Setelah menceritakan kisahnya kepada Ustadz Yusuf, Pak Karta lalu menyampaikan niatnya untuk pergi ke hutan terlarang dan bermaksud meminta bantuan Ustadz Yusuf.
“Jadi, Bapak ingin kesana?” tanya Ustadz Yusuf.
“Iya Ustadz. Saya berniat menemui Haruni dan Widarta dan berbicara dengan mereka. Entah kenapa saya merasa kelahiran Diandra ada kaitannya dengan mereka. Saya juga bermaksud meminta bantuan Ustadz untuk menyadarkan mereka,” terang Pak Karta.
“Maaf, Pak Karta, untuk menemani Bapak ke hutan itu, mungkin saya masih bisa tapi jika untuk menyadarkan mereka, saya tidak yakin saya akan mampu,” jawab Ustadz Yusuf meragu.
“Saya percaya, Ustadz pasti bisa,” ucap Pak Karta mencoba meyakinkan Ustadz Yusuf.
“Kita coba saja, Pak. Kapan rencananya kita akan ke sana?” tanya Ustadz Yusuf
Sementara Pak Karta dan Ustadz Yusuf sedang berunding, di rumahnya Maya sedang berteriak-teriak histeris di kamar si kembar.
“Maya ... Sayang ... tenanglah! Kamu kenapa?!” tanya Rudi panik sambil berusaha menenangkan istrinya. Bu Minah berusaha menenangkan si kembar yang juga ikut menangis.
“Rud! Bapak kamu kemana?! Kenapa belum pulang juga! Sebentar lagi masuk waktu maghrib!” seru Bu Minah sedikit kesal karena suaminya belum juga pulang. Maya terus saja histeris sambil menunjuk ke satu arah.
“Apa yang kamu lihat, Sayang?!” tanya Rudi lagi. Dia bahkan tak menggubris pertanyaan ibunya karena sibuk menenangkan istrinya.
“Rudi!” seru Bu Minah. Membuat Rudi berjingkat karena terkejut.
“I-iya Bu,” jawabnya tergeragap.
“Dimana bapak kamu?!” tanya Bu Minah lagi.
“Assalamu’alaikum!” terdengar suara Pak Karta mengucapkan salam sebelum Rudi sempat menjawab pertanyaan ibunya. Pak Karta merasa heran karena rumahnya begitu ramai di penuhi warga yang tanpa disadari oleh Rudi dan Bu Minah telah berkumpul di rumah mereka.
“Bu, ada apa ini?! Itu Maya kenapa?! Terus itu ... di depan warga juga berkumpul begitu!” tanya Pak Karta penasaran.
“Entahlah Pak, sejak tadi dia histeris dan terus menunjuk ke sudut ruang kamar ini. Mendengar ibunya histeris si kembar juga ikut menangis,” ujar Bu Minah cemas.
“Lalu sekarang mana si kembar?!” tanya Pak Karta cemas saat tak melihat keberadaan si kembar.
“Mereka aku titipkan pada Laila. Aku ingin membantu Rudi menenangkan Maya,” sahut Bu Minah. Kemudian Pak Karta mendekati Rudi dan Maya yang masih histeris.
“Rud! Cepat ke rumah Ustadz Yusuf biar Maya, kami yang menjaga!” titah Pak Karta. Rudi bergegas keluar dan berniat ke rumah Ustadz Yusuf. Beruntung bagi Rudi, begitu dia sampai di halaman rumahnya, dia melihat Ustadz Yusuf yang juga sedang memasuki halaman rumah. Sepertinya ada salah seorang warga yang berbaik hati memanggilkan Ustadz Yusuf.
“Assalamu’alaikum!” Ustadz Yusuf mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam!” jawab Pak Karta dan Bu Minah bersamaan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ustadz Yusuf.
“Kami juga tidak tahu Ustadz sejak menjelang maghrib tadi, Maya tiba-tiba menjerit-jerit histeris dan terus menunjuk ke sudut ruangan ini. Ustadz Yusuf memejamkan matanya dan mengeluarkan tasbih yang selalu dia simpan di saku baju kokonya. Meski pelan, terdengar dia sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an sambil jemarinya menggulirkan butiran tasbihnya.
Beberapa menit kemudian, Ustadz Yusuf membuka matanya dan menatap lurus ke arah yang sejak tadi ditunjuk oleh Maya. Perlahan tapi pasti Ustadz Yusuf berjalan menuju sudut ruangan itu.
“Siapa kalian?!” tanya Ustadz Yusuf. Tatapannya terus tertuju pada sudut ruangan itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Ustadz Yusuf sosok yang dlihat oleh Ustadz Yusuf dan mungkin dilihat oleh Maya memilih untuk menghilang dari tempat itu sambil menampilkan seringai mengerikan.
“Kami akan datang lagi!” ucap kedua sosok itu sebelum benar-benar menghilang. Bersamaan dengan menghilangnya sosok misterius itu, Maya jatuh pingsan. Rudi segera mengangkat tubuh isterinya dan membaringkannya di tempat tidur.
Sementara Rudi dengan dibantu Bu Minah mengurus Maya, Pak Karta mengajak Ustadz Yusuf untuk berbincang sejenak. Namun, sebelum itu, mereka mencoba menenangkan warga dan membubarkan mereka.
“Maaf Ustadz, sebenarnya apa yang terjadi pada menantu saya?” tanya Pak Karta.
“Saya juga tidak terlalu yakin, Pak. Hanya saja, memang ada yang dilihat oleh menantu Bapak tadi. Sesuatu yang tak akan bisa kita lihat hanya dengan mata telanjang. Maksud saya, kita harus membuka mata batin kita untuk bisa melihatnya,” terang Ustadz Yusuf.
“Apa sebenarnya yang dilihat oleh menantu saya, Ustadz?” Pak Karta kembali bertanya.
“Setelah saya membuka mata batin saya, di sudut ruangan itu saya melihat ada dua sosok yang mengerikan. Mereka terlihat seperti manusia tapi juga terlihat seperti iblis. Saat saya bertanya tentang siapa mereka, mereka hanya menyeringai lalu menghilang,” terang Ustadz Yusuf.
“Dua sosok misterius. Apa mereka sepasang, Ustadz?” tanya Pak Karta.
“Entahlah Pak. Saya tidak yakin. Oh ya, sebelum menghilang, mereka sempat mengatakan bahwa mereka akan datang lagi,” ujar Ustadz Yusuf.
“Apa mungkin mereka Haruni dan Widarta, Pak?!” celetuk Bu Minah yang tanpa sengaja mendengar percakapan suaminya dan Ustadz Yusuf saat dia akan mengantarkan kopi dan camilan untuk mereka.
“Aku juga berpikir begitu, Bu,” sahut Pak Karta menjawab pertanyaan Bu Minah.
“Ustadz, bisakah rumah kami diberi benteng do’a-do’a untuk melindungi menantu dan cucu-cucu saya?” tanya Bu Minah kemudian.
“Bisa saja, Bu. Namun, saya juga memerlukan bantuan Bapak dan Ibu untuk tak pernah putus dalam mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kita akan coba membentengi rumah ini dengan do’a. Meskipun saya, tidak bisa menjamin ini akan berhasil secara penuh. Mengingat kejadian tadi dan jika benar sosok yang tadi saya lihat adalah orang tua Maya, itu artinya kekuatan mereka jauh lebih kuat dari apa yang kita bayangkan,” tutur Ustadz Yusuf.
“Lalu, kita harus bagaimana Ustadz?!” tanya Rudi yang tiba-tiba muncul dan ikut bergabung dalam perbincangan itu.
“Mas Rudi, kenapa kesini? Tolong temani Mbak Maya. Jangan biarkan dia sendirian!” Ustadz Yusuf memperingatkan Rudi.
“Bu, jemput si kembar. Bawa mereka pulang!” titah Pak Karta. Bu Minah mematuhi titah suaminya dan bergegas menjemput cucunya.
“Jangan! Jangan bawa anak-anakku!” tiba terdengar suara teriakan Maya. Mereka segera menuju ke kamar Rudi. Bu Minah juga mengurungkan niatnya untuk menjemput kedua cucunya.
“Sepertinya kejadian tadi masih membekas dalam alam bawah sadar Mbak Maya hingga terbawa dalam mimpi,” ucap Ustadz Yusuf.
“Mas Rudi, tolong bawa segelas air putih saya akan coba menenangkannya!” titah ustadz Yusuf.
“Daraa! Diandraa! Anakku ... kembalikan anak-anakku! Jangan bawa mereka! Tidaaak! Jangan sakiti mereka! Dara ... Diandra!” teriak Maya gelisah dalam tidurnya.
“Ustadz Yusuf membacakan do’a pada segelas air yang dibawakan oleh Rudi lalu membasuhkan air itu ke wajah Maya. Akhirnya Maya kembali tenang dan lelap dalam tidurnya.
“Maaf Mas Rudi, apakah Mbak Maya sedang sakit?” tanya Ustadz yusuf.
“Akhir-akhir ini dia memang sering terlihat pucat tapi setiap saya tanya apakah dia sedang sakit, dia selalu menjawab tidak. Memang ada apa ya Ustadz?” tanya Rudi penasaran.
“Begini, buhu badan Mbak Maya tinggi sekali. Saran saya, sebaiknya Mbak Maya juga dibawa ke dokter. Kalo untuk wajahnya yang pucat, selain karena sedang menurun kondisi tubuhnya, saya melihat ada sebab lain ...”
“ ... Bibi ... Paman ... Kak Rudi!” terdengar teriakan seorang gadis dari arah luar sebelum Ustadz Yusuf menyelesaikan kalimatnya. Menyisakan tanya di benak Rudi, Pak Karta dan Bu Minah.
“Laila, ada apa?!” tanya Pak Karta pada gadis yang baru saja datang dan terlihat cemas. Wajah gadis itu pun terlihat pucat pasi.
“P-Paman ... s-si ... si kembar Paman ...”
“ ... Si kembar kenapa, La?!” tanya Rudi tak kalah panik.
“Hi-hilang,” lirih gadis itu sambil terisak.
“Hilang?! Apa maksud kamu, Laila?” seru Bu Minah terkejut.
“Maaf Bi ... saya lalai menjaga mereka,” lirih gadis itu. Bu Minah merasakan tubuhnya lemas dan jatuh terduduk di kursi.
“Bilang sekali lagi, Laila! Katakan jika yang kamu katakan tadi tidak benar!” geram Rudi sambil mengguncang tubuh gadis itu.
“Maaf Kak ... t-tapi me-mereka beneran hilang,” lirih gadis itu dengan nada ketakutan. Tubuh Rudi luruh jatuh ke lantai.
“Duduklah Laila dan ceritakan pelan-pelan!” ujar Ustadz Yusuf. Kemudian gadis itu menceritakan kronologis hilangnya si kembar.
“Maya!” seru Rudi lalu bangkit dan bergegas menuju ke kamarnya.
“Mayaaa!” terdengar suara teriakan Rudi. Ustadz Yusuf, Pak Karta, Bu Minah dan Laila bergegas menghampiri Rudi.
Bersambung
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu