Langkah Kiyada terhenti ketika laki-laki yang berusaha ia hindari kini berada di hadapannya. Farhan menatapnya tajam, mata teduh itu itu entah mengapa kini seolah berubah menghujam.
“Ada apa, Kak?” Dengan memberanikan diri Kiyada menantang tatapan Farhan. Ia berusaha agar tak terintimidasi.
Mendung menggelayut di angkasa. Semilir angin berembus menerbangkan dedaunan yang mulai mengering. Farhan terdiam beberapa saat, ia tak mau lepas kendali hingga mengeluarkan nada amarah pada Kiyada.
“Kak, Farhan ada perlu sama aku?” Kiyada bertanya sekali lagi saat mendapati laki-laki didepannya masih terdiam.
“Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu menjadi istri ke dua?” tanya Farhan lansung pada inti.
Jantung Kiyada berdetak tak karuan. Ia tak menyangka jika secepat itu Farhan akan mengetahui status yang selama ini ia tutup rapat. Bukan tak mau mengakui, tetapi ia takut dengan berbagai stigma negatif tentang istri ke dua. Kiy
“Siapa?” Ustaz Subhan melirik ke arah Kiyada sekilas.“A-isyah,” jawab Kiyada sedikit terbata.Selanjutnya Ustaz Subhan tak bertanya lebih jauh lagi. Eksprinya kembali datar dan fokus pada kemudi.“Kamu dimana, Ki?” Kini benar-benar suara Aisyah di seberang sana.Dari nada suaranya, terdengar Aisyah merasa bersalah. Sepertinya Farhan sengaja memakai nomor sahabatnya itu. Sebab jika Farhan langsung yang menghubungi, pastilah Kiyada tak berani mengangkat panggilannya.“Maaf, ya, Aisyah. Aku harus pulang dulu. Ada acara mendadak di rumah,” dusta Kiyada seraya melirik Ustaz Subhan.Entah Aisyah tahu masalah yang sebenarnya atau tidak. Yang jelas, untuk sementara biarlah semua mengalir seperti ini. Pada waktunya nanti Kiyada akan bercerita status yang sesungguhnya pada Aisyah.Kiyada yakin Aisyah bukan wanita yang mudah menghujat hanya dari satu sisi. Apalagi menghakimi dengan kata-
Mata Ustaz Subhan sedikit memicing menatap Kiyada. Diperhatikannya sang istri dari atas sampai ke bawah. “Kamu sudah salat?”Kiyada termangu, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Kejutan tak terduga yang ia hadapi hari ini hampir saja membuatnya lalai akan kewajiban. “Belum, Ustaz.”Entahlah, mungkin wajah Kiyada saat ini tak ubahnya kepiting rebus. Meski ini bukan pertama kali ia melihat sang suami bertelanjang dada, tetapi dampaknya selalu tak baik bagi kesehatan jantungnya. Padahal mereka beberapa kali melakukan hal yang lebih daripada saat ini.Saat Ustaz Subhan berlalu begitu saja dari hadapannya, barulah Kiyada mengembuskan napas lega. Setidaknya sang suami masih memperhatikannya, mengingatkan ia akan kewajiban sebagai seorang muslim.Segera Kiyada meletakkan belanjaan di meja dapur, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Waktu salat Asar hanya tersisa kurang dari satu jam, ia harus cepat-cepat melakukan semuanya.Sa
Jika ada yang mengatakan perselisihan rumah tangga akan selesai saat di atas ranjang, tampaknya Kiyada mulai mempercayai istilah itu. Terbukti, setelah melalui malam panjang penuh kehangatan itu hubungan mereka semakin membaik.Kiyada telah menjelaskan dengan gamblang bagaimana hubungannya dengan Farhan sebelum menikah. Tak ada yang ia tutupi sedikit pun dari sang suami. Sebab kejujuran dan saling keterbukaan adalah kunci utama dalam mengarungi bahtera rumah tangga.Meski hingga kini Kiyada tak tahu siapakah orang yang mengirimkan foto dirinya bersama Farhan pada sang suami. Rasanya selama ini tak pernah memiliki musuh. Mungkinkah memang ada pihak yang menginginkan kehancuran rumah tangganya?“Saya harap kamu jangan lagi menerima tamu laki-laki jika saya tidak di rumah, apalagi saat malam hari,” pinta Ustaz Subhan dengan nada tegas.Meski ilmu agama Kiyada terbilang dangkal, tetapi sedikit banyak ia tahu bagaimana batasan pergaulan laki-laki d
“Kita pulang saja, ya?” tanya Ustaz Subhan dengan nada khawatir.“Tidak perlu. Nanti setelah minum obat juga InsyaAllah sembuh,” jawab Kiyada ragu.Ustaz Subhan termangu, rasanya ia tak tega jika harus meninggalkan Kiyada dalam keadaan seperti ini. Jika nanti terjadi sesuatu pada sang istri, maka ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Setelah memuntahkan semua isi perutnya Kiyada kembali menegakkan punggung. Ia duduk di teras indekos yang dalam keadaan sepi, seraya menarik napas panjang beberapa kali berharap rasa mual itu kian berkurang.Beruntung di dalam mobil Ustaz Subhan selalu menyediakan botol air mineral. Dengan penuh kelembutan ia membimbing Kiyada untuk meminumnya perlahan. Melihat wajah sang istri yang tampak sedikit pucat, hatinya benar-benar bimbang.“Kita ke dokter saja kalau kamu nggak mau pulang.” Putus Ustaz Subhan pada akhirnya.Kiyada terdiam beberapa saat. Rasa mualnya perlahan mer
Kiyada tak tahu apakah memang ini benar-benar hasil yang ia harapkan atau bukan. Air matanya meluruh antara bahagia juga nestapa. Berbagai kemungkinan berdesakan melintasi pikirannya. Bagaimana cara ia memberitahukan hal ini pada ibu jika beliau pulang?Garis dua itu memang masih samar dan berwarna merah muda. Namun, Kiyada bukan wanita sepolos itu hingga tak tahu apa artinya. Bagaimapun cepat atau lambat ibu pasti mengetahuinya, karena kehamilan bukanlah masa yang singkat.Belum lagi kuliahnya yang pasti akan sedikit terbengkalai. Kiyada beberapa kali menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Ia harus tenang, masalah tidak akan selesai jika hanya dihadapi dengan kepanikan.Kiyada menyimpan benda berwarna putih tersebut ke dalam tasnya. Untuk saat ini dirinya pengin fokus terlebih dahulu pada kuliah. Sebab tak ingin nilainya sudah buruk di awal semester.“Saya ingin kamu bisa melahirkan keturunan untuk anak saya. Subhan itu anak tun
Selama jam pelajaran, Kiyada sama sekali tak bisa konsentrasi dengan materi yang tengah dipaparkan. Sesekali rasa mual itu datang menyapa. Ditambah berbagai macam pikiran buruk melintas tanpa mampu ia kendalikan.Mungkin ini adalah yang diharapkan Ustaz Subhan juga Ustazah Shofia, karena tujuan utama ia menjadi istri ke dua adalah untuk melahirkan keturunan. Namun, ia tak rela jika kuliahnya kembali terbengkalai begitu saja.Dulu ia terpaksa mengambil cuti yang berakhir berhenti di awal semester sebab faktor biaya, juga kondisi ibu yang sakit-sakitan. Sekarang saat kuliahnya sudah ada yang menanggung, dan ibu telah mendapatkan perawatan terbaik, kondisi yang lebih rumit datang menghampiri.“Kamu pucat banget, Ki?” Fatimah menatap Kiyada khawatir.Sore itu keduanya baru saja keluar dari kelas. Selama jam pelajaran, Kiyada berusaha mati-matian menahan mual yang tiba-tiba datang dan pergi dengan sendirinya.“Kayaknya cuma masuk angin
Hari ini terasa begitu melelahkan bagi laki-laki berusia 25 tahun itu. Jadwal persiapan untuk seminar kepenulisan yang ia agendakan cukup menyita waktu. Farhan bahkan sampai rela mengorbankan jadwal bimbingan tesisnya, demi sebuah komunitas yang baru saja dirintis bersama teman-teman pegiat literasi.Menjelang Magrib Farhan memiliki janji untuk bertemu dengan salah satu dosen sastra di kampus. Motor yang dikendarainya melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba dari arah berlawanan ia melihat sebuah motor ninja menyerempet seorang mahasiswi.Kejadian itu begitu cepat, hingga ia mendekat dan matanya menangkap seorang gadis yang begitu ia cintai tengah tergolek lemah. Darah segar yang membasahi pelipis juga bagian depan jilbabnya membuat Farhan kalang kabut.“Kiyada?!” Farhan berseru panik.Direngkuhnya tubuh itu dalam dekapan, lalu salah seorang memberhentikan mobil untuk meminta tolong membawa korban ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, Farhan me
“Kamu sudah sadar, Ki?” Farhan tersenyum samar.Kiyada mengerjap beberapa kali, ia berusaha bangkit tetapi kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. “Aku di mana?”“Di rumah sakit. Tadi kamu terserempet pengendara motor.” Farhan berkata lembut seraya menampilkan senyum menawannya.Suasana ruangan mendadak sunyi sepi. Baik Kiyada maupun Farhan sama-sama saling terdiam. Mengeja rasa yang belum sepenuhnya sirna. Meresapi takdir yang terasa getir, juga mengubur mimpi yang terlanjur membumbung tinggi. Namun, bagaimanapun semua adalah rencana terindah dari-Nya. Allah adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan. Tak ada doa yang sia-sia, segala semoga pasti memiliki jawabannya. Tugas kita adalah menjalani semua dengan sebaik-baik penerimaan.Sedih juga kecewa pasti ada, itulah yang coba diredam oleh Kiyada juga Farhan. Sebab hidup harus terus berjalan. Masa lalu bukan untuk diratapi, cukup lah sebagai pengingat diri. Bahwa semua tak lagi sama.