Suasana meriah menghiasi pondok Al-Hikam. Para santri lalu lalang menyiapkan segala sesuatu untuk resepsi pernikahan putra bungsu Abah Ilyas. Umi Aisyah dan Caca juga dari tadi mondar mandir mengurus segala sesuatu. Sedangkan Abah Ilyas dan Azzam sibuk menyambut para tamu yang datang.
Pukul sembilan, acara resepsi dimulai. Pengantin baru sudah memasuki pelaminan. Decak kagum terlontar dari para tamu undangan melihat pasangan pengantin yang serasi sekali.
“Al-Hikam itu kayaknya seneng banget ya nyari jodoh dari kalangan bukan ning. Dari Mulai Abah Ilyas, Gus Azzam terus sekarang Gus Azmi,” ucap salah satu bu nyai yang hadir.
“Kalau calonnya bagus ya gak masalah, toh sudah terbukti kualitas Bu Nyai Aisyah sama Ning Caca. Gak kalah bagus loh sama yang asli ning,” celetuk yang lain.
“Iya, kalau gak salah sekarang semua aktivitas pondok putri dihandel sama Ning Caca. Kalau Gus Azzam ngurus yang pondok putra.”
“K
Genap dua bulan usia pernikahan Azmi dan Jenar. Keduanya begitu bahagia, walau namanya rumah tangga pasti ada masalah, tetapi keduanya masih bisa mengatasi masalah tersebut.Hari ini berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Azmi kini sedang berkutat di kantornya. Dia sedang memeriksa laporan keuangan ketiga studio fotonya. Saat sedang fokus, pintu kantornya diketuk.“Bos.” Alfin membuka pintu ruangan bosnya.“Ya.”“Ada tamu ... aduh!” Alfin mengaduh karena tubuhnya didorong dengan keras oleh Yasmin.Yasmin datang sendirian. Azmi menatap Yasmin datar.“Mas, aku mau ngomong berdua aja.” Yasmin tanpa permisi langsung duduk di kursi yang berseberangan dengan Azmi.“Oke kita bicara. Alfin duduk!” Alfin duduk pada sofa mengikuti perintah bosnya.“Aku mau bicara berdua aja Mas, bisa gak pegawai kamu pergi dulu!”“Bertiga atau gak sama sekali,
Jenar baru saja keluar dari ruang dosen. Alhamdulillah proposal skripsinya di ACC. Semua ini tak akan terjadi kalau bukan karena bantuan suami dan kakak iparnya, Caca. Dengan senyum bahagia, Jenar keluar dari gedung fakultas. Sampai di lobi, dia berpapasan dengan Caca.“Je.”“Nggih, Mbak.”“Mbak mau ada acara pengajian, nanti minta tolong sesekali tengokin Quila ya.”“Siap, Mbak.”“Oke, Mbak duluan. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Caca berlalu dari hadapan Jenar, sedangkan Jenar berjalan menuju ke kelasnya yang akan dimulai lima belas menit lagi.***Jenar baru saja membaca chat dari sang suami. Azmi mengabarkan dia harus ke Bumiayu untuk mengecek studio photonya di sana. Dan akan pulang telat. Jenar membalas pesan sang suami dan memintanya untuk berhati-hati.Jenar segera berjalan dan hendak m
Azmi sedang mengamati sang istri, sejak tadi pagi sikap istrinya aneh. Jenar lebih banyak diam dan melamun. Bukan Jenar banget. Tak tahan melihat istrinya terlihat sedih. Azmi mendekati sang istri dan memeluknya.“Dek.”Jenar kaget karena mendapati dirinya dipeluk oleh Azmi.“Mas, sudah pulang dari pondok putra?”“Sudah dari tadi. Kamu kenapa hem? Mas salam dari tadi gak kamu jawab.” Azmi menciumi kening Jenar berkali-kali.“Gak papa Mas, mungkin Jenar capek aja.”Azmi melepaskan pelukannya dan menatap Jenar dengan seksama. Dipandanginya wanita pujaan hatinya dengan teliti. Memang belakangan ini wajah Jenar terlihat lelah, tapi senyum selalu merekah di bibir tipisnya. Tapi pagi ini terlihat sekali jika Jenar sedang tidak baik-baik saja.“Kamu sakit?” tanya Azmi dengan mimik muka khawatir.“Enggak Mas. Cuma capek aja.”“Kita ke dokter ya?”
Hari ini, Azmi berencana ke Jogja untuk melakukan monitoring studionya di Jogja. Dia sengaja membawa Jeje, sekalian honeymoon lagi ceritanya. Kali ini Azmi memastikan tidak akan ada gangguan karena ketiga keponakan gantengnya lagi liburan ke Kebumen. Hahaha. Yes, dalam otak Azmi sudah berseliweran berbagai strategi dan gombalan buat menyenangkan istri ayunya.“Kita langsung ke studio, Mas?”“Iya. Habis itu kita sewa hotel dan nginap tiga hari di sana. Ya ya ya.” Azmi menaikkan alisnya dan tersenyum penuh makna.Jenar sendiri sudah salah tingkah. Pipinya menghangat, tentu dia paham arti perkataan sang suami. Azmi tertawa lalu mengelus pipi kanan sang istri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya fokus pada kemudi.Mereka sampai di Jogja pukul sepuluh pagi. Azmi langsung membawa Jenar ke studionya dan memperkenalkannya dengan Nita dan Didi. Kedua sahabat sekaligus orang kepercayaan Azmi kini sudah menikah dan p
Kyai Yunus dan Gus Yahya baru saja sampai di Pondok At-Taubah di kota Jember. Mereka sengaja mengunjungi pondok yang diklaim Yasmin sebagai tempatnya mondok demi memperbaiki diri.Sampai di sana, Kyai Yunus dan Gus Yahya merasa sedih sekaligus malu. Rupanya Yasmin telah membohongi mereka. Hampir satu jam Kyai Yunus dan Gus Yahya bertamu kemudian mereka pamit kepada pengasuh pondok.“Yahya.”“Nggih, Bah.”“Telepon Yasmin.”“Nggih.”Yahya langsung menelepon adiknya. Setelah panggilan kelima akhirnya Yasmin mengangkat telepon dari sang kakak.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam, Mas. Ada apa?”“Kamu dimana?” tanya Yahya.“Yasmin di pondok, Mas.”“Pondok mana?”“Ya ampun, Mas. Yasmin, kan, udah bilang Yasmin mondok di pondok At-Taubah Jember,” jawab Yasmin
Yasmin menunduk mendengarkan wejangan abahnya. Setelah hampir seminggu tidak mengindahkan panggilan sang abah. Tadi padi dia dijemput sendiri oleh Yahya di Purwokerto. Yasmin tidak bisa berkutik, akhirnya dia ikut masuk ke dalam mobil.Kini, hampir satu bulan Yasmin berada di rumah. Setiap hari tingkah lakunya diamati oleh keluarga. Bahkan sang abah sengaja meminta para santri untuk ikut mengawasi Yasmin. Yasmin tidak diperbolehkan keluar rumah. Baru hari ini dia bisa keluar pun bersama kakak iparnya.Mereka baru saja mengunjungi salah satu mall terbesar di Jojga. Wajah Yasmin sedikit berwarna karena bisa keluar rumah dan refreshing. Sungguh selama hampir sebulan ini dia merasa tertekan.“Loh, Yasmin.”Yasmin menoleh, terlihatlah Kania salah satu teman kuliah Yasmin dulu sedang berjalan bersama Dewi, temannya juga.“Hai, Yas. Sama siapa?” tanya Dewi.“Owh, kakak ipar dan keponakanku
Azmi gelisah, dari tadi dia mondar-mandir sambil sesekali mengecek ponselnya. Saat dia pulang, dia tidak mendapati Jenar di rumah. Azmi semakin gelisah ketika dia ke kampus, ternyata Jenar tidak ada. Hanya motornya saja yang masih ada di parkiran.“Kamu kemana sih, Je?”Umi Aisyah dan Caca pun tak kalah cemas. Firasat kedua wanita itu tiba-tiba tidak enak.“Jeje kemana ya, Ca?”“Mboten ngertos, Umi. Tadi Caca, kan, gak ada jadwal di kampus. Seharian Caca di SMA.”“Duh, firasat Umi kok gak enak ya.”“Kita berdoa saja Umi. Semoga Jeje baik-baik saja.”Sebuah dering telepon mampir ke ponsel Azmi. Azmi melongoknya dan tertera nama Ning Hafsah. Ingin sekali Azmi tak mengangkatnya. Tapi karena Ning Hafsah berkali-kali meneleponnya, dengan enggan Azmi pun mengangkatnya.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam. Gus, bisa njenengan
Seorang wanita sedang duduk di sebuah batu. Kedua kakinya sengaja ia celupkan pada aliran sungai bening. Berharap dinginnya air mampu membekukan kegundahan, kesedihan dan amarah yang ia rasakan. Alifah sesekali beristighfar.“Ning, sudah sore. Ayok pulang,” ajak Mbok Rondo. Pengasuh yang mengasuh Alifah sejak kecil.“Sebentar lagi, Mbok.”Mbok Rondo hanya mengangguk. Beliau paham kegundahan Alifah. Dalan hati Mbok Rondo, dia selalu berdoa demi kebaikan anak kyai yang diasuhnya itu. Berulang kali dia sudah menasehati Alifah untuk melepas Arif, tapi Alifah tidak mau.Suara dua orang yang sedang bercanda dan tertawa mengalihkan perhatian Alifah dan Mbok Rondo. Keduanya melihat dari kejauhan, dua muda mudi sedang bercanda sambil bermain air. Muda mudi itu tampak bahagia.“Mas ... udah, ah! Hahaha.” Jenar tertawa dan berusaha menghindari Azmi yang sedang menciprati tubuhnya dengan air.“Mas ... capek.&rdq