dia berjalan memutari Karta, Minah dan kedua anak kecil yang tertidur dalam gendongan mereka dengan membaca sesuatu.
“Iblis yang kamu bilang itu sudah dekat. Tetaplah kalian berdiri di sana apapun yang terjadi. Kalian akan aman di sana. Aku sudah membentengi kalian dengan kalimat suci,” ucap pria itu dan benar saja, baru saja pria itu berhenti bicara, Aki Sudra dan iblis hitam sudah tiba di tempat itu. Terlihat iblis itu membawa tubuh Haruni dan Widarta.
“Karta ... mau lari kemana kalian?!” seru Aki Sudra yang pelan-pelan mendekati Karta.
“Pak tolong teman saya yang dibawa iblis itu, mereka orang tua gadis kecil ini,” seru Karta.
Tanpa menunggu lagi, pria itu segera membaca sesuatu dan melemparkan benda yang dibawanya ke arah Aki Sudra dan iblis itu.
“Pergilah! Dan tinggalkan kedua tubuh itu di sini!” seru pria itu sambil terus membaca sesuatu. Anehnya, Aki Sudra dan Iblis itu berteriak-teriak kepanasan.
“Karta kali ini aku mengalah. Tapi ingat! Aku akan kembali lagi dan akan aku buat kedua orang yang sudah ingkar janji ini menjadi abdi setiaku! Tunggulah Karta, aku akan mengambil yang seharusnya jadi milikku!” seru suara iblis itu lalu menghilang bersamaan dengan robohnya tubuh Aki Sudra ke tanah.
Siapakah pria yang menolong Karta. Dia adalah Kyai Ahmad ayah dari Ustadz Yusuf. Karta membawa Minah dan Rudi pindah ke Desa Damai atas saran dari Kyai Ahmad. Mereka bahkan telah berikrar untuk menjadi muslim. Namun, sayangnya Widarta dan Haruni menolak untuk ikut bersama dengan mereka. Karta tak bisa memaksa mereka.
Satu tahun telah berlalu. Kutukan iblis itu terbukti. Bagaikan orang kesurupan, Widarta dan Haruni selalu mengamuk setiap malam jum’at kliwon. Tak sekali dua kali mereka mencelakai warga. Suatu ketika, mereka mendatangi Aki Sudra untuk meminta pertolongan.
Haruni dan Widarta.
Haruni dan Widarta yang mendengar hal itu merasa tidak terima dan menantang Aki Sudra. Dengan mudah Aki Sudra merobohkan mereka. Baru saja Aki Sudra akan menghabisi mereka terdengar teriakan yang memekakan telinga.
“Berhenti!” seru suara itu. Lalu muncullah Karta dan Kyai Ahmad. Melihat Kyai Ahmad, Aki Sudra langsung mengambil langkah seribu. Karta dan Kyai Ahmad membawa Haruni dan Widarta yang sudah tak berdaya ke Desa Damai. Sementara Mayasari dijemput oleh Minah.
“Kyai, apa kita akan menempatkan mereka di desa? Saya takut setelah mereka kembali sehat, mereka akan membuat kekacauan di Desa Damai,” tanya Karta cemas.
“Kamu benar, Nak Karta. Kita harus cari tempat yang aman untuk mereka sambil berusaha menyembuhkan mereka. Saya merasa, kekuatan iblis itu semakin bertambah setiapkali merasuki mereka. Terbukti dengan mereka yang masih hidup setelah pukulan Aki Sudra,” balas Kyai Ahmad.
“Begini saja, kita bawa dulu mereka ke rumahmu. Lalu diam-diam kita bawa mereka ke hutan diujung desa. Kita buatkan mereka tempat untuk berteduh. Aku akan membentengi hutan itu dengan kalimat-kalimat Allah dan mengatakan bahwa hutan itu terlarang bagi siapa pun karena sangat berbahaya. Kamu bantu aku untuk menyebarkan berita ini agar warga mematuhinya. Kita sembuhkan mereka berdua di sana,” terang Kya Ahmad.
“Baiklah Kyai. Saya ikut keputusan Kyai saja,” ucap Karta.
Flashback off
“Begitulah, akhirnya saya dan Kyai Ahmad menyembunyikan orang tua Mayasari di hutan itu,” ucap Pak Karta mengakhiri ceritanya tentang hutan terlarang. Tanpa dia ketahui iblis itu telah menjelma menjadi orang terdekatnya dan merasuk ke dalam jiwa yang dipenuhi dendam yang akan muncul kapan saja.
Bersambung
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu