"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.
Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, dilihat dari pancaran ultraviolet yang terpancar dari wajahnya agak murung dan tak bersemangat."Kamu masih keberatan, Mas kalau kita ngontrak? Kalau iya, yasudah kita pisah saja. Daripada aku terus dihina dan diinjak sama ibu dan adikmu itu." ucapku pura-pura mengancam, walaupun aku tahu Mas Bendu sedang berada dipihakku."Nggak kok, Dik. Udah yah, jangan sebut kata-kata itu lagi ya," jawabnya dengan nada lirih.Aku memang sengaja, sengaja mengulang kata itu agar dia semakin merasa bersalah padaku.***"Mas, kita makan bubur ayam dulu yuk. Aku dari kemarin pengen bubur ayam!" ajakku pada Mas Bendu."Bubur ayam yang dimana, Dik?" tanyanya sambil menunggangi sepeda motor."Ya aku nggak tau tempatnya, tapi bukannya kamu pernah bawain aku bubur ayam yang lokasinya nggak jauh dari kantor kamu tuh Mas, aduuh siapa yah nama penjualnya aku nggak ingat.""Oooo, Bubur Ayam Kang Gogon.""Haa iyaa, Kang Gogon yaa. Eh pokoknya bubur ayam yang pernah kamu bawa pas kita baru-baru nikah itu lho Mas.""Ya sudah kita mampir dulu ke sana abis itu baru cari kontrakan."Entah kenapa hatiku membara bahagia, terbayang dipelupuk mata semangkok bubur ayam yang rasanya lebih syahdu daripada mulut julid mertua dan ipar.Ini namanya yang tidak rezeki, ternyata bubur ayam Kang Gogon nggak buka. Ada sebuah kertas terpampang di gerobak buburnya "Sedang Pulang Kampung"Aku terasa ditimpuk reruntuhan batu kerikil, sakit sekujur tubuhku, padahal tadi semangkok bubur ayam sudah terasa diujung lidahku."Besok Mas coba mampir ke sini lagi ya, Dik. Siapa tahu Kang Gogonnya udah jualan lagi. Berdoa saja ya." ucap Mas Bendu seraya menenangkanku, mungkin dia melihat wajahku tadi ceria berubah lesu dan diam seribu bahasa."Iya, kita lanjut cari kontrakan aja Mas. Biar cepat juga pulangnya, tiba-tiba badanku agak kurang enak." jawabku kesal.Kami memasuki sebuah gang yang di dalamnya terdapat komplek perumahan. Siapa tahu ada rumah kontrakan yang cocok. Menyisir jalan dari blok 1 sampai blok 4 ada beberapa rumah yang di kontrakan tapi aku nggak srek sama biayanya, ada juga harga cocok tapi fasilitas rumahnya yang kurang memadai.Ada satu blok lagi yang akan disisir, blok terakhir di gang komplek ini. Aku berharap ada sesuai kriteria yang kucari. Biaya kontrakannya dibayar perbulan, air PDAM, listrik 1300watt, dan juga kalo bisa dua kamar jadi jika ada tamu yang menginap di rumah kamar satunya bisa dipake, tamu yang ku maksud bukan mertua dan ipar. Mana tauan ibu dan sanak saudara ku yang berkunjung ke sini."Mas, kamu tengok bagian kiri, aku bagian kanan ya." perintahku, seperti menyisir blok 1 sampai blok 4 tadi. Mas Bendu menunggangi sepeda motor dengan kecepatan pelan sangat pelan."Mas, Mas itu tuu ada rumah yang dikontrakanya." tunjukku dengan memukul pundak Mas Bendu pada sebuah rumah petak persegi bercat dinding warna Lilac dengan pagar besi berwarna hitam, terlihat indah dimataku. Ada tulisan "DIKONTRAKAN" yang ditempel pada kaca rumah tersebut.Mas Bendu pun menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah berwarna Lilac itu."Coba kamu telfon Mas nomor yang tercantum disitu." serayaku. Pada kertas yang ditempel tertulis juga nomor handphone mungkin itu nomor pemilik rumah ini.Setelah sekitar lebih kurang setengah jam Mas Bendu berbicara dengan pemilik rumah melalui sambungan telfon, akhirnya kami 'DEAL' untuk mengontrak rumah tersebut. Entah kebetulan entah ini yang namanya rezeki semua kriteria kami cari cocok dengan pemilik rumah. Aku tentu tidak berpikir lama, langsung bungkus pastinya, dan Mas Bendu akan janjian bertemu dengan pemilik rumah.Aku dan Mas Bendu memutuskan untuk langsung pulang ke rumah apalagi kami berdua belum Sholat Ashar. Ketika memasuki halaman rumah ada sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru metalik terparkir.Hatiku sedikit bertanya-tanya, siapa tamu yang sedang berkunjung ke rumah ibu. Pasalnya selama aku tinggal di sini belum pernah ada tamu yang datang, kecuali undangan syukuran kecil-kecilan yang diadakan pasca seminggu kami menikah."Mas, itu mobil siapa?" tanyaku pada Mas Bendu, siapa tahu dia kenal atau mungkin ada kerabatnya yang datang."Euumm, nggak, nggak tahu juga Mas, Dik." jawabnya terbata. Kuperhatikan dengan seksama wajah yang memiliki seuprit bulu-bulu halus pada bagian dagunya itu tampak gelisah, seperti orang yang sedang takut kepergok akan sesuatu hal.Aku melangkah pelan memasuki rumah, tapi sampai di ambang pintu mataku terfokus pada sepatu high heels berwarna kuning emas, melihat tumit sepatu yang begitu runcing membuat gigiku terasa ngilu."Assalamualaikum," sahutku memasuki rumah.Di ruang tamu ada ibu, Nini, dan seorang perempuan berambut coklat lurus, cantik. Itu yang muncul dibenakku ketika melihatnya. Siapa dia?Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem
"Apa?! Kamu mau menikahi janda itu? Jangan gila Bendu. Ibu tidak setuju." jantungku berpacu kencang hingga ubun-ubun menggelegak, mendengar Bendu meminta restu untuk menikahi Liodra-seorang janda."Buuu...""Kamu tahu 'kan kenapa Liodra menjadi janda, dia dicerai mantan suaminya karena bermain serong dengan mantan kekasihnya dulu. Perempuan seperti itu yang akan kamu jadikan istri. Bodoh betul kamu Bendu." bentakku."Bu, tapi Bendu harus ngelakuin itu, Bendu harus menikahi Liodra, Bu." dia bertekuk lutut seraya memegang kakiku."Harus apa Bendu. Jawab! Jangan bertingkah, kamu akan ibu malu. Mau ditarok dimana muka ibu, Benduuuu!" "Bu, tapi Bendu mohon tolong restui pernikahan kami." dia tidak menyerah sedikit pun."Kamu benar-benar sudah sarap yah Ben. Masa nikahi perempuan yang sudah janda, belum lagi umurnya lebih tua, nanti kalau kamu nggak punya keturunan gimana. Kayak nggak ada perempuan lain saja yang kamu nikahi.""Iya, Bu. Bendu tahu itu, ta-tapi....""Tapi apa, Hah? Sudahlah
Sampai diambang pintu, kubuka seperempat saja agar tidak ketahuan, karena dari sumber suara yang kucerna, mereka sedang duduk di ruang tamu.Suara yang tadinya samar, kini mulai jelas terdengar di kuping ku. Itu kamu Mas, siapa lagi laki-laki di rumah ini selain kamu. Dan tak salah lagi suara lawan bicara Mas Bendu ialah Leria, wanita berita suara sedikit cempreng.Sedari tadi ketika tidak menemukan Mas Bendu di sampingku, hati sudah tidak karuan.Walaupun begitu, ku coba untuk mengumpulkan energi agar tidak salah sangka. Ku jorokan kepala keluar sedikit, memastikan seperti apa posisi duduknya.Tubuhku semakin terasa bergetar hebat dikala netraku menangkap basah suami yang baru menikahiku itu telah menodai ikatan sakral.'Romantis' itu yang tertangkap di kedua netraku, mereka duduk berdampingan Leria tampak menyandarkan tubuhnya pada bidang dada Mas Bendu. Sedangkan tangan kanan Mas Bendu tampak memegang tangan Leria.Perlahan kutarik kepala kembali, tak kuasa netraku melihat pemandan
"Iya, Mas. Barusan aku dapat email ada interview di salah satu perusahaan yang pernah ku kirimkan lamaran via email." jelasku."Wah, iya kah? Alhamdulillah, semoga kamu diterima yah Dik." ucapnya penuh harap."Dik? Piiuuuhhh, dasar mulut mur*han." gumamku."Jadi bagaimana? Kamu tetap mengantarkan Leria atau memilih mengantar ku untuk pergi interview?" tawarku.Menawar sepertinya lebih pantas ketimbang aku memaksa dia.Belum sempat dia menjawab tawaran yang kusuguhkan. Netranya terfokus ke pintu utama rumah, ku toleh pandanganku ke sana. Oh ternyata perempuan bersuara agak cempreng itu sedang melaksanakan aksinya, dia di papah oleh ibu dan Nini."Ben, bantuin dong, jangan malah berdiam diri menatap seperti itu." keluh ibu."Bu, maaf. Kayaknya Bendu nggak bisa ngantar Leria pulang, soalnya Bendu harus ngantar Liodra interview dulu.""Lho, nggak bisa gitu dong Ben." raut wajah mereka bertiga berubah seratus delapan puluh derajat, skenario mereka meleset dari sasaran. Tatapan semakin ngga
"Nah lho, nah lho kalau memang Leria loyalnya lebih terbaik dari aku, kenapa masih ribet sih dengan jinjingan kantong plastikku yang berisikan makanan ya 'kan." racauku dalam hati. Ingin sekali mulut ini menyuarakan isi hati, akan tetapi aku masih saja memilih urung melakukannya.Sengaja ku biarkan mereka bersahutan menghujatku bergantian. Biar saja mereka merasa menang di awal. Mungkin mereka akan menang bergelut denganku.Untung menu sore ini ayam lada hitam plus sayur capcay plus nasi disegarkan dengan satu gelas es teh manis melunturkan emosi yang tadi sempat terpancing ulah kata-kata mereka.Aku tidak ingin ceroboh, melabrak mereka sama saja mengotori tanganku yang indah ini. Terdengar samar mereka masih bersahutan, aku tetap tidak ambil pusing.Tak lama kemudian, ketika aku masih asyik menikmati suap demi suap santapanku sore ini."Lio, buka pintunya!" pinta ibu."Lio, kamu beneran menantu kurang ajar ya. Wajar saja kalau feeling saya nggak enak pas Bendu mau minta nikahin kamu.
"Lho, lho, Ben. Kok kamu di rumah? Nggak kerja?" Tanya ibu keheranan melihat Mas Bendu sedang di rumah siang bolong begini.Ibu sedari pukul 06.00 pagi memang sedang pergi bersama Nini, aku juga tidak tahu dan juga tidak mau tahu mereka pergi kemana. Makanya ibu tidak tahu kalau hari ini, Mas Bendu cuti kerja."Nggak, Bu. 'Kan mau pindahan." jawab Mas Bendu yang baru selesai mencuci tangannya sehabis makan siang."Pindah? Siapa yang mau pindah? Kamu?" nada suaranya meninggi dan kedua matanya membulat."Ini juga apa-apaan? Kamu beli nasi bungkus dua bungkus saja, Ben? Mana buat ibu dan Nini. Buka mata kamu, jangan mau diperalatan sama istri macam Liodra." kedua netranya terperangah melihat dua bungkus nasi sisa punyaku dan Mas Bendu, tampak dia menelan air ludah.Aku hanya cuek bebek sambil memainkan gadget selepas makan, masa bodo juga dengan kesyokan mertua lucknut itu. Dua nasi bungkus sengaja ku pesan lewat aplikasi online.Walau tadi Mas Bendu sempat komplain karena aku mesan dua