LOGINEnam bulan menanti, Rania selalu percaya pada janji suaminya sebelum pergi.. Malam itu, sebuah panggilan menoreh luka. Bima mengaku pikirannya terus tertuju pada seorang perempuan bernama Rini. Dari tawa yang hilang hingga gelas yang pecah, kepercayaan yang dibangun Rania hancur dalam sekejap. Saat ia menelusuri jejak sosial media dan menemukan petunjuk yang mengkhianati, sebuah tekad tumbuh bukan hanya untuk menguak siapa Rini, tetapi untuk membuat suami yang mengkhianatinya menanggung penyesalan. Sebuah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan keputusan yang tak lagi bisa ditarik kembali.
View MoreRania baru saja selesai membereskan piring di dapur. Rumah kecil yang mereka tinggali sejak menikah itu terasa sepi.
Tanpa suara Bima di dalamnya, tanpa canda tawa, hanya suara televisi yang menyala sekadar mengusir kesunyian. Ketika ponselnya bergetar di atas meja, Rania buru-buru meraihnya. Nama “Bima” terpampang jelas di layar. Senyum tipis sempat terbit di bibirnya, ia begitu merindukan suaminya. Enam bulan sudah Bima merantau, meninggalkan dirinya seorang diri di kota ini demi pekerjaan. “Dek…” suara Bima terdengar dalam, lebih berat dari biasanya. “Mas boleh ngomong sesuatu nggak?” Rania tertegun. Pertanyaan itu terdengar janggal. Biasanya Bima langsung bercerita panjang tanpa basa-basi. Ada nada ragu di suaranya kali ini. Jantung Rania mendadak berdetak lebih cepat, firasat buruk mulai menghantui. Namun dengan cepat menjawab. “Ngomong aja, Mas. Ada apa?” ujarnya mencoba terdengar biasa, walau sebetulnya perasaannya mulai tak tenang. Sejenak, hanya keheningan yang menyahut. Rania bisa mendengar helaan napas berat dari seberang yang terdengar berat. “Tapi… janji jangan marah ya, Dek.” akhirnya suara Bima terdengar. Rania mengernyit. Perasaan gelisah makin kuat. “Iya. Aku janji. Sekarang bilang aja, Mas.” Lalu kalimat itu meluncur dari mulut Bima. Kalimat yang seketika menghantam jantung Alexa seperti palu godam. “Mas lagi ingat seseorang terus, Dek. Tapi… bukan kamu.” Waktu seperti berhenti. Rania tercekat. Kata-kata itu bergema di kepalanya, menghantam berkali-kali. Bukan aku? Lalu?! “Mas…” suaranya tercekat. “Apa maksudmu?” “Namanya Rini. Entah kenapa wajah dia kebayang terus. Mas juga gak ngerti.” ucapnya tanpa ada beban di setiap katanya yang keluar dari mulutnya. Brak! Gelas di meja yang tak sengaja tersenggol oleh tangan Alexa pecah berantakan. Ia tidak peduli. Matanya panas, dadanya sesak. “Rini?” tanyanya lirih, nyaris berbisik. “Kamu serius ngomong gini sama aku, Mas?” “Maaf, Dek.” Suara Bima terdengar datar, nyaris tanpa rasa bersalah. Air mata Rania jatuh, panas di pipinya. Tapi kemarahan lebih kuat daripada tangisnya. “Jadi, selama ini yang kamu pikirin bukan aku? Aku istri kamu, Mas! Apa kurangnya aku sampai kamu tega ngomong kayak gini?!” “Apa kamu gak punya hati?!” umpat Rania. “Aku cuma jujur soal perasaan sendiri,” jawab Bima dingin. Rania terbahak, getir. “Jujur? Kamu sebut ini jujur? Ini pengkhianatan, Mas! Kita memang belum punya anak, tapi bukannya itu berarti kita bisa lebih fokus saling jaga, saling percaya? Aku selalu percaya sama kamu, dan sekarang kamu tega hancurin itu!” Hening. Bima tidak membantah, tidak juga membela. Seakan semua yang ia katakan sudah mutlak. Rania mengusap wajahnya yang basah air mata, “Kamu ingat, Mas, waktu kamu minta izin merantau enam bulan lalu?” Bima diam. Suara Rania meninggi. “Malam itu, kamu bilang ada tawaran kerja di pulau seberang. Aku sempat ragu, Mas! Aku takut kita jauh. Tapi kamu bujuk aku. Kamu janji!” Suara Alexa pecah, tangisnya semakin deras. “Kamu janji nggak akan macam-macam di sana! Dan sekarang? Janji itu cuma omong kosong.” “Dek, jangan gitu. Mas cuma…” “Cukup!” potong Alexa lantang. “Jangan panggil aku ‘Dek’ lagi dengan mulut yang sama yang ngaku mikirin perempuan lain!” Suasana semakin tegang. Rania menggenggam ponselnya erat-erat, seolah ingin menghancurkan benda pipih itu. “Kamu tahu nggak, Mas? Aku di sini selalu nungguin kabar kamu. Aku nggak pernah ngelarang, nggak pernah curiga berlebihan. Aku selalu percaya. Dan ternyata yang aku percaya justru nusuk aku dari belakang!” Bima akhirnya bersuara, pelan tapi menusuk. “Lebih baik aku bilang sekarang, daripada nanti kamu tahu dari orang lain. Pasti kamu lebih sakit.” Hah! omong kosong macam apa itu? Rania terdiam, lalu tertawa hambar. “Lebih sakit? Kamu pikir aku nggak sakit sekarang? Justru yang paling nyakitin adalah denger pengakuan ini langsung dari mulut kamu, Mas. Dari suami yang aku cintai.” Dadanya naik-turun, air mata tak berhenti mengalir. Rania merasa seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya malam itu. “Siapa dia?” tanya Rania dengan nada dingin. “ Sudah seberapa jauh hubungan kalian?” Bima tak segera menjawab. Hanya hening. Hening yang terasa seperti ribuan pisau menusuk hatinya. “Jawab!” bentak Rania, kali ini penuh amarah. “Bukan. Dia cuma teman,” ucap Bima akhirnya, terdengar seperti alasan murahan. “Teman?” Rania tertawa getir. “Kalau cuma teman, kenapa wajah dia yang kebayang terus? Kalau cuma teman, kenapa sampai kamu tega ngomong gini sama aku? Aku bukan anak kecil, Mas!” Suasana kembali hening. Disebrang sana Bima benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Niat hati ingin berkata jujur, tapi yang ada malah pertengkaran yang terjadi. Rania menutup wajahnya dengan telapak tangan, tubuhnya gemetar hebat. Tangisnya kini pecah tanpa bisa ditahan lagi. “Apa kamu tahu seberapa sakitnya aku dengar semua ini, Mas? Sakit! Lebih sakit daripada apa pun yang pernah aku rasain.” “Dek… aku minta maaf,” sahut Bima lemah. “Maaf?” Rania menatap layar ponselnya dengan pandangan kabur. “Kamu pikir kata maaf bisa nyembuhin luka yang kamu buat? Luka ini nggak akan pernah sembuh, Mas. Kamu hancurin kepercayaan aku. Dan kepercayaan itu nggak bisa kamu beli dengan kata ‘maaf’!” Detik itu juga Rania memutuskan panggilan. Ia tidak sanggup lagi mendengar suara suaminya. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol merah di ponselnya. Tut… Sambungan terputus. Rania masih terduduk di lantai kamar, tubuhnya gemetar hebat. Nama itu terus bergema di kepalanya. Rini. Siapa dia? Rania mengerutkan kening, mencoba mengingat ingat. Tidak pernah ada nama itu dalam hidupnya. Namun justru itulah yang membuat hatinya semakin tersayat. Kalau perempuan itu bukan siapa-siapa, kenapa bisa begitu dalam menancap di pikiran Bima? Rania menatap nanar ponsel, melihat pesan terakhir Bima. “Maaf.” hanya kata itu yang terlulis. Rania mencengkram benda itu erat-erat, seolah jika ia remukkan, rasa sakitnya juga akan hancur bersamaan. _____ Malam itu Rania tidak bisa tidur. Kepalanya penuh dugaan, kecemburuan, dan rasa takut. Ia memandangi dinding kamar yang dingin, teringat janji-janjinya dengan Bima dulu. Enam bulan lalu, suaminya berangkat dengan alasan pekerjaan. Tapi sekarang? Apakah semua itu hanya kedok? Hatinya berteriak ingin percaya. Tapi logika mulai menggugat, kalau tidak ada apa-apa, kenapa Bima sampai berani mengucapkan nama perempuan lain dengan begitu enteng? Rania memberanikan diri membuka ponsel. Ia mencoba mencari-cari jejak. Dengan tangan gemetar Rania membuka akun media sosial milik Bima. Ternyata ada nama “Rini” sering muncul di komentar. Foto-foto dengan tanda suka love. Pesan-pesan pendek namun sarat arti mendalam. Rania menatap layar dengan dada sesak. Seketika perasaan hancur semalam berubah jadi campuran amarah dan kecurigaan yang lebih tajam. Ia harus tahu lebih dalam siapa perempuan bernama Rini itu. Karena bagaimana pun, luka yang ia derita tidak akan terjawab kalau ia hanya berdiam diri. Malam itu mungkin Bima sudah menghancurkan kepercayaannya. Tapi satu hal yang tidak Bima ketahui, bahwa ia sedang menghancurkan hidupnya sendiri. “Kamu akan menyesal Mas!”“Kamu mau kemana, Dek? Sudah cantik begini?” tanya Bima ketika melihat Rania keluar dari kamar dengan wajah fresh dan pakaian rapi.Rania hanya memutar bola matanya. Dulu kalimat itu membuat pipinya merona, sekarang hanya memicu rasa muak. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa enggan untuk menambah drama membuatnya tetap buka suara.“Gak kemana-mana. Cuma keluar sebentar. Kenapa?” jawabnya pendek, kemudian duduk di sofa. Bima menyusul, duduk lebih dekat dari yang ia harapkan.Pria itu terus menatap istrinya, seolah sedang memandangi sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.Rasa rindu pada wanita yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu begitu membuncah, semenjak dirinya kembali belum sekalipun ia menyentuh sang istri. Jangankan tidur bersama. Hanya sekedar menggenggam tangannya saja sulit ia dapat.Rania betul-betul menjaga jarak darinya. Walau begitu ia tidak putus asa. Seperti saat ini.Ia menggeser posisi duduknya, lalu melingkarkan tangan ke pinggang Rania, memeluknya dari sam
Jam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas.Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur.Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan.Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang.Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja.Rania menunduk, sibuk dengan makanannya.Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu.Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri.Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjal
“Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.Sial! Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”Tut… tut…Sambungan telepon terputus.“Brengs
Dasar pria egois!“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk.Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah.“Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.”Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu?Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya.---Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng.






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.