"Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu tetap menjadi istriku." Naina terbelalak. Empat tahun menjadi istri dari Dhafin, hinaan, caci maki, dan perlakuan buruk sudah menjadi makanan sehari-hari, seolah ia harus sadar posisinya hanya istri pengganti yang akan selalu menjadi bayang-bayang mantan tunangan pria itu. Tapi, ia tak terima kala dituduh meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Naina ingin berpisah. Hanya saja, mengapa Dhafin Manggala Wirabuana malah bersikap seperti ini? Mampukah Naina lepas dari CEO salah satu perusahaan ternama itu?
Lihat lebih banyakPlak!
âDasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!â
Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.
Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah.
Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.
Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.
âTidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.â Naina menggeleng keras.
Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?
Naina hendak meraih tangan sang mertuaâmencoba menjelaskan.
Sayangnya, ia justru didorong menjauh.
Bugh!
âTidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!â teriak sang mertua, âhanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?â
Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.
âLihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.â
Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.
Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.
Naina dipermalukan habis-habisan.
Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!
Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.
Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuanâmencoba menenangkan diri.
Hanya sajaâŚ. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.
Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.
Namun, ia berharap sang suami membelanya.
Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.
Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikahâŚ..
Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.
Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.
Drrt!
Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya.
Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu.
Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.
Suami yang ia cintai⌠suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.
âNainaâŚâ
Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.
âMaaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.â Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina.
âNggak papa, aku juga baru sampai kok.â
âLoh bukannya kamu udah otw dari tadi?â tanya Zelda tampak terheran-heran.
âIya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.â
Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.
Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu.
Sakit hati?
Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.
âEmang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.â Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.
âYa, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.â Naina menghela napas berat.
âAku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.â Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.
âHei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.â Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.
Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.
âOh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?â
Naina mengangguk yakin. âSetelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.â
Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. âAku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.â
âJangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.â
âNai....â Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.
âSekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.â
Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.
âOrang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,â lanjutnya.
âLalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?â
Naina menggeleng pelan. âBelum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.â
âAku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.â
âAku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.â
Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik.
Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin.
Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.
Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja.
Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?
Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.
Tapi⌠apakah ia tidak pantas dicintai?
âKalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?â
Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya.
âAku yang akan menggugat cerai.â
Tok tok tokâLora, ini Ayah. Apa Ayah boleh masuk?âLora yang baru saja mengusapkan kedua tangan ke wajah usai berdoa menoleh ke arah pintu kamar. Mukena berwarna cokelat susu bermotif bunga masih melekat rapi di tubuhnya. âMasuk aja, Ayah. Pintunya nggak dikunci.âTak lama kemudian, daun pintu terbuka perlahan dari luar dan muncullah Pak Raynald. Ia mengenakan baju koko berlengan pendek dipadukan dengan sarung batik.Langkahnya tenang saat memasuki kamar, lalu matanya langsung menangkap sosok putrinya yang tengah melipat mukena. Kemungkinan baru saja selesai sholat Maghrib.Lora beranjak dari tempat duduknya, menyampirkan mukena yang telah terlipat ke hanger, kemudian menggantungkannya di belakang pintu.Setelah itu, ia berjalan menghampiri sang ayah yang telah duduk di sofa dan ikut duduk di sampingnya.âAda apa Ayah ke sini?â tanyanya pelan.Pak Raynald menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat ke arah Lora. âAyah ingin memeriksa keadaanmu sekaligus ingin ngobrol banyak. Apa t
Dhafin tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menyimpan banyak luka. Pandangannya kosong, terarah pada gelas di depannya. Jari-jarinya bergerak memutar sedotan dalam minuman, seperti mencari pelarian dari kekalutan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. âBahkan sejak bercerai dari Lora, saya sudah hancur, Grissham,âucapnya lirih, âhidup saya berantakan. Tidak ada arah, tidak ada tujuan.â Matanya sedikit berkaca, tapi ia cepat mengedipkannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh. âSekarang yang tersisa hanyalah anak-anak. Si kembar⌠mereka satu-satunya hal paling berharga yang saya punya.â Ia menghela napas, panjang dan berat. âYang penting bagi saya, saya masih diperbolehkan bertemu mereka, masih bisa memeluk mereka, menjadi seorang ayah yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.â Grissham menyandarkan tubuh di sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. Satu kakinya disilangkan di atas yang lain, sikapnya tenang tapi tak sepenuhnya dingin. Tatapannya menyorot pe
Ngotea AjaTempat yang dipilih oleh Grissham untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Kafe teh yang berlokasi di pusat kota ini sedang naik daun dan menjadi primadona di berbagai kalangan.Nuansanya kekinian dengan interior bergaya hangat dan nyaman, sangat cocok untuk tempat berkumpul bersama teman, keluarga, maupun untuk sekadar me time. Meski terbilang baru berdiri, kafe ini telah berhasil menarik banyak pengunjung berkat strategi pemasaran yang jitu dan atmosfer yang menyenangkan.Setiap hari, kafe ini selalu ramai. Pengunjung datang silih berganti, apalagi saat sore seperti ini.Bukan hanya anak muda, para pekerja kantoran pun kerap menyempatkan diri mampir untuk melepas penat selepas bekerja seharian penuh.Grissham termasuk salah satu pelanggan di kafe ini. Ia sudah beberapa kali datang kemari, terutama saat ingin menyendiri atau mengerjakan proyek-proyek yang bersifat rahasia. Contohnya seperti sekarang.Laki-laki itu duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela kac
Grissham tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia terdiam, menyusun kata-kata yang tepat sebagai jawaban. âKarena aku belum menemukan waktu yang tepat, Ayah. Aku berencana mempertemukan Lora dan Annelies, lalu menceritakan semuanya.ââAyah tahu sendiri akhir-akhir ini kami sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga belum sempat,â ucapnya menjawab pertanyaan sang ayah.Pak Albern mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh penilaian. âKali ini Ayah tidak setuju dengan tindakanmu itu.ââSeharusnya sejak awal kau sudah menjelaskannya. Ketika kau memutuskan untuk meminang Lora, di situlah seharusnya kau membuka semuanya tentang Annelies.ââBukannya menunda-nunda yang justru memberi celah bagi musuh untuk menghancurkanmu,â balasnya.Grissham menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. âAku juga tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini.ââKedatangan Annelies ke sini, awalnya memang aku rencanakan untuk mempertemukan
âGrissham!âGrissham yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin meja rias menoleh ketika pintu kamarnya di buka dengan keras.Ia meletakkan sisir, lalu membalikkan badan hanya untuk mendapati sang ayah yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut menahan amarah.Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya.âKau ini benar-benar membuat malu!â bentak Pak Albern tajam. Di tangan kirinya tergenggam sebuah iPad yang menyala, menampilkan sebuah tayangan.Grissham memegang pipinya yang terasa panas menyengat. Matanya menatap ayahnya penuh keterkejutan. âAda apa, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?ââAda apa, katamu? Lihat ini!â Pak Albern menyodorkan iPad itu kasar ke arah Grissham. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan diri agar tidak kembali melayangkan tangan pada sang anak yang sepertinya belum tahu apa-apa.Grissham memperbaiki posisi iPad dan mulai menyimak tayangan di dalamnya. Seketika, bola mata abu-abunya membulat.Ia dibuat sangat terkejut menonton video berdurasi
Lora menghembuskan napas, lalu mengangguk patuh. âIya, Ayah.âMelawan pun percuma. Mereka pasti akan tetap memaksanya untuk istirahat di rumah. Jika dilanggar, ayahnya pasti akan menyuruh bodyguard untuk membatasi pergerakannya.âMama!âLora menoleh dan mendapati dua buah hatinya berlari ke arahnya. Senyum di bibirnya mengembang lebar. Ia segera berpindah posisi menjadi berlutut sambil merentangkan tangan, bersiap menyambut keduanya.Bersamaan dengan itu, para pelayan dari dapur mulai mengantarkan sarapan yang sudah matang. Aroma sedap langsung memenuhi ruangan saat makanan ditata di atas meja.âMama!â Dua balita itu menghambur ke pelukan ibunya, seolah baru saja bertemu setelah berpisah lama.Lora membalas pelukan mereka erat-erat, mencium kepala keduanya satu per satu. Sejak kemarin, ia sama sekali belum bertemu dengan si kembar. Rasa rindu disertai perasaan bersalah menyelinap di hatinya.Masalah yang terjadi benar-benar menguras emosi dan pikirannya. Ditambah lagi kondisi tubuh ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen