Share

Chapter 6 : Sebuah Rahasia

Di lain tempat, ada sepasang pria dan wanita yang sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius. Dapat dilihat dari sang wanita yang tampak tidak setuju dengan apa yang dibicarakan oleh sang pria.


"Mau sampai kapan kau ingin menyembunyikan itu?" tanya sang wanita.


"...."


"Mau sampai kapan kau mau menyembunyikannya dari Anna, Liam?" tanya Julian pada akhirnya. Ya, wanita itu adalah Julian.


"Sampai dia mengingatku lagi," jawab Liam singkat.


"Tapi itu hal yang mustahil, bodoh. Kalian bertemu sepuluh tahun yang lalu, terus apalagi yang kau harapkan dari itu?" tanya wanita itu lagi.


"Anna pasti akan mengingatku, aku sangat yakin dia pasti akan mengingatku suatu hari nanti," jawab Liam tegas.


"Coba kau pikirkan baik-baik dengan akal sehatmu itu, Liam. Sudah sepuluh tahun berlalu, dan pasti banyak sekali orang yang sudah ditemuinya. Arrgh, astaga ... aku benar-benar tidak habis pikir lagi denganmu!" seru wanita itu.


"Biar kuingatkan sekali lagi. Kau itu hanya bertemu dengannya sebanyak dua kali, dan itu pun sepuluh tahun yang lalu. Huft, aku menyerah. Sekarang terserah kau, mau berbuat apa. Aku tidak ingin ikut campur lagi!" serunya kesal melanjutkan.


"Aku tahu, Julian," balas sang pria.


"Kalau kau tahu—"


"Sudahlah, Julian. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Kalau begitu, aku mau lanjut bekerja dulu," potong Liam.


Setelah selesai berkata seperti itu, Liam pun langsung beranjak pergi meninggalkan Julian seorang diri di atap kantor mereka. Tanpa Liam tahu, sekarang Julian sedang menatap hampa dan sedih ke arah punggung sang pria yang semakin menjauh.


"Kita sama, Liam," lirih wanita itu pilu.


Memang tidak ada yang tahu rahasia Julian selama ini, karena memang dia tidak berniat untuk memberi tahu siapa pun mengenai rahasianya, termasuk kepada Anna. Rahasia yang sudah dipendamnya selama ini. Rahasia yang dia pikir akan menghancurkan kedua orang terdekatnya, apabila mereka mengetahuinya.


***


~Julian POV~


Entah aku harus merasa bersyukur atau bersalah sekarang. Karena Liam masih belum ingin mengatakan rahasianya kepada Anna, sahabatnya. 


Pada satu sisi aku merasa bersyukur. Karena aku bisa menghabiskan waktu bersama Liam lebih lama lagi. Ya, rahasia dan kesalahanku adalah mencintai Liam, saudaraku sendiri.


Aku tahu, aku salah. Dan aku pun tahu dia adalah sepupuku. Tapi siapa yang akan menyangka, bahwa cinta pertamaku adalah Liam. Aku sudah pernah menyangkal perasaan ini dengan cara bergonta-ganti pasangan. Tapi tetap saja, rasaku padanya tidaklah semudah itu untuk dihilangkan.


Tidak ada yang mengetahui ini, bahkan Liam sekali pun. Aku juga yakin, bahwa dia tidak akan pernah menyadari perasaanku. Kami tidak pernah bertingkah selayaknya saudara pada umumnya. Yang ada hanyalah bertengkar, bertengkar, dan bertengkar.


Baiklah, lanjut. Pada satu sisi yang lainnya, aku merasa bersalah kepada Anna karena sudah menyembunyikan rahasia milik mereka. Aku tahu aku sudah turut ikut campur terlalu dalam kedalam urusan Liam. 


Aku tahu selama ini Anna tidak pernah menyukai Liam sama sekali, dan aku pun tahu ... Anna cukup terganggu dengan kehadiran Liam yang suka menjahilinya. Tapi mungkin saja hal itu bisa berubah, apabila Anna sudah mengetahui rahasia yang disimpan Liam selama ini. Dan aku sama sekali belum siap dengan hal itu. Aku masih tidak siap kehilangan Liam secepat ini. Meski kepada sahabatku sendiri. Salahkah aku.


~Julian POV End~


***


Kembali ke kantor, terlihat Anna yang sedang mondar-mandir di depan ruangan milik atasannya. Anna berniat untuk meluruskan kesalahpahaman yang ada di antara dirinya dan atasannya alias Bu Joanna. Anna tidak ingin dirinya dicap buruk oleh atasannya itu, maka dari itu dia memberanikan diri untuk menemui Bu Joanna.


Sudah hampir sepuluh menit Anna menunggu di sana, dan sudah selama itu pula dia tidak bisa diam. Sepertinya tamu Bu Joanna sudah selesai dengan urusannya. Baiklah Anna, kau harus tenang, perintahnya dari dalam hati.


"Miss Anna, masuklah!" perintah Bu Joanna dari dalam ruangannya.


"Baik, Bu," balas Anna dengan sopan.


Sesampainya Anna ke dalam ruangan, dia pun dengan sopan menundukkan sedikit kepalanya untuk menghormati atasannya yang sedang berbicara kepadanya.


"Ada apalagi menemui ku?" tanya Bu Joanna penasaran.


"Saya ingin kembali meluruskan masalah yang terjadi kemarin, Bu," jawab Anna sedikit gugup.


"Apalagi yang ingin diluruskan Miss Anna, baiklah. Kuberi waktu lima menit untuk menjelaskannya, cukup bukan?"


"Cukup, Bu."


"Baik, silakan menjelaskan," ujar Bu Joanna.


"Saya memiliki bukti rekaman tentang kejadian yang kemarin, Bu. Rekaman itu membuktikan kalau saya sama sekali tidak bersalah. Saya hanya dijebak, Bu," jelas Anna to the point.


"Oke, coba putarkan rekamannya," titah atasannya itu.


"Baik, Bu."


Setelah mendengar rekaman yang diputar oleh Anna, "Siapa mereka?" tanya Bu Joanna.


"Olla dan teman-temannya, Bu," jawab Anna lugas.


"Baiklah, setelah ini saya akan memanggil mereka ke sini. Untuk kejadian yang kemarin, saya meminta maaf kepada kamu. Saya telah salah paham kemarin," ujar Bu Joanna menyesal.


"Tidak apa-apa, Bu."


"Kalau begitu, sebagai kompensasi atas keteledoran saya. Kamu saya izinkan untuk meminta sesuatu kepada saya, baik cuti atau apa pun. Silakan," titah atasannya.


"Kalau untuk saat ini, saya masih tidak ingin cuti, Bu. Kira-kira, kesempatan ini berlaku sampai kapan ya?" tanya Anna ingin tahu.


"Selama kamu masih bekerja di sini, maka kesempatan itu akan terus berlaku. Kalau kamu sudah memutuskan ingin cuti kapan, kamu bisa langsung pergi ke HRD dan meminta surat persetujuan cuti dari saya. Mengerti?"


"Saya mengerti, Bu," jawab Anna.


"Baiklah, kalau begitu kamu boleh keluar."


"Baik, Bu. Terima kasih."


***


~Anna POV~


Syukurlah masalahku dengan Bu Joanna sudah selesai, kesalahpahaman di antara kami pun sudah menghilang. Lega sekali, aku harus memberi tahu Julian tentang ini. 


Aku akan mengirim pesan padanya, agar dia bisa dengan cepat kembali ke kantor dan berbicara padaku. Dengar-dengar tadi dia akan pergi bersama Pak Liam, tapi aku tidak tahu mereka pergi ke mana.


Ah, sudah ada balasan dari Julian. Dia mengatakan akan segera datang ke sini, dia menyuruhku untuk menunggunya di ruang kerja kami. Aku harus segera sampai di sana, karena aku sangat tidak sabar untuk segera menceritakannya kepada Julian.


Tidak sampai sepuluh menit, Julian sudah tiba di ruangan. Napasnya tersengal-sengal, sepertinya dia terburu-buru dan berlari untuk segera sampai ke sini.


"Anna?"


"Iya, tunggu dulu. Tarik napas, buang. Ulangi. Sudah tenang?" potongku.


"Lumayan. By the way, ada apa kau memanggilku. Tumben sekali. Makanya kupikir ada sesuatu yang terjadi padamu, jadi aku bergegas untuk bisa segera sampai ke sini. Sebenarnya ada apa?" tanya Julian padaku.


"Tidak terjadi apa-apa, kok. Aku cuma mau bilang, kalau masalahku yang kemarin itu sudah selesai kubereskan. Dan ... aku mendapat tiket untuk cuti secara cuma-cuma, langsung dari Bu Joanna sendiri," jelasku menggebu-gebu.


"Woah, benarkah itu?" tanyanya tidak mempercayaiku.


"Iya, benar."


"Kalau begitu, bagaimana caramu untuk menyelesaikannya? Aku membuatku penasaran, Anna," ujarnya jujur.


"Gampang, kamu ingat? Waktu kemarin kamu mengantarkanku ke kamar mandi?" tanyaku memastikan.


"Iya, terus?" 


"Kebetulan pada waktu itu, aku bertemu dengan Olla dan teman-temannya. Aku mendengar mereka membicarakan tentangku, sewaktu aku masih di dalam salah satu bilik di sana. Tanpa membuang kesempatan lagi, aku pun langsung merekam pembicaraan mereka. Aku cerdas, bukan?" jelasku menyombongkan diri.


"Ya, ya, dan ya. Sahabatku memang genius," balas Julian dengan mimik wajah yang menyindir.


"Ngomong-ngomong, Julian. Apakah kamu tahu alasan di balik Pak Liam yang selalu mengejar-ngejarku?"


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status