Share

Bab 9. Siapa Dia?

"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.

Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.

Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.

Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.

Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding.

"Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.

Mas Bendu hanya mengangguk pelan, dilihat dari pancaran ultraviolet yang terpancar dari wajahnya agak murung dan tak bersemangat.

"Kamu masih keberatan, Mas kalau kita ngontrak? Kalau iya, yasudah kita pisah saja. Daripada aku terus dihina dan diinjak sama ibu dan adikmu itu." ucapku pura-pura mengancam, walaupun aku tahu Mas Bendu sedang berada dipihakku.

"Nggak kok, Dik. Udah yah, jangan sebut kata-kata itu lagi ya," jawabnya dengan nada lirih.

Aku memang sengaja, sengaja mengulang kata itu agar dia semakin merasa bersalah padaku.

***

"Mas, kita makan bubur ayam dulu yuk. Aku dari kemarin pengen bubur ayam!" ajakku pada Mas Bendu.

"Bubur ayam yang dimana, Dik?" tanyanya sambil menunggangi sepeda motor.

"Ya aku nggak tau tempatnya, tapi bukannya kamu pernah bawain aku bubur ayam yang lokasinya nggak jauh dari kantor kamu tuh Mas, aduuh siapa yah nama penjualnya aku nggak ingat."

"Oooo, Bubur Ayam Kang Gogon."

"Haa iyaa, Kang Gogon yaa. Eh pokoknya bubur ayam yang pernah kamu bawa pas kita baru-baru nikah itu lho Mas."

"Ya sudah kita mampir dulu ke sana abis itu baru cari kontrakan."

Entah kenapa hatiku membara bahagia, terbayang dipelupuk mata semangkok bubur ayam yang rasanya lebih syahdu daripada mulut julid mertua dan ipar.

Ini namanya yang tidak rezeki, ternyata bubur ayam Kang Gogon nggak buka. Ada sebuah kertas terpampang di gerobak buburnya "Sedang Pulang Kampung"

Aku terasa ditimpuk reruntuhan batu kerikil, sakit sekujur tubuhku, padahal tadi semangkok bubur ayam sudah terasa diujung lidahku.

"Besok Mas coba mampir ke sini lagi ya, Dik. Siapa tahu Kang Gogonnya udah jualan lagi. Berdoa saja ya." ucap Mas Bendu seraya menenangkanku, mungkin dia melihat wajahku tadi ceria berubah lesu dan diam seribu bahasa.

"Iya, kita lanjut cari kontrakan aja Mas. Biar cepat juga pulangnya, tiba-tiba badanku agak kurang enak." jawabku kesal.

Kami memasuki sebuah gang yang di dalamnya terdapat komplek perumahan. Siapa tahu ada rumah kontrakan yang cocok. Menyisir jalan dari blok 1 sampai blok 4 ada beberapa rumah yang di kontrakan tapi aku nggak srek sama biayanya, ada juga harga cocok tapi fasilitas rumahnya yang kurang memadai.

Ada satu blok lagi yang akan disisir, blok terakhir di gang komplek ini. Aku berharap ada sesuai kriteria yang kucari. Biaya kontrakannya dibayar perbulan, air PDAM, listrik 1300watt, dan juga kalo bisa dua kamar jadi jika ada tamu yang menginap di rumah kamar satunya bisa dipake, tamu yang ku maksud bukan mertua dan ipar. Mana tauan ibu dan sanak saudara ku yang berkunjung ke sini.

"Mas, kamu tengok bagian kiri, aku bagian kanan ya." perintahku, seperti menyisir blok 1 sampai blok 4 tadi. Mas Bendu menunggangi sepeda motor dengan kecepatan pelan sangat pelan.

"Mas, Mas itu tuu ada rumah yang dikontrakanya." tunjukku dengan memukul pundak Mas Bendu pada sebuah rumah petak persegi bercat dinding warna Lilac dengan pagar besi berwarna hitam, terlihat indah dimataku. Ada tulisan "DIKONTRAKAN" yang ditempel pada kaca rumah tersebut.

Mas Bendu pun menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah berwarna Lilac itu.

"Coba kamu telfon Mas nomor yang tercantum disitu." serayaku. Pada kertas yang ditempel tertulis juga nomor handphone mungkin itu nomor pemilik rumah ini.

Setelah sekitar lebih kurang setengah jam Mas Bendu berbicara dengan pemilik rumah melalui sambungan telfon, akhirnya kami 'DEAL' untuk mengontrak rumah tersebut. Entah kebetulan entah ini yang namanya rezeki semua kriteria kami cari cocok dengan pemilik rumah. Aku tentu tidak berpikir lama, langsung bungkus pastinya, dan Mas Bendu akan janjian bertemu dengan pemilik rumah.

Aku dan Mas Bendu memutuskan untuk langsung pulang ke rumah apalagi kami berdua belum Sholat Ashar. Ketika memasuki halaman rumah ada sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru metalik terparkir.

Hatiku sedikit bertanya-tanya, siapa tamu yang sedang berkunjung ke rumah ibu. Pasalnya selama aku tinggal di sini belum pernah ada tamu yang datang, kecuali undangan syukuran kecil-kecilan yang diadakan pasca seminggu kami menikah.

"Mas, itu mobil siapa?" tanyaku pada Mas Bendu, siapa tahu dia kenal atau mungkin ada kerabatnya yang datang.

"Euumm, nggak, nggak tahu juga Mas, Dik." jawabnya terbata. Kuperhatikan dengan seksama wajah yang memiliki seuprit bulu-bulu halus pada bagian dagunya itu tampak gelisah, seperti orang yang sedang takut kepergok akan sesuatu hal.

Aku melangkah pelan memasuki rumah, tapi sampai di ambang pintu mataku terfokus pada sepatu high heels berwarna kuning emas, melihat tumit sepatu yang begitu runcing membuat gigiku terasa ngilu.

"Assalamualaikum," sahutku memasuki rumah.

Di ruang tamu ada ibu, Nini, dan seorang perempuan berambut coklat lurus, cantik. Itu yang muncul dibenakku ketika melihatnya. Siapa dia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status