When those you trust betray you, trading your freedom to settle their debts, you’re thrust into a world you never imagined. That’s how I found myself entangled with Damian—a man whose life is steeped in authority, peril, and hidden truths. As I navigate this unchosen path, I sense layers of my fate yet to be unveiled. The deeper I delve, the clearer it becomes: control is slipping through my fingers. And Damian? He is far more formidable than I ever anticipated… But is he truly my adversary, or could he be something else entirely?
View MoreYoumna menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahirannya, setelah melewati tujuh tahun menganyam pendidikan di Jerman. Terhitung masa SMA dan kuliahnya Ia habiskan di sana bersama dengan nenek dan kakeknya.
Udara yang ia rindukan, pemandangan yang telah banyak berubah sejak ia meninggalkan Jakarta, serta jalan yang punya banyak kenangan untuknya.
"Damn it!" Youmna mengumpat pengendara mobil yang melintasinya dengan kecepatan tinggi hingga air hujan yang ada di jalanan mengenai tubuh dan pakaian dengan kuyup. Dan ia sadari hal yang tidak pernah berubah dari kampung halaman adalah kebiasaan orang-orang yang berkendara seperti pembalap di jalan umum terlebih lagi anak muda. Pemuda yang mengendarai mobil tadi berhenti dan meminggirkan mobilnya, "Sorry!" suara pria itu dari kejauhan. "Sorry, sorry!" umpat Youmna sambil membersihkan pakaian dengan tangannya. "Terus mau lu apa, gua kan udah minta maaf!" "Ma ...." perkataan Youmna terhenti ketika Ia melihat siapa yang kini ada di hadapannya. Kai Kavindra Ataya, Pria yang hidup di masa lalunya, pria di balik jendela yang pernah ia jadikan pemain utama dalam tontonan jendelanya. "Youmna!" "Rupanya kamu masih mengenalku?" pikir Youmna dalam kepalanya. "Youmna Sasmita 'Kan?" Youmna masih tak bergeming menatap pria yang ada di hadapannya, nyata! "Cara minta maaf itu, nggak gitu!" "Tapi yaudahlah ya. Gua udah dijemput!" Youmna meninggalkan Kai yang masih berdiri menatapnya, berdiri tanpa berkedip sampai Youmna masuk ke dalam mobil pribadi yang telah menjemputnya. "Itu siapa, Dek?" tanya Yardan; kakak laki-laki Youmna. "Orang nggak jelas!" Dengan wajah yang kesal. "Kok kamu kotor gitu sih, kaya comberan." Dengan nada Yardan yang mengejek. "Ihss, kesel lah, ya Allah. aku baru sampe." "Kenapa kok bisa?" tanya Yardan dengan serius. "Udah jalan ajalah, Bang!" pinta Youmna tanpa tanya. Youmna menatap jalanan yang ia lewati di balik jendela mobil, dengan tatapan keluar dan kepala sedikit menyandar. Mengingat kisah waktu SMP, di mana rutinitas di sekolahnya dahulu adalah menatap dunia dari balik jendela sekolah. Youmna selalu datang pagi hari sebelum teman-temannya datang, bisa dibilang ia selalu menjadi orang pertama yang memasuki ruang kelasnya. Bila tidak ada jadwal piket maka hal yang akan ia lakukan adalah berdiri di kursinya yang bersampingan dengan jendela lalu melihat keluar. Dengan kelas yang berada di atap lantai dua itu, ia mampu melihat hal-hal yang menarik dan membuatnya tersenyum, seperti indahnya langit yang berwarna biru disertai matahari dan awan yang bergumpal, lapangan sekolah yang hijau, hilir mudik kendaraan serta aktifitas siswa-siswi yang tidak pernah bosan untuk dilihat. Pasangan-pasangan yang curi pandang ketika baru jadian, beberapa cowok yang familiar akan duduk di depan pos yang bersampingan dengan gerbang sekolah dan siap menggoda setiap siswi cantik yang datang, beberapa cewek ber-genk yang duduk di taman yang sedang asyik bergosip dan ada juga gerombolan cowok yang asyik main basket di lapangan sambil menunggu bel berdering. Kegiatan yang menyenangkan untuknya, seperti menonton film tanpa alur yang jelas, dia mampu menikmatinya tanpa harus berpikir keras. Selalu ada sosok yang ia nantikan masuk dari pintu gerbang sekolah, iya. Dia, Kai Kavindra Ataya, pria yang baru saja mengotori pakaiannya. Pria jangkung sedikit berisi dengan kulit putih bersih, dan rambut hitam lurus agak panjang seperti oppa-oppa Korea itu telah lama menjadi pemeran utama dalam televisi jendelanya. Menjadi objek yang selalu ia nanti-nantikan setiap pagi di sekolah, namun keadaan berubah saat suatu insiden terjadi dan mematahkan hati Youmna. Youmna dikenal sebagai gadis yang culun di sekolah, gadis yang tak pernah jauh dari buku, kacamata, dan jendela. Hampir setiap hari Ia tak pernah keluar dari kelasnya, bahkan ke kantin pun bisa dihitung oleh jari dan teman yang ada di dekatnya pun tidak banyak, mungkin hanya dua atau tiga orang dan kesemuanya itu sama; sama-sama kutu buku. Youmna memiliki ibu yang sangat rajin sehingga Ia selalu dibawakan bekal oleh Yanti untuk makan siangnya di sekolah serta memiliki ayah dan kakak yang sangat mencintai dan menyayanginya. Ayahnya, Bagas selalu siap sedia untuk menjadi supir untuk putrinya tercinta. Kebahagiaan keluarga yang sempurna yang hanya bisa dimiliki oleh sebagian orang saja, rasa syukur yang luas yang harus selalu Youmna hadirkan setiap detiknya. "Ayah udah sembuh belum, Bang?" Youmna mengigat bahwa Bagas jatuh sakit dua hari kemarin sebelum kedatangannya pulang. "Alhamdulillah, udah mendingan kok." Syukur Yardan. Youmna kembali lagi dengan kegiatannya menatap jalanan dari balik jendela, kini Ia jumpai kemacetan. Klakson para pengendara yang berbunyi terus-menerus serta para pengendara motor yang menerobos tidak sabaran. Cuaca pun tak kalah panas dengan suasana kemacetan ini."Semua itu ada kurang dan lebihnya ya, Bang?" tanya Youmna sambil menatap diluar jendela. "Iya. maka kita dianjurkan untuk selalu bersyukur." Senyum Yardan. "Yang naik motor bisa cepat tapi resikonya kepanasan dan kehujanan, nah kalo naik mobil nggak kepanasan dan kehujanan tapi lama kejebak macetnya," lanjut Yardan. Terlahir dari keluarga yang religius membuat mereka dididik dengan nilai-nilai agama yang kuat, serta adab di atas ilmu. Namun, satu hal yang belum bisa Youmna lakukan untuk Bagas yaitu memakai jilbab. Entah kenapa itu belum bisa ia lakukan meskipun niat sudah ada. "Bang, ayah marah nggak ya kalo liat Youmna belum pake kerudung?" Yardan menatap Youmna dalam, mencoba merasakan kekecewaan Youmna dari balik mata indahnya, "Kenapa kamu nggak pake?" Youmna terdiam, Ia tidak bisa menjawab alasan yang konkret kenapa Ia belum bisa memakainya? "Kalo ayah nyuruh kamu, berarti itu yang terbaik buat kamu, Dek. Sebelum kamu menikah surga ada di kedua orang tua kita," tegas Yardan. Yardan tahu posisi menjadi Youmna, sebenarnya dalam hati yang paling dalam Yardan pun menginginkan Youmna menutup dirinya dengan sempurna tapi Yardan pun tidak bisa memaksa, Ia hanya berusaha menyakinkan Youmna dengan perlahan dan penuh kasih sayang, meski saat ini Youmna tidak pernah memakai baju yang sexy jika keluar rumah. Youmna memahami perkataan Yardan dengan sangat baik, ia sebenarnya sadar dengan semua yang dia lakukan itu sebenarnya telah mendurhakai Bagas sebagai kepala keluarga namun, Ia pun tidak bisa memaksa dirinya. "Udah. Jangan dipikirin, dijalanin aja ya." Kembali lagi mobil mereka berhenti kali ini bukan terjebak macet namun, karena lampu merah. Lamunan Youmna mengembang ketika seorang anak kecil berdiri di hadapan kaca tepat di depan matanya, dengan wajah memelas dan tampilan yang lusuh Ia berkata, "Mbak sedekahnya, Mbak!" Youmna menurunkan kaca jendelanya dan dengan sigapnya anak kecil menyodorkan sebuah kantong plastik bekas permen yang telah disulap sebagai tempat untuk menyimpan uang sedekah para dermawan. "Orang tuamu ke mana, Dek?" "Di rumah, Mbak." "Kamu sekolah nggak?" "Nggak!" "Jadi cari uang buat apa?" "Buat bantu orang tua, Mbak." Youmna memberikan uang pecahan dua puluh ribu ke dalam tempat yang adik itu sodorkan kepadanya dan tak lupa juga Ia memberikan dua buah roti yang ia bawa dari Jerman kepada adik itu."Kamu juga harus makan, jangan cari uang terus ya. Bilang sama emakmu, 'Mak aku mau sekolah!'" ucap Youmna sambil mengelus kepala gadis kecil tadi. "Kamu itu Dek. Nggak pernah berubah." Yardan tersenyum melihat tingkah Youmna yang masih sama. "Sejahat-jahatnya orang tua, pasti mau yang terbaik buat anaknya!" "Terus yang tadi baik?" Youmna menggelengkan kepala serta menaikkan kedua bahunya maybe yes maybe no!Chapter Six: Weakness Lena's Pov The interior of the car was as silent as it could get, the kind of silence that amplifies every unspoken word and unshed tear. My hand still tingled from where Damian had gripped it, pulling me away from Sophia's house with an urgency that left no room for questions. Now, it lay motionless in my lap, a stark contrast to the turmoil brewing inside me. I couldn't tell if the trembling was from residual reaction of the confrontation or from the thick tension that wafted from Damian. His jaw was clenched so tightly that the muscles fluttered beneath his skin, and his hands gripped the steering wheel with such force I feared it might snap under the pressure. His gaze was fixed on the road ahead, eyes narrowed as if the asphalt had personally offended him. The intensity of his demeanor made me shrink back into my seat-a futile attempt at creating distance in the confined space. I wanted to break the silence, to ask him about the men who had appeared
Chapter Five Damian’s Perspective The atmosphere in the room was thick with unease as I clasped Lena’s delicate hand, her fingers trembling slightly within my grasp. I was determined to extricate her from this oppressive environment—away from Sophia and the escalating turmoil that threatened to engulf us. My mind raced, strategizing our escape, when my gaze inadvertently drifted to the expansive, ornately framed window overlooking the driveway. I stopped in my tracks as a sleek, black sedan drew to a halt outside. The familiarity hit me like a hammer blow. All too well did I know the car and the man it bespoke. The doors opened as one, and three men spilled out. They moved with deliberate calculation, sans tailored suits or obvious weaponry, yet exuding an aura of threat. It was in their posture-the predatory assurance, the faint, smug smiles-that put my teeth on edge. My opponent. Victor Moretti. What was he doing here of all places? My hold on Lena's hand tightened in
Chapter Four: Confrontation Damian's Perspective The muffled murmurs of voices made their presence known as I walked down the dark corridor toward Sophia's room, a cacophony marring the night silence of the mansion. The door stood open but a crack, an invitation of sorts. I stopped for a moment, gritted my teeth, expecting chaos but finding myself unprepared for what was to come. Entering, the sumptuous décor of the room did little to mask the tangible tension in the air. Sophia stood erect beside the grand four-poster bed, her body tense, arms crossed over her chest in an imperious display of authority. Her eyes, hard and unforgiving, rested on Lena, who sat on her knees submissively beside an ornate laundry basket. The image evoked an anger within me, clenching deep within my chest. "Get it together," Sophia's voice cut through the silence, thick with malice. "You're here to serve, aren't you? Then do it properly." My hands clenched at my sides, the knuckles whitening under the
Chapter 3: The New Arrival Damian 's POV The soft light of the bedside lamp cast long shadows across the room, accentuating the richness surrounding me. I leaned back against the plush pillows, my fingers drumming a rhythmic pattern on the silk sheets. Beside me, Sophia lay gracefully, her presence a familiar comfort. Yet, despite her allure, my thoughts were consumed by another. Lena. Her memory haunted me: the flash of her eyes in terror and defiance, the slight quaver in her voice. Since the last time we met, she had been an unwanted visitor in my mind-a puzzle begging to be unraveled. There was this inexplicable tug, this curiosity that needed satiation. Sophia's voice cut through my reverie, her melodic tones recounting tales I'd heard a thousand times before. I gave her a distracted smile, my attention drifting toward the door, anticipation coiling within me. A discreet knock interrupted the ambiance. One of my trusted men entered, his posture respectful yet alert. I nodded
Chapter Two: The Devil's Lair Lena's POV The room was a far cry from the grandeur of the mansion's exterior. Small, cold, and suffocating, it felt more like a prison cell than a bedroom. A single dim light bulb hung from the ceiling, flickering intermittently and casting eerie shadows that danced on the cracked, peeling walls. This was only a thin, lumpy mattress laid on a rusted metal frame with scratchy, threadbare sheets. The air was thick with damp and a metallic tang I couldn't place. I sat on the edge of the bed, drawing my knees up and hugging them to myself, trying in vain to still the relentless shaking that had seized my body. My mind was reeling with questions, one more unbelievable than the other. Why am I here? What does Damian want from me? How did my life spiral into this nightmare? The sound of footsteps down the hall yanked me out of my spiraling thoughts. My heart rammed into high speed, my body tensed, as the heavy wooden door creaked open. A hulking figure- one
Chapter One: Bound to the Beast Lena's POV The air in the room reeked of sweat, smoke, and stale liquor. The heat in the room felt suffocating, thick and heavy, and made it hard to breathe. My wrists burned where the rope bit into my skin, a cruel reminder that I wasn't here by choice. Around me, a sea of men loomed, their stares crawling over me like insects, cold and predatory. I bit the inside of my cheek, forcing down the panic rising in my stomach. Crying wouldn't help. Begging wouldn't change a thing. "She's the payment," a rough voice called out from behind my back. The words sounded like the sentence of a judge-final and absolute. A debt I didn't owe. A price I never agreed to pay. Heavy tension; silence fell, and then another voice-a total contrast to the first-fell. Smooth, controlled, dangerously cold. "And you expect me to take this?" A shiver traced its path up my spine. It was not the words in themselves but how he issued them-for him, my entire existence was nothin
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments