Deg! jantung Jonathan berpacu dengan cepat ada rasa kecewa yang menjalar di hatinya, ia merasa bahwa penantian yang Gilbert lakukan sia-sia. Semua pengorbanannya dan harapannya. "Halo, kamu masih di sana kan?" tanya La Rossa ketika ia tak kunjung mendapat jawaban jua. "Iya Ros, tentu bisa. Siapa orang yang begitu beruntung mendapatkan kasih sayangmu itu?" tanya Jonathan. Ia merasa penasaran siapa orang yang La Rossa sayangi itu sampai-sampai ia membutuhkan pengawalan. "Bukan urusanmu!" ketus La Rossa. Ia paling benci jika ada orang yang selalu mau tahu urusan orang lain, padahal tidak ada kapasitasnya di sana. "Sudah berulang kali aku katakan, jangan pernah ingin tahu akan urusan orang lain! Atau kamu akan terjebak di dalamnya dan mencari mati sendiri!" pesan La Rossa dingin dan angkuh. "Siapkan dua orang pengawal terbaik yang kamu miliki! Aku minta mereka untuk mengawal sahabatku Aisyah, kamu pasti sudah tahu 'kan keberadaan mereka?" ucap La Rossa. Jonathan tercengang kaget saat
La Rossa menatap kembali Komrad dengan tatapan penuh kebencian. Ia tahu persis karakter Komrad yang licik dan penuh tipu muslihat. Sudut mata La Rossa menangkap pergerakan mencurigakan dari Komrad. Ia membalas serangan anak buah Komrad dengan gerakan yang cepat dan gencar. Beberapa anak buah Komrad tersungkur di lantai.Melihat ada celah La Rossa berlari mengejar Komrad yang telah menyelinap keluar dari ruangannya, La Rossa menyusul Komrad dan langsung menghadangnya di depan."Kamu!" sorot mata Komrad merah menatap tajam La Rossa."Kamu mau kabur Komrad?! Sungguh bukan jiwa seorang petarung sejati! Ternyata selama ini nama Komrad hanya bualan semata, Komrad tidak lebih dari seorang pecundang yang berlindung di balik nama besar Vangsed, huh sungguh memalukan!" La Rossa mencibir tindakan yang Komrad lakukan. Tak segan bahkan ia menghinanya juga."Jangan bicara sembarangan! Aku bukan pecundang seperti apa yang kamu katakan," Komrad meradang marah, matanya yang merah semakin merah. Tatapa
La Rossa ambruk di lantai dengan bersimpuh, kakinya sudah tak mampu menopang lagi badannya. Ia menundukan kepalanya. Sejurus kemudian ia mendongakkan kepalanya, ia berbicara dengan dirinya sendiri, "aku tak boleh menyerah, masih tersisa nafas dalam ragaku." La Rossa menopang tubuhnya dengan ke dua tangannya, ia bangkit dan terus mencoba berdiri meski harus berulang kali terjatuh. "Wah ... wah, La Rossa dengan julukan Manusia Tanpa Bayangan harus mengakhiri hidupnya hari ini dengan sangat tragis," cibir Komrad setelah ia menyeruak lingkarang anak buahnya dan masuk ke dalam lingkaran. "Kamu tentu senang bukan, melihatku seperti ini? Tapi tenang saja aku akan pergi menghadap iblis kematian tak akan sendirian, tapi akan membawamu serta," ucap La Rossa dingin dengan tatapan siap membunuh. Komrad yang mendapat tatapan seperti itu bergidik ngeri, ia yang mengenal La Rossa belum lama ini baru mengetahui bagaimana La Rossa. Sebelumnya pimpinan Vangsed adalah Arata Yazuko, ia dibunuh secar
"Apakah itu kamu?" tanya La Rossa ketika ia melihat bahwa yang membantunya adalah pria bertopeng perak. La Rossa merasa bahwa yang datang adalah Gilbert, hatinya merasa tersentuh. Tapi kemudian banyak pria bertopeng perak yang lainnya. Mereka datang menyerbu markas Vangsed. Mereka semua memakai topeng yang sama dengan tinggi badan yang sama bahkan bentuk tubuhnya pun sama. La Rossa yang awalnya merasa bahagia karena Gilbert membantunya seketika hatinya menjadi kecewa. Bahkan yang tadinya merasa terharu pun menjadi lenyap seketika. "Ternyata bukan kamu. Lalu mereka itu siapa? Kenapa membantuku?" batin La Rossa. Mereka menerjang membabat habis seluruh anak buah Komrad, bahkan tak menyisakan satu pun, ruangan sudah tak berbentuk, hancur berantakan. Anak buah Komrad mengerang kesakitan dengan masing-masing memiliki luka yang berbeda. "Mereka tidak membunuhnya?" gumam La Rossa, bertanya pada dirinya sendiri merasa heran. Padahal mereka mampu membunuh semuanya hanya dalam satu serangan
Mulutnya terus ngedumel tapi tangannya terus bekerja, membersihkan seluruh luka yang hampir memenuhi seluruh tubuhnya La Rossa. Profesor Huang mengerutkan keningnya ketika melihat semua luka La Rossa, ia berpikir. "Sungguhkah ia manusia?" Luka yang La Rossa dapatkan kali ini lebih banyak daripada biasanya, seharusnya ia sudah meninggal ketika mendapatkan begitu banyak luka dengan darah yang terus mengalir merembes dari tubuhnya. Namun, apa yang terjadi? Semuanya diluar nalar manusia. Profesor Huang mengerutkan dahinya hingga berkali-kali lipat hingga menghitam, dalam hatinya ia membatin, 'apa penelitiannya berhasil?' Tapi ia kemudian ragu, sejauh ini penelitiannya bahkan selalu gagal. Jauh dari ekspektasinya. Ia tak mau menduga-duga, "aku harus memastikannya terlebih dahulu," batin Profesor Huang. "Apa kabarnya bandot tua itu?" tanya Profesor Huang pada La Rossa. "Siapa yang kamu maksudkan? Apa Jhonny?" balik tanya La Rossa. La Rossa sedikit mendesis kala lukanya mendapatkan bebe
Mereka saling tatap dan saling mengunci tatapannya, tak ada yang mau mengalah. Mereka semua adalah orang-orang hebat di bidangnya masing-masing, tapi sedetik kemudian mereka tertawa bersama. "Ha ... ha ... ha ...," mereka tertawa bersama, terlihat begitu bahagia. Bagaikan tak ada beban, lepas. Bebas. La Rossa menarik nafasnya berat, ia menghembuskannya dengan kasar. "hmmffpp," "Aku akan mentransfer uangnya. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan, buat hidupmu bahagia dengan melakukan apa yang kamu senangi. Jangan lupa kabari Bandot Tua Jhonny setelah kamu sampai di Kalimantan dan temui dia," "Aku akan memberikan alamatnya, ingat! Jangan lupa temui sahabatmu itu," ancam La Rossa. "Iya ... iya! Cerewet," ketus Profesor Huang. "Terima kasih," ucap La Rossa sambil memeluk tubuh tua Profesor Huang. "Jangan terlalu di paksakan jika sudah tak mampu lagi, aku tak mau kehilangan lagi orang-orang yang aku sayangi," bisik La Ros
Gerakan pria bertopeng itu begitu cepat dan tiba-tiba, hal itu membuat La Rossa langsung terduduk di pangkuannya. Mata La Rossa membola penuh. Ia membeku dalam pangkuan pria bertopeng. Cukup lama ia untuk mengumpulkan kesadarannya. Jantung La Rossa berpacu cepat, ini kali pertamanya untuk La Rossa berinteraksi dengan seorang pria di luar dari tugasnya. La Rossa memalingkan wajahnya ketika ia menyadari bahwa dirinya tengah duduk di pangkuan pria bertopeng. Wajahnya sudah merah padam menahan rasa malu, ia mendorong dada pria bertopeng itu, namun sia-sia saja. "Dari mana kamu?!" tanya Pria Bertopeng penuh penekanan. "Bukan urusanmu!" ketus La Rossa tak kalah dingin. "Akan menjadi urusanku jika itu berkaitan denganmu!" tegas Pria Bertopeng. La Rossa terdiam, ia mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Pria Bertopeng itu. "Apa maksudmu?" rasa penasaran membuat Lla Rossa memilih untuk bertanya. Pria Bertopeng itu membuka topengnya, terlihat jelas sebelah wajahnya yang rusak. Matanya
La Rossa membeliakkan matanya tak percaya, ia benar-benar tak menyangka kalau Gilbert berani menciumnya. Lama Gilbert memagut bibir La Rossa, sementara itu jantung La Rossa berdegup kencang. Ini adalah ciuman pertamanya yang di renggut paksa oleh Gilbert tanpa seizinnya.La Rossa mendorong dada Gilbert, nafasnya tersengal-sengal. Gilbert melepaskan pagutannya. Ia menangkup wajah La Rossa dengan kedua tangannya, ia menatap mata La Rossa."Apa yang terjadi?" tanya Gilbert."Maksudmu?" La Rossa balik bertanya."Dua puluh tahun yang lalu?" sambung Gilbert, ia penasaran dengan tragedi yang menimpa La Rossa."Entahlah, aku pun tak tahu! Yang aku ingat hanyalah tato yang ada di punggung lengan orang itu," angan La Rossa melayang mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.Tiba-tiba kepala La Rossa sakit. Ia menahan rasa sakit dikepalanya dengan meremas kuat rambutnya dengan kedua tangannya. La Rossa menjenggut rambutnya, wajahnya meringis m