Reyna tersenyum puas menatap lukisan keluarganya yang sudah terbingkai rapi. Ini akan dijadikannya hadiah perpisahan, ia sudah memikirkan alasan kepergiannya kembali ke Aussie. Akan ia manfaatkan waktu dua minggu ini dengan sebaik- baiknya. Bahkan ia tak memberitahukannya pada Rayan karena sahabatnya itu mulai tak bisa menjaga mulutnya."Reyna dimana Ma?" terdengar suara Rashad yang sepertinya sudah pulang dari kantor."Ada di ruang tengah, kok Papa udah pulang?" tanya Riana heran melihat sang suami yang pulang sebelum waktunya."Ada apa Pa? Kangen sama Reyna, ya?" goda Reyna yang muncul dari ruang tengah.Rashad memandang sang putri yang tersenyum ke arahnya. Putrinya yang sudah dewasa padahal rasanya baru kemarin ia menimangnya. Dan fakta menyakitkan tentang putrinya yang terlambat ia ketahui sungguh terasa merobek hatinya.Rashad memeluk erat putrinya dengan sesekali mencium puncak kepala sang putri dan satu tangan tak henti mengelus punggung Reyna. Riana masih tak mengerti dengan s
Selepas makan malam Reyna kembali ke kamarnya. Melihat malam yang cerah ia berjalan ke arah balkon. Berdiri di pagar pembatas ia menengadahkan kepalanya."Reyhan, maaf ya Mama belum sempat mempertemukanmu dengan Papa. Tapi sekarang Papa udah tahu kalau Reyhan pernah hadir di dunia ini," monolog Reyna."Jadi nama cucu Papa itu Reyhan?"Reyna terkesiap mendengar suara Rashad tepat di belakang tubuhnya."Iih... Papa ngagetin aja," rajuk Reyna manja."Masa' gitu aja kaget," balas papa Reyna."Pertanyaan Papa belum kamu jawab lho, Rey?""Yang mana?""Nama cucu Papa, Reyhan?"Reyna mengangguk mengiyakan."Kalau begitu si Rayan itu b*dohnya tak tertolong.""Kok bisa gitu?" Reyna tak memahami arah pembicaraan ayahnya."Clue sejelas itu tapi dia tak tahu kalau Reyhan itu anak kamu sama Hans. Kan kebangetan?" Rashad terlihat kesal."Hehe...," Reyna tertawa kecil. "Rayan enggak b*doh, Pa. Buktinya dia bisa jadi seorang dokter. Mungkin dia cuma gak terpikirkan Om Hans akan berbuat sejauh itu meng
Pagi ini Reyna bangun dengan semangat yang berkobar. Banyak misi yang harus ia tunaikan salah satunya adalah Laila namun sebelum itu ia harus menyelesaikan masalah perusahaan terlebih dulu. Ia tak akan terima kalau perusahaan papanya rugi karena masalah pribadinya.Reyna memilih jalur aman dengan mengirim pesan melalui aplikasi berlogo hijau. Mengirim sekertaris tak akan efisien lagipula belum tentu sekertarisnya pandai negosiasi. Tapi untuk panggilan telepon dia juga tak bisa melakukannya karena ia tak pandai berbohong. Yah, white lie boleh lah ya, demi kebaikan bersama.Di rumahnya Hans sudah 3 hari mengurung diri di kamar. Selain masih meratapi kebodohannya ia juga tak mau karyawannya melihat dirinya yang babak belur. Ia tak peduli dengan Jessica dan anaknya yang setiap hari datang untuk meminta maaf. Lagipula pikiran Hans dipenuhi Reyna dan anaknya yang sudah tiada. Ia tak akan bisa bekerja dengan baik. Mengingat semua yang ia tuduhkan pada Reyna membuatnya tak punya muka jika be
Dengan muka merah padam Anjas masuk ke ruangan Reyna. "Kenapa kamu cancel pembatalan kerja sama dengan perusahaan Hans, Rey?" tanya Anjas dengan suara keras membuat Reyna berjengit kaget bahkan Anjas masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Tenang dulu Om," kata Reyna."Tenang gimana maksud kamu? Jangan bilang kamu jatuh cinta sama dia! Aku gak akan pernah rela kamu sama dia!" Anjas malah semakin murka.Reyna menggeleng- gelengkan kepalanya, tak habis pikir sama jalan pikiran Om kesayangannya ini."Om, marah boleh bodoh jangan," sergah Reyna membuat Anjas melotot."Kamu ngatain Om bodoh?!" napas Anjas terengah, kalau dalam anime mungkin sudah keluar asap dari ubun- ubun dan telinganya."Duduk dulu yuk, baru Reyna jelaskan," Reyna menarik lengan Omnya agar duduk di sofa."Om tenang dulu, jangan marah- marah mulu dong! Bisa bubar karyawan kalau Om kayak gini terus."Semenjak hubungannya dengan Laila renggang, Anjas memang berubah emosional. Kesalahan kecil dari bawahannya akan menj
Reyna memarkir mobilnya di basement apartemennya. Dirinya baru saja makan malam dengan Rayan. Namun mereka mengendarai kendaraan masing- masing. Saat baru saja keluar dari mobil dirinya dikejutkan dengan keberadaan Hans yang sudah berada di belakangnya.Wajah Reyna yang terlihat kaget membuat Hans mengulum senyum. Hans nekat menemui Reyna di apartemen karena dirinya tak bisa masuk ke kantor Anjas. Memang benar kerja sama mereka masih berlanjut namun tidak ada lagi akses buatnya memasuki kantor itu. Saat ada meeting di luar Anjas akan mengirim sekertarisnya. Begitu juga dengan Reyna, wanita di hadapannya saat ini akan mengirim surel ataupun pesan melalui ponsel jika ada hal yang ingin ia sampaikan."Ada perlu apa, Om?" Reyna berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.Tak bisa ia pungkiri ada rasa marah dan kecewa dengan tuduhan- tuduhan yang Hans lontarkan saat di rumah sakit dulu. "Banyak hal yang harus kita bicarakan, Rey," Hans menatap lurus ke arah Reyna yang memalingkan wajah
Besok adalah jadwal peninjauan proyek di Bali. Bisa tolong gantikan saya ke sana? Saya harus ke Jerman malam iniHansOkReynaReyna mengirim balasan pesan singkat kepada Hans. Begitulah cara mereka berkomunikasi dalam hal pekerjaan. Reyna yang sudah siap tidur kembali bangun dan menyiapkan keperluannya di Bali besok. Ingin dirinya mengajak Rayan agar bisa sekalian liburan tapi sahabatnya itu sedang sibuk di rumah sakit. Tante Laila juga entah tak bisa dihubungi. Sepertinya hubungannya dengan om Anjas belum membaik.Paginya Reyna turun hanya dengan menggunakan sweater rajut warna putih dipadukan dengan celana kulot jeans, mengundang tatapan keheranan dari anggota keluarganya."Kamu gak ngantor Rey?" tanya Anjas mewakili orang- orang di ruang makan."Enggak. Reyna harus ke Bali meninjau proyek yang di sana," jawab Reyna sambil mengambil nasi goreng favoritnya."Sama Hans?" tanya papanya dengan wajah kaku.Reyna tersenyum kemudian menggeleng."Enggak kok Pa, Om Hans ke Jerman malam tad
Hans menatap wanita di hadapannya dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada. Kembali lagi dirinya membuat wanita ini menangis. Memang sudah sepantasnya dirinya dihajar kemarin. Bahkan rasa sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan apa yang Reyna rasakan. Bahkan sampai hari ini dirinya masih bersikap br*ngsek dengan membohongi Reyna agar wanita itu datang ke Bali dan dirinya bisa bebas berbicara dengannya. Dirinya memang memesan tiket penerbangan ke Jerman tapi tidak terbang ke sana. Sudah sejak semalam dirinya di Bali demi mempersiapkan semua untuk Reyna."Berapa kali Reyhan hadir dalam mimpi Om?" tanya Reyna setelah menghapus sisa- sisa air mata di pipinya."Beberapa kali. Tapi wajahnya selalu terlihat blurr. Makanya aku sempat salah mengira yang aku mimpikan itu Joane. Baru beberapa hari lalu aku bisa dengan jelas melihat wajahnya dan baru sadar ternyata selama ini aku salah.""Joane?" Reyna tak mengerti korelasinya mimpi itu dengan Joane."Kamu tentu tahu mengapa aku mengakhiri
"Terima kasih!" kata Hans bersemangat diiringi senyum secerah mentari."Kalian disini?" suara seorang wanita menyela suasana haru antara Reyna dan Hans.Reyna spontan menoleh ke asal suara. Senyum lebar tersungging di bibirnya begitu melihat seorang wanita yang beberapa hari ini seperti hilang ditelan bumi."Tante Laila? Tante disini?" Reyna tersenyum sumringah sambil berlari kecil ke arah Laila.Laila hanya mengangguk singkat dengan ekspresi datar, matanya menatap lurus ke arah Hans membuat pria itu menelan ludah. Satu lagi bodyguard Reyna yang harus Hans hadapi dan kemunculannya di luar prediksi."Bagaimana kalian berdua bisa disini, Rey?" tanya Laila mengalihkan perhatiannya pada Reyna yang berdiri di sebelahnya."Kami sedang meninjau proyek disini, Tan," jawab Reyna."Berdua? Papamu gak keberatan?" Laila memicing curiga."E... aku yang...."Hans menutup mulutnya kembali ketika Laila membuka telapak tangannya menghadap ke arahnya tanda meminta pria itu untuk diam meski wajahnya mas