Hardi segera berdiri dan menyalami Haris Manggala. Adab luar biasa Hardi, menghormati sosok yang lebih tua. Haris menerima uluran tangan asisten menantunya itu. Ia mendengkus karena kesal mengapa sang menantu tak kunjung datang."Kok kamu malah duluan datang. Revan mana?" tanya Haris dengan nada ketus dan tidak bersahabat sama sekali."Mungkin terjebak macet. Saya ke sini pakai motor, jadi lebih cepat." Hardi memang benar adanya.Dahi Haris mengerut dalam mendengar ucapan laki-laki muda di depannya itu. Revan jelas mengendarai mobil mewah. Lantas mengapa asistennya hanya mengendarai sepeda motor? Haris tidak habis pikir dengan cara mereka memperlakukan pagawai yang sudah mengabdi dan membuat perusahaan maju."Ya, sudah, kalo nanti Revan datang, suruh dia ke atas." Haris langsung meninggalkan Gita dan Hardi."Baik, Om." Gita yang menjawab ucapan sosok laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah.Tidak menunggu lama, pesanan makanan Gita pun datang. Hardi ikut membantu membawakan beberapa k
Salah satu Dokter hendak memeriksa keadaan Ara merasa kikuk karena menganggap tidak tepat waktu saat ini. Bukan tidak tepat waktu, memang sudah waktunya untuk memeriksa keadaan Ara saat ini. Perkembangan Ara sangat signifikan dan memang anak semata wayang Haris Manggala itu berkeinginan besar untuk sembuh. Ada banyak hal yang dicita-citakan dalam hidupnya."Mas Revan, tolong bisa keluar dulu?" pinta Ara dengan nada penuh permohonan pada sang suami.Biasanya jika diperiksa oleh Dokter, Ara tidak akan meminta orang yang ada di kamar ini untuk keluar. Kali ini berbeda. Ara ingin berbicara empat mata dengan sang Dokter. Mereka saling akrab karena Ara adalah pasien yang sangat ramah dan baik hati."Baiklah. Aku akan tunggu di luar," kata Revan lalu meninggalkan brankar sang istri.Setelah Revan menutup pintu, sang Dokter pun memeriksa Ara. Ada dua suster yang menemani seperti biasa. Saat ini Ara sudah bisa duduk dan menggerakkan kedua tangannya. Untuk kaki masih harus berlatih perlahan."
Semarah apa pun Gilang pada Mayang, tetap akan kembali pada wanita berparas cantik itu. Cinta yang sangat mendalam membuat sosok ASN itu buta. Mayang telah berulang kali menyakiti hatinya dan juga ucapannya sering kali kasar. Tidak, Gilang pun sebenarnya tersinggung, hanya saja, cinta membuat semua itu hilang."Ma-Mas Gilang?" Mayang tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya saat ini."Ya, aku pikir kafe sudah mau tutup. Jadi, aku datang buat jemput kamu. Ternyata masih ada pengunjung. Ya, sudah, biar aku tunggu di dalam saja," kata Gilang langsung merangkul punggung Mayang dengan cepat.Ucapan laki-laki tadi mengusik pikiran Mayang. Mengapa sangat kebetulan dengan apa yang pernah dialami Mayang beberapa tahun yang lalu saat hampir selesai kuliah? Mungkinkah ini semua kebetulan? Entah.Mayang meminta tolong pada beberapa pegawainya untuk mengantarkan pesanan beberapa pemuda itu. Ia ingin mengamati mereka semua tanpa ada yang curiga. Rasanya tidak mungkin jika semua itu kebetulan saja. Ma
Ara mengembuskan napas perlahan. Kedua orang tua Ara merasa sangat penasaran. Baru kali ini ada panggilan pada ponsel putri mereka. Semenjak istri Revan itu dirawat di rumah sakit ini sangat jarang menerima panggilan telepon."Siapa, Ra?" Haris kali ini sangat penasaran dan Ara langsung menggedikkan bahu."Maaf, nanti akan saya telepon balik, ya. Saat ini saya harus istirahat."Ara langsung mematikan panggilan itu dan meletakkan ponsel di atas meja yang ada di dekat brankarnya. Kedua orang tua Ara sangat penasaran lantas mendekat. Mereka tidak ingin Ara terganggu dengan masalah yang di Jakarta. Haris hanya ingin Ara fokus pada kesembuhan saja tidak lebih."Kenapa langsung ditutup?" tanya Haris dan membuat Ara gugup."Aku lupa kalo belanja online dan sekarang sudah dikirim ke rumah. Bunda Murni sepertinya bingung saat menerima paket itu, makanya kurirnya telepon." Ara berbohong dengan tidak lancar.Kedua orang tua Ara jelas tidak percaya. Hanya saja mereka memutuskan diam. Ada alasan t
Kali ini Gita tidak akan pernah main-main. Ia lelah dengan semua ulah keluarga Adhyatsa. Dendam? Entahlah, Gita memang sedikit ambisius untuk bisa membuat keluarga Adhyatsa dalam masalah besar.Gita akhirnya meninggalkan Revan juga Murni. Sebab, pesawatnya akan berangkat dan Gita tidak mau lagi ketinggalan pesawat. Ia memilih menunda masalahnya terlebih dahulu. Gita harus melihat bagaimana Revan dan Murni setelah ini."Bunda, apa sebelumnya sudah kenal dengan gadis sialan itu?" Revan menatap tajam pada Murni yang kini sedikit gugup.Haruskan menceritakan semua dari awal? Tidak. Murni belum siap sama sekali. Ia tidak mau sang putra membencinya. Teror dari Gita membuat rahasia yang dipendam sekian lamanya harus dibongkar kembali. "Bunda! Jangan diam saja!" Revan kali ini berteriak di tengah keramaian.Murni sangat terkejut mendengar teriakan sang putra.Bukan sekadar teriakan, Revan tampak sangat emosi saat ini. Ia butuh jawaban yang masuk akal. Pasti ada penyebab dibalik sikap Gita se
Adhyatsa kini menatap penuh kebencian pada Murni. Wanita yang dianggap sebagai sumber masalah. Adhyatsa sangat malu karena tidak ada yang memberitahu jika Ara kecelakaan. Rasanya sangat mustahil hal itu terjadi."Jadi, kamu mulai berani, ya?!" Bentak Adhyatsa dengan suara keras penuh amarah. "Bisa-bisanya tidak kasih tahu kalo Ara masuk rumah sakit! Otak kalian di mana? Kamu siap jika Tuan Haris mengakhiri hubungan kerja?" tanya Adhyatsa dengan nada penuh amarah."Be-berani apa? Aku bahkan tidak melakukan apa pun." Murni sangat ketakutan karena laki-laki tua di depannya itu tampak sangat marah."Bagaimana bisa kamu tidak memberitahuku jika Ara masuk rumah sakit! Apa kata Haris Manggala saat kita tidak ada yang datang menjenguk putra mereka?!" Adhyatsa berteriak sangat kencang dan suaranya menggema memenuhi ruangan ini.Teriakan itu terdengar hingga kamar Revan yang baru saja selesai mandi. Gegas suami Ara itu berganti baju dengan cepat. Kakek tua bangka itu pasti sedang mencari masala
Hardi memejamkan mata sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya itu. Revan jelas sedang sangat emosi. Salah menjawab bisa berakibat fatal. Kali ini Hardi sudah siap untuk menjawab."Posisi saham milik Manggala Grup itu delapan puluh persen. Jadi, wajar jika keuntungan yang mereka ambil sama dengan saham yang mereka tanam di perusahaan kita. Dua puluh persen keuntungan itu, hanya cukup untuk membayar uang gaji karyawan. Itu saja kadang masih sangat kurang. Saya dan beberapa kepala bagian sering mendahuluan gaji karyawan." Ucapan Hardi menjadi pukulan telak bagi Revan.Selama ini Revan selalu mengambil gaji setiap bulan tanpa melihat keadaan keuangan perusahaan. Delapan puluh persen saham milik Haris Manggala bukanlah jumlah yang sedikit. Jika mertua Revan menarik saham itu, maka Adhyatsa Grup akan bangkrut seketika. Revan tidak bisa memungkiri hal itu."Di, adakah cara agar kita bisa mengimbangi saham mereka? Aku tidak mau terus menerus bergantung pada orang lain." Revan kali
Inama langsung berdiri setelah melihat tamunya yang datang itu. Entah apa yang diinginkan oleh sosok muda itu datang ke rumah ini. Inama tidak pernah mengusir kedatangannya. Justru sambutan hangat yang selalu diberikan."Ada Hardi, Nak. Jadi, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya, ya," kata Inama dengan lembut."Hardi? Asistennya Mas Revan?" tanya Ara sambil berusaha memutar kursi rodanya dengan cepat.Pertanyaan Ara tidak lagi memerlukan jawaban saat ini. Hardi sudah berada di depannya. Asisten Revan itu tampak terkejut melihat keberadaan Ara di rumah ini. Ia pikir, Ara sudah dijemput oleh Revan."Bu Ara, apa kabar?" tanya Hardi dengan sopan."Ara saja. Ini di rumah, Di. Aku nggak nyaman ketika kamu panggil dengan embel-embel, Bu. Bahkan usiaku lebih muda darimu," kata Ara sedikit merajuk pada sosok asisten sang suami.Hardi hanya menggeleng pelan melihat kemanjaan Ara saat ini. Ia memang sengaja menjaga jarak dari Ara karena sebuah hal. Bukan hal yang menyakitkan, hanya saja terlalu