Hardi memejamkan mata sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya itu. Revan jelas sedang sangat emosi. Salah menjawab bisa berakibat fatal. Kali ini Hardi sudah siap untuk menjawab."Posisi saham milik Manggala Grup itu delapan puluh persen. Jadi, wajar jika keuntungan yang mereka ambil sama dengan saham yang mereka tanam di perusahaan kita. Dua puluh persen keuntungan itu, hanya cukup untuk membayar uang gaji karyawan. Itu saja kadang masih sangat kurang. Saya dan beberapa kepala bagian sering mendahuluan gaji karyawan." Ucapan Hardi menjadi pukulan telak bagi Revan.Selama ini Revan selalu mengambil gaji setiap bulan tanpa melihat keadaan keuangan perusahaan. Delapan puluh persen saham milik Haris Manggala bukanlah jumlah yang sedikit. Jika mertua Revan menarik saham itu, maka Adhyatsa Grup akan bangkrut seketika. Revan tidak bisa memungkiri hal itu."Di, adakah cara agar kita bisa mengimbangi saham mereka? Aku tidak mau terus menerus bergantung pada orang lain." Revan kali
Inama langsung berdiri setelah melihat tamunya yang datang itu. Entah apa yang diinginkan oleh sosok muda itu datang ke rumah ini. Inama tidak pernah mengusir kedatangannya. Justru sambutan hangat yang selalu diberikan."Ada Hardi, Nak. Jadi, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya, ya," kata Inama dengan lembut."Hardi? Asistennya Mas Revan?" tanya Ara sambil berusaha memutar kursi rodanya dengan cepat.Pertanyaan Ara tidak lagi memerlukan jawaban saat ini. Hardi sudah berada di depannya. Asisten Revan itu tampak terkejut melihat keberadaan Ara di rumah ini. Ia pikir, Ara sudah dijemput oleh Revan."Bu Ara, apa kabar?" tanya Hardi dengan sopan."Ara saja. Ini di rumah, Di. Aku nggak nyaman ketika kamu panggil dengan embel-embel, Bu. Bahkan usiaku lebih muda darimu," kata Ara sedikit merajuk pada sosok asisten sang suami.Hardi hanya menggeleng pelan melihat kemanjaan Ara saat ini. Ia memang sengaja menjaga jarak dari Ara karena sebuah hal. Bukan hal yang menyakitkan, hanya saja terlalu
Naga tersenyum angkuh di depan Revan. Ia lantas masuk ke dalam ruangan Revan meski tidak dipersilakan oleh pemilik ruangan ini. Revan memejamkan mata untuk meredam amarah saat ini. Entah berita apa yang beredar di luar sana perihal Ara dan dirinya."Mau apa datang ke sini?" tanya Revan dengan nada dingin."Aku? Mau jenguk Andhara Manggala. Aku mau ajak kamu bareng untuk datang ke rumah Tuan Haris Manggala. Aku yakin, kamu tidak punya nyali untuk datang ke rumah itu." Ucapan Naga tepat sekali dan membuat Revan tidak berani berkutik sama sekali saat ini. "Saat Ara berjuang antara hidup dan mati, kamu sama sekali tidak ada. Ah, terlalu lucu dan klise jika dibahas. Aku tahu, ini pasti ajaran wanita tua sialan itu," kata Naga dan langsung berjalan keluar dari ruangan Revan."Tunggu! Siapa yang kamu maksud wanita tua sialan?" tanya Revan merasa tidak terima.Naga menghentikan langkah dan berbalik badan. Ia tersenyum penuh kemenangan saat ini karena bisa memancing kemarahan Revan Adhyatsa. H
Ara menatap sang suami karena tidak paham dengan ucapannya. Pertanyaan yang mana? Ara tidak mendengar pertanyaan dari Revan. Ara tampak kikuk saat ini."Kamu apa kabar, Ra?" Revan kembali mengulang pertanyaannya kali ini."Baik." Ara menjawab dengan singkat pertanyaan sang suami.Baik hanya yang tampak dari luar saja. Saat ini Ara sedang berperang mati-matian dengan hatinya. Siapkah ia ketika mengetahui fakta jika ternyata Mayang dan Revan masih saling mencintai? Ara tidak bisa berjanji apa pun saat ini."Kita makan saja dulu," kata Inama sambil mempersilakan menantu mereka untuk duduk. Revan mengambil tempat duduk tak jauh dari Ara. Ia berusaha semua tampak alami. Jika biasanya menjauh, kali ini harus berusaha dekat. Revan belum siap jika harus kehilangan Adhyatsa Grup."Ra, biar aku ambilkan nasinya," kata Revan sambil mengambil piring milik Ara.Haris berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh Revan. Ia yakin jika itu hanya akting saja. Realitanya pasti tidak akan seperti
"Ma, aku masih istri sah Mas Revan. Tidak seharusnya aku pulang ke rumah ini. Pasti akan banyak gunjingan. Aku rasa mereka juga takut buat datang ke sini," kata Ara dan membuat Inama berkedip beberapa kali.Inama tidak mungkin bisa membiarkan Ara datang kembali pada keluarga Adhyatsa. Kakek Revan itu adalah salah satu penyebab Panji meninggal dunia. Kecelakaan yang dialami oleh papa Revan adalah rekayasa yang dibuat oleh Adhyatsa. Kakek tua itu menginginkan aset perushaan Adhyatsa Grup."Baiklah. Mama, harus bicarakan ini semua dengan Papa. Lagian kamu masih harus terapi jalan." Alasan yang dibuat oleh Inama sangat logis kali ini."Aku bisa minta ditemani sama Bunda Murni dan Maa Revan. Mas Revan pasti mau, Ma. Aku janji, pernikahan aku dan dia akan baik-baik saja," kata Ara dengan sungguh-sungguh.Baik-baik saja katanya? Tidak, Inama bahkan tahu bagaimana Revan memperlakukan Ara. Mbok Ijah yang setiap saat melaporkan mereka semua. Katakanlah, Mbok Ijah adalah mata-mata yang andal dan
"Bu, mungkin Mayang memang sangat sibuk. Kebetulan saya yang sedang ada waktu," kata Gilang dengan tulus.Darsih menatap lekat laki-laki muda yang ada di depannya itu. Rasanya Mayang terlalu bodoh jika melepaskan Gilang begitu saja. Hubungan mereka juga bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Mayang seolah selalu menghindari Gilang.Entah hanya prasangka Darsih atau memang seperti itu adanya. Wanita paruh baya itu mengembuskan napas berat. Tampak seperti sedang menunjukkan betapa berat masalah antara anak dan ibu. Gilang tampak merasa gundah saat ini."Nak Gilang, kalo ada wanita lain yang lebih baik dari Mayang, Ibu, tidak masalah." Darsih seolah paham bagaimana arah hubungan Gilang dan Mayang."Bu, kami baik-baik saja. Jangan risaukan hubungan kami. Saya masih sering ke kafe Mayang. Pun sebaliknya kadanya dia yang datang ke tempat indekos saya," kata Gilang yang sekarang pandai mengarang cerita.Bulan depan, Gilang akan wisuda untuk S2-nya. Ia telah lulus dalam waktu tidak lebih
Rupanya Tuhan mengabulkan doa Ara. Mayang datang tanpa harus bersusah payah mencarinya. Katakanlah saat ini semesta sedang bercanda. Mayang datang bersama dengan seorang perempuan yang mungkin adalah pegawai kafe tempatnya bekerja."Kabarku, baik, May. Ke mana saja kamu?" tanya Ara setelah Mayang mengurai pelukan mereka."Aku pulang ke Semarang, Ra. Sekarang aku buka kafe kecil-kecilan." Mayang belum sadar jika ada Revan berdiri tepat di belakangnya."Mas, kenalin, ini Mayang, sahabat aku saat kuliah dulu," kata Ara sama sekali tidak 'nyambung' dengan obrolan Mayang.Revan tampak menahan napas saat Mayang berbalik badan. Mereka saling terkejut satu dengan lainnya. Mayang sedikit bisa menguasai keadaan lalu mengulurkan tangan pada Revan. Revan lama menyambut uluran tangan mantan kekasihnya itu.Wajah Revan kali mendadak pucat. Ia sangat takut dan tidak menyangka jika secepat ini akan bertemu dengan Mayang. Wanita masa lalu Revan itu juga masih merasa seperti mimpi. Tatapan keduanya pen
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan