Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
“Sah ....”Ketika kata itu menggema memenuhi tiap sudut ruangan. Shofia menahan sesak yang sejak tadi terasa semakin menghimpit dadanya. Ia tak kuasa melihat laki-laki yang menjadi imam hidupnya selama delapan tahun, kini mengumandangka doa di ubun-ubun wanita lain.Padahal ia sendiri yang meminta sang suami untuk menikah lagi, karena hingga kini dirinya tak mampu melahirkan keturunan. Shofia perlahan menghilang dari keramaian, menepi di sudut kamar mandi seorang diri. Tak sanggup rasanya jika harus menyaksikan adegan selanjutnya dari prosesi sakral tersebut.Air mata yang susah payah ia tahan, kini menganak sungai di pipinya yang tampak sedikit lebih tirus. Memandang pantulan wajahnya di cermin, Shofia melihat bayangan yang begitu mengenaskan di sana. Tampak seorang wanita dengan gamis salem dan hijab syar’i dengan warna senda tengah meratapi cintanya yang harus terbagi.“Kak Shofi.” Terdengar suara ketukan pintu cukup
Perlahan Kiyada mundur menjauhi pintu. Ia mengutuk dirinya yang terlalu berharap banyak dari pernikahan ini. Harusnya ia sadar jika dirinya tak lebih dari seorang wanita murahan, yang rela menjadi istri ke dua demi uang.Di saat hatinya sedang kacau begini, Kiyada begitu merindukan dekapan sang ibu yang selalu menentramkan. Entah sedang apa ibu di sana, dan bagaimana reaksi beliau saat tahu putrinya telah menikah menjadi yang ke dua.***“Saya ingin kamu menjadi istri ke dua suami saya,” ucap Ustazah Shofia dengan suara bergetar.Bagai tersambar petir di siang bolong, kata-kata Ustazah Shofia membuat Kiyada limbung seketika. Ia tahu hingga kini Ustazah Shofia dan Ustaz Subhan memang belum dikaruniai keturunan. Namun, apakah harus dengan cara seperti ini demi mendapatkan seorang anak?“Tapi masih banyak cara lain, Ustazah. Kenapa harus memilih jalan poligami?” Kiyada menatap nanar wajah wanita yang selama bertahun-tahun menja
Setelah menutup panggilan telephon dari sang suami, nyatanya Shofia tak bisa lekas terpejam. Bayangan bagaimana suaminya akan melakukan ritual malam pertama dengan Kiyada terus saja terlintas.Kini kehangatan juga kelembutan itu harus dibagi dengan wanita lain. Batinnya bertanya-tanya akankah Ustaz Subhan juga melontarkan kata cinta juga rayuan maut pada istri mudanya?Shofia merutuki dirinya sendiri, bukankah ia menginginkan lahirnya keturunan dari madunya? Namun, nyatanya ia belum benar-benar siap membagi kehangatan yang selalu diberikan sang suami dengan wanita selain dirinya.Jenuh dengan segala kecamuk batinnya, Shofia memutuskan untuk mengambil wudu. Menumpahkan segala resah juga gundah kepada Sang Pencipta adalah pilihan terbaik. Tersedu seorang diri di atas sajadah, berdoa agar diberikan kekuatan melewati hari-hari berikutnya.Biasanya setelah salat tahajud Shofia akan tidur kembali, lalu saat azan subuh berkumandang Ustaz Subhan akan memban
“Maaf, Ustazah, saya pindah ke belakang.” Kiyada berucap lirih dengan raut penuh rasa bersalah.Shofia mengangguk canggung. Ia sedikit kesal dengan sang suami, karena tak mengatakan jika membawa serta Kiyada ke rumah mereka. Padahal ia ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya hanya berdua, sebelum mereka terpisah dalam waktu yang cukup lama.“Kamu tidak masuk ke dalam, Ki?” Ustaz Subhan berusaha memecah ketegangan yang sempat tercipta antara kedua istrinya.“Tidak, Ustaz, saya memang sengaja menunggu di mobil,” jawab Kiyada ketika sudah menemukan posisi ternyamannya di kabin belakang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa bersalah.Ustaz Subhan dapat menangkap dengan jelas perubahan sikap Shofia yang mendadak dingin, tidak seceria dan sehangat saat tadi mereka di dalam kamar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, saat pertama kalinya membawa dua istri dalam satu mobil.Suasana hening menyelimuti ketiga orang yang ber
sabit menggantung indah di ujung cakrawala. Di sekelilingnya tampak gemintang yang berkelap-kelip menghiasi angkasa. Langit malam yang cerah, sangat berbanding terbalik dengan kedaan hati Ustaz Subhan.Laki-laki dengan rahang tegas tersebut masih setia duduk seorang diri di teras rumah istri ke duanya. Hatinya dirundung kesal juga gelisah. Semenjak keberangkatan sang istri dari bandara internasional Batam menuju Singapura, wanita cantik itu sama sekali tak bisa dihubungi.Puluhan chat aplikasi hijau yang ia layangkan hanya berakhir centang satu abu-abu. Juga panggilan telephon seluler yang hanya dijawab oleh suara operator. Shofia seolah sengaja menghindarinya.“Ustaz, makan malamnya sudah siap.” Suara renyah seorang wanita membuyarkan lamunannya.Ustaz Subhan terkesiap. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita bertubuh mungil dengan hijab pashmina berwarna mint. Istri mudanya tersebut tampak tertunduk malu-malu dengan kedua tangan saling te