Xena menatap gagang pintu kayu di depannya. Ia sudah memanggil nama saudara tirinya dari luar, sesekali menjeda dengan diam membisu untuk memberi celah bagi Malik menjawabnya. Akan tetapi, nihil hasil yang ia dapatkan. Malik tak menjawab panggilannya sepatah katapun. Bahkan tak terdengar suara yang menyela dari dalam kamar Xena. Malik sudah pergi? Entahlah. Jikalau diputar kembali sebelum Xena kembali ke kamarnya dan sebelum Hela pergi dari rumahnya sebagai tamu baik yang berkunjung membawa buah tangan, gadis itu belum melihat Malik pergi dari ruang kamarnya. Pintu masih rapat tertutup. Suasana hening tak ada suara bak kota mati tak berpenghuni. Satu pertanyaan muncul di dalam kepala gadis itu sekarang, Malik pergi atau Malik tertidur? Di kamarnya?!
Ia memutuskan untuk membuka pintu kamarnya secara perlahan. Celah yang diciptakan cukup untuk memberi ruang kedua bola matanya untuk masuk mengintip suasana kamarnya. Ya, kalau Malik hanya tertidur dengan posisi normal dan nyaman.
Di dunia ini ada dua kasih sayang yang paling diharapkan oleh seorang perempuan dari seorang laki-laki. Kasih sayang tulus sebagai seorang kekasih hati dan kasih sayang tulus yang diberikan oleh seorang sahabat yang tak pernah lekang oleh waktu. Nea menginginkan jenis kasih sayang yang pertama dari seorang Daffa Kailin Lim. Remaja yang sudah menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun itu tak pernah berubah sekalipun. Ia selalu ada kala Nea membutuhkannya. Penuh dengan kasih sayang dan kehangatan yang selalu saja diberikan dirinya untuk Nea. Malam ini, Nea berpindah tempat kursus belajar. Tak lagi ada di tempat lamanya sebab ibunya ingin menempatkan sang putri semata wayang di tempat yang lebih layak dan lebih berkualitas dari sebelumnya.Selepas menyelesaikan belajarnya, sang kekasih sudah berada di depan gerbang tempat dirinya berada. Menunggu Nea dengan penuh kesabaran di tengah dinginnya hawa malam yang berembus. Gadis itu terdiam sejenak kala netranya menatap perawakan
Pagi yang cerah datang bersama agungnya sinar mentari yang turun menghangatkan bumi. Langkah gadis berambut panjang yang tergerai tepat di atas punggungnya itu tegas membelah trotoar jalanan untuk sampai di tempat tujuannya, halte bus sisi jalanan. Bukan hal yang aneh lagi untuk Xena mengingat dirinya adalah gadis yang akan selalu menyambangi halte bus kala berangkat juga pulang dari sekolah. Jika Nea adalah gadis beruntung sebab mempunyai seorang kekasih baik seperti Daffa Kailin Lim yang akan selalu menemaninya kalau berangkat dan pulang sekolah, Xena Ayudi Bridella adalah kebalikan dari itu semua.Sendiri tak pernah ada yang menemani kalau berangkat sekolah. Duduk berjajar dengan orang asing memang terkadang membuat Xena tak nyaman, sebab was-was akan datang kalau ia duduk berdampingan dengan seorang pria aneh yang terlihat kasar, kotor, dan menyeramkan. Namun, jikalau seorang wanita, gadis baik, atau nenek paruh baya yang menemaninya Xena terkadang berbagi cerita pasal ber
Dersik membisik. Indah nan damai membelai permukaan kulit dua gadis berbeda usia yang kini duduk di bangku panjang sisi taman kota dekat halte bus. Xena terus melirik gadis muda berseragam putih dan biru tua yang kini menyeruput susu kotak yang diberikan Xena untuk dirinya. Selepas membersihkan darah dan memberikan 'bantuan pertama' untuk gadis itu, Xena membawanya kemari. Lelah dirasa tentunya. Gadis itu adalah korban buli yang baru saja dibantu olehnya. Ia tak tahu kalau kehidupan anak sekolah menengah pertama begitu mengerutkan dan mengerikan untuk di pandang. Bagaimana bisa seorang anak dibawah umum melakukan pembulian terhadap teman sebayanya seperti ini?"Mereka teman kamu?" Xena bertanya dengan nada lirih. Kini menatap dengan benar gadis berambut pekat yang diikat menjadi satu di belakang kepalanya.Ia menoleh pada Xena. Tersenyum ringan kemudian menggeleng singkat. Melepaskan sedotan yang masuk ke dalam celah bibirnya lalu ber-ah ringan guna mengekspresikan
Langkah kaki berlari dengan kecepatan ringan menyusuri setiap sudut demi sudut lapangan rumput yang ada di tengah bangunan sekolah. Jarum jam kian tegas menua. Detik dan menitnya terus saja bertambah bersama sengatan sinar mentari yang kian kuat menyorot turun mengenai permukaan bumi. Xena mengeluh. Sesekali menghela napasnya kasar sembari mengusap keringat yang turun dari celah pelipis kepalanya. Jikalau saja ia tak berhenti dan menolong Bela, dirinya akan duduk nyaman di dalam kelas sembari mendengarkan dongeng di pagi hari perihal perjuangan penjajah untuk meruntuhkan negaranya. Xena menyesal, sedikit mungkin. Sebab baiknya dibayar begini oleh semesta. Dirinya dihukum sebab terlambat satu jam penuh putaran jarum menyusuri angkanya. Siang semakin lekat dengan hawa panas dan suasana yang menyepi sebelum sampai waktu istirahat dimulai kembali.Gadis itu sigap menarik karet rambut yang ada di dalam saku seragam yang Xena kenakan sekarang ini. Sigap mengikat rambut panjang denga
Dersik membisik. Suasana pagi yang cerah begini tak semua orang menyukainya. Xena membenci panas yang menyengat. Baik di jam-jam masih bisa dibilang pagi begini atau kalau tengah hari datang menyapa nanti. Xena membenci gerah, ia tak suka kalau tubuhnya berkeringat banyak seperti ini. Itulah alasannya ia terus saja menghela napas kasar sembari mengibaskan kerah seragam putih abu-abu yang dikenakan oleh Xena hari ini. Gadis itu melirik Bara yang terkesan diam dan tenang. Tetes butiran keringat mulai membasahi kedua sisi pelipis remaja jangkung itu. Tak ada percakapan di antara keduanya dalam sesaat. Hanya menyisakan hening dengan menikmati semilirnya bayu yang berembus. Bel nyaring mulai terdengar memekakkan telinga. Menyita perhatian Xena yang kini menoleh tepat mengarah ke semua bagian pintu kelas yang meramai.Gadis itu kembali menghela napasnya. Ramai tak disukai oleh Xena. Apalagi kalau keadaannya sedang kacau begini. Rambutnya berantakan sebab ia mengikatnya alakadar tak
Kaki jenjangnya tegas menyapu jajaran petak ubin yang samar memantulkan bayangan tubuh rampingnya. Baru saja ia selesai mencuci wajah dan menyekanya dengan tisu lembut pemberian Bara sebelum remaja itu menghilang entah kemana perginya. Katanya sih, ia tak akan sudi menunggu Xena berlama-lama di dalam kamar mandi wanita. Bukannya apa, ia hanya tak ingin disebut sebagai si mesum yang suka mencuri kesempatan dengan berpura-pura berdiri menunggu seseorang di depan pintu utama area toilet wanita sekolahan.Bagi Xena juga tak apa. Toh juga Bara sudah banyak membantunya sebelum ini. Menemaninya berlari, mengajaknya mengobrol, bahkan rela membelikan gadis itu tisu untuk membersihkan wajahnya. Sudah cukup, bagi Xena semua itu sudah cukup adanya. Sekarang waktunya kembali masuk ke dalam kelas. Dalam dugaannya sekarang pasti Nea sudah menunggunya. Gadis itu mengirimi spam pesan bahwa panggilan suara bertubi-tubi banyaknya hanya untuk menanyakan alasan Xena tak datang ke dalam kelas
Xena cantik. Hidupnya serba berkecukupan dengan kedua orang tua yang amat sangat menyayangi dirinya. Segala hal yang dilakukan oleh Xena tak pernah mendapat teguran dari papa juga mamanya. Ia memiliki banyak orang baik yang hidup di sekitarnya sekarang ini. Jikalau dimasukkan ke dalam catatan, hidup gadis itu terlihat sempurna dengan segala anugerahnya yang luar biasa indah. Akan tetapi semesta tak memberinya sebuah rasa yang tak kalah indah pula. Rasa cinta dengan objek yang wajar, Xena menginginkan itu.Mengapa harus Abian Malik Guinandra yang menjadi tambatan hatinya?Mengapa juga harus Daffa Kailin Lim yang masuk kw dalam harapannya sekarang ini?Xena membenci fakta itu. Menyimpan rasa dengan terus berusaha untuk terlibat netral dan baik-baik saja adalah hal tersulit yang dilakukan oleh dirinya sekarang. Setiap memandang paras Malik, Xena selalu saja jatuh hati. Setiap mendengar suara Daffa, ia kembali merangkai harapan. Jika tak Malik, berikan saja Daffa
Malam tiba. Gemintang indah menghias di atas cakrawala. Tak ada mendung hanya saja semilir hawa bayu yang berembus sedikit berlebihan malam ini. Sepoi-nya tak biasa, sedikit kencang dengan sesekali embusan dingin terasa kuat menusuk masuk ke dalam tulang belulang. Gadis cantik yang masih kokoh menatap cermin persegi di depannya itu tak mengindahkan hawa yang merambah masuk ke dalam kamar pribadinya. Hanya fokus dengan polesan lip balm tipis untuk membuat kesan 'memukau' ada di atas parasnya malam ini. Bukan ingin pergi berkencan buta bersama seorang laki-laki tampan dan mempesona, bukan juga ingin menghadiri pesta dansa para bangsawan ala-ala negeri dongeng. Xena akan pergi ke minimarket di sisi pertigaan jalan raya sebelum gang masuk ke dalam area perumahan tempatnya tinggal. Tak perlu memesan ojek online, juga tak perlu memesan taksi atau sampai naik bus segala. Ia hanya perlu berjalan, paling lambat akan sampai lima belas menit berlalu.Ia kembali tersenyum kala menyadari a