“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya.
Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi.
Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang layak huni yang bisa dia kontrak atau pun dia beli.
Penampilan dan sikapnya yang misterius menimbulkan banyak tanya pada warga desa tak terkecuali kami berenam. Bahkan, meski sudah berbulan-bulan dia tinggal di Desa Dayoh, dia jarang sekali keluar rumah.
Pada suatu ketika karena rasa penasaran yang sudah meninggi, kami berenam memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Dengan mengendap-endap kami mendekati rumah itu.
“Siapakah Aki Sudra ini, Pak?” tanya Ustadz Yusuf memotong cerita Pak Karta.
“Ijinkan saya lanjutkan cerita saya dulu, Ustadz,” ujar Pak Karta. Meski penasaran, Ustadz Yusuf mengijinkan Pak Karta melanjutkan ceritanya terlebih dahulu.
Flashback On
Enam orang muda-mudi terlihat mengendap-endap di halaman rumah yang tampak menyeramkan. Padahal, hari itu masih siang, bahkan matahari bersinar sangat terik. Namun, suasana rumah yang di tempati oleh pendatang baru itu.
“Berhenti!” suara menggelegar tiba-tiba menghentikan langkah enam orang muda-mudi itu. Sontak mereka berenam langsung terpaku ditempat masing-masing. Yang lebih aneh lagi, secara mengejutkan sosok yang tadi hanya terdengar suaranya itu sudah berdiri di hadapan mereka secara tiba-tiba. Padahal saat mereka tiba tempat itu sangat sepi tak terlihat siapapun di sana. Pintu rumahnya juga dalam keadaan tertutup.
Keenam orang muda-mudi itu terlihat gemetaran melihat sorot mata tajam dari laki-laki di hadapan mereka.
“Mau apa kalian?!” tanya laki-laki itu dengan nada dingin.
“K-kami ... kami hanya ingin berkunjung dan berkenalan,” jawab salah seorang dari mereka.
“Berkunjung?! Apa menurut kalian, aku terlihat suka menerima tamu. Kecuali ...” laki-laki itu menggantung kalimatnya.
“Ke-kecuali a-apa ... em ... bagaimana kami memanggil bapak?” tanya pemuda yang tadi bertanya.
“Aki! Panggil aku aki ... aki Sudra, itu namaku!” jawab laki-laki itu menyebutkan namanya.
“Siapa nama kalian?!” tanya laki-laki bernama Aki Sudra itu.
“Saya Karta, Ki dan ini tunangan saya Minah,” jawab pemuda yang sejak tadi bertanya pada Aki Sudra. Setelah pemuda bernama Karta itu memperkenalkan diri, empat orang yang lain juga memperkenalkan diri.
“Emm ... Maaf Ki, tadi kecuali apa ya?” tanya Karta masih penasaran.
“Kecuali mau belajar ilmu yang aku punya dan jadi anak buahku!” ucap Aki Sudra.
Keenam muda-mudi itu saling pandang. Mereka tak paham apa maksud laki-laki yang masih tampak asing bagi mereka.
“Hemm ... begini saja, kalian masuk saja dulu. Yah ... sebenarnya aku tidak suka menerima tamu yang tidak jelas seperti kalian. Tapi, kalian sudah di sini jadi masuklah!” perintah Aki Sudra. Seperti terhipnotis mereka berenam memasuki rumah Aki Sudra. Sementara itu, Aki Sudra terlihat sedang tersenyum licik. Entah ada rencana apa di kepala laki-laki itu.
Di dalam rumah, keenam muda-mudi itu diberikan masing-masing segelas air minum yang tanpa sepengetahuan mereka telah diberikan mantra oleh Aki Sudra.
“Kalian akan menjadi pengikutku dan akan mematuhi semua perintahku!” ucap Aki Sudra. Keenam muda-mudi itu hanya menganggukan kepala mereka.
“Ha ha ha!” terdengar suara tawa menggelegar dari Aki Sudra. Tak lama kemudian Aki Sudra mengambil sebuah wadah dan sebuah pisau kecil.
“Ini! Iris jari kalian dan teteskan darahnya ke dalam wadah ini lalu ikuti apa yang aku katakan!” perintah Aki Sudra. Keenam orang itu hanya mengikuti apa yang Aki Sudra perintahkan. Tanpa mereka sadari, setelah mereka mengucapkan sumpah dan meneteskan darah mereka ke dalam wadah itu, jiwa mereka tak hanya terikat dengan Aki Sudra tapi juga terikat dengan iblis yang selama ini menjadi junjungan dari Aki Sudra.
“Sekarang, kalian pulanglah! Tapi ingat! Besok malam kalian harus kembali ke sini. Aku akan membawa kalian ke suatu tempat untuk ritual selanjutnya!” perintah Aki Sudra.
“Baik Ki!” jawab mereka serentak. Kemudian mereka berenam pun beranjak pulang ke rumah masing-masing. Tiba-tiba Sarina berseru dan mengejutkan yang lain.
“Loh! Jariku kenapa bisa terluka gini sih!” seru Sarina. Yang lain melihat jari Sarina dan terkejut.
“Eh! Jariku juga loh!” Minah ikut berseru.
“Aneh! Kenapa jari kita bisa terluka dan masih mengeluarkan darah begini ?!” kali ini Widarta yang angkat bicara.
“Apa mungkin ... saat di rumah Aki Sudra kita melakukan sesuatu yang membuat kita terluka?” tanya Karta lagi.
“Kalo memang iya, kenapa tak ada satu pun dari kita yang ingat akan hal itu!” seru Haruni berpendapat.
“Iya juga ya?!” celetuk Sarina lagi.
“Arrghh! Sakit!” tiba-tiba Minah berteriak sambil memegang kepalanya.
“Min ... Minah! Kamu kenapa Min?!” seru Karta panik melihat tunangannya berteriak kesakitan.
“J-jang-jangan ... b-bi-ca-ra l-la-giih! A-a-ki S-su-su-dra m-ma-ma-raahh!” ucap Minah terbata sambil memegang kepalanya, lalu jatuh pingsan. Karta dan yang lainnya panik saat melihat Minah tiba-tiba pingsan setelah mengatakan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Mereka bagaimana Aki Sudra mengetahui jika saat ini mereka sedang membahas tentang jari mereka yang tiba-tiba terluka.
“Ada apa ini?!” tiba-tiba ada seorang wanita yang mengejutkan mereka.
“Minah tiba-tiba pingsan, Bi,” celetuk Haruni.
“Cepat angkat dan bawa ke rumah saya dulu. Kebetulan rumah saya tak jauh dari sini,” ucap wanita itu.
“Baik Bi, terima kasih,” ucap Karta lalu menggendong tubuh tunangannya dan membawa ke rumah wanita itu.
Beberapa hari sejak peristiwa itu, tanpa sepengetahuan orang tua masing-masing dan warga desa lain, setiap malam jum’at kliwon mereka berenam akan mengunjungi kediaman Aki Karta. Dari sana mereka akan pergi ke bukit Lembayung yang tak jauh dari Desa Dayoh.
Di balik bukit itu ada sebuah goa yang sangat menyeramkan. Orang-orang menyebutnya Goa Iblis Hitam karena menurut cerita di dalam goa itu ada sesosok iblis hitam yang menghuninya. Tak ada yang berani memasuki goa itu. Kalaupun mereka ke bukit lembayung hanya sebatas di sisi bukit yang menghadap ke arah desa.
Di dalam goa itulah saat ini Aki Sudra dan keenam muda-mudi itu sekarang. Kebetulan, malam ini adalah malam jum’at kliwon dan bertepatan dengan bulan purnama. Saat ini mereka sedang duduk bersila melingkari sebuah lambang yang tergambar pada sebuah kain putih yang telah dihamparkan di lantai goa. Ada sebuah lilin di setiap ujung kain itu.
Sebuah mantra terucap dari bibir Aki Sudra yang diikuti oleh keenam orang itu. Bedanya, kali ini mereka melakukannya dengan sadar. Ya, mereka telah mengetahui jika mereka telah terikat dengan Aki Sudra dan iblis hitam. Tiba-tiba di tengah-tengah lambang itu keluar asap hitam tebal. Asap hitam itu membubung semakin tinggi.
Ha ha ha!
Ha ha ha!
Haa haa haa!
Terdengar suara tawa menggelegar dan menggema diseluruh goa. Suara tawa itu terdengar sangat mengerikan. Di luar suara lolongan anjing liar bercampur dengan suara angin yang bergemuruh. Bulan yang tadi terlihat terang mulai berubah menjadi hitam karena tertutup awan gelap. Suasana di bukit Lembayung seketika berubah mencekam.
Sementara itu, di dalam goa, asap hitam itu telah berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan. Kedua bola matanya besar dan berwarna merah semerah darah. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu berwarna hitam dan kasar. Sedangkan tangannya memiliki kuku yang sangat panjang. Kepalanya ditumbuhi tanduk. Makhluk itu juga memiliki taring yang tajam. Tercium bau anyir darah dari tubuhnya.
Keenam orang itu sudah gemetar ketakutan. Namun mereka tak bisa berbuat apa pun lagi. Mereka tak bisa lari lagi. Jika mereka mencoba untuk lari maka mereka akan mengalami sakit kepala hebat atau sakit pada bagian tubuh yang lain. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Namun, benarkah keenam muda-muda itu sungguh-sungguh terpaksa melakukan itu? Tanpa sepengetahuan yang lain, di antara mereka ada yang telah mengikat perjanjian lebih dulu dengan Aki Sudra dan sang iblis hitam. Saat ini dia sedang diam-diam menyeringai dalam senyum liciknya.
Bersambung
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan