"Bang Muis, pesan baksonya dua mangkuk ya." kataku pada bang Muis si penjual bakso langganan ku.
"Siapp non Reva," jawabnya seperti biasa dengan semangat yang luar biasa.
Aku duduk di kursi plastik yang memang di sediakan bang Muis setiap kali ada pembeli yang ingin makan disini. Bang Muis memang biasa mangkal di sekitaran sini, sayangnya satu kesalahan bang Muis yaitu tidak menyediakan tenda untuk para pembeli. Jadi, ketika makan kita akan langsung di suguhkan pemandangan langit di atas.
Setiap kali aku ingin makan bakso, maka pelarianku adalah bang Muis. Pria dengan postur tubuh berisi dan tidak terlalu tinggi ini sangat ramah sekali, kulit sawo matang yang hampir mendekati busuk itulah yang semakin menambah daya eksotis dan ciri khasnya.
Kata orang, orang hitam itu manis. Ya mungkin itulah sebabnya, hitamnya bang Muis bekerja.
"Bos, duduk disini." kataku menepuk kursi satu lagi yang ada di sampingku.
"Tidak ada tempat duduk ya
Haaciimmm.Reva melirik Artan yang terus bersin-bersin sedari tadi."Maafkan aku," ucap Reva merasa tak enak, sebab karena dirinyalah Artan jadi terkena flu.Artan tak menanggapi Reva, ia lebih memilih tetap fokus menyetir menatap jalanan.Reva menggigit bibirnya, merasa tak enak hati pada Artan. Padahal Reva sudah meminta maaf, tetapi Artan sama sekali tak mau menjawabnya."Bos, marah ya?" tanya Reva takut-takut."Tidak!""Terus kenapa diam saja bos? Aku kan udah minta maaf." kata Reva menundukkan kepalanya lesu."Memang kamu salah apa sampai harus minta maaf?" tanya balik Artan."Ya karena aku bos jadi flu gini, kalau saja tadi kita tidak makan bakso di tempat bang Muis, pasti kita gak kejebak hujan kayak gini." Reva menunjuk ke arah bajunya yang basah."Hhh, sudahlah jangan dibahas. Sekarang aku hanya ingin cepat sampai pulang ke rumahku setelah mengantarkanmu pulang." Artan merasakan hawa dingin ya
Johan menyimpan kembali ponselnya setelah selesai mengubungi Reva, ia melompat kegirangan karena berhasil membuat Reva panik saat mendengar kabar jika Artan sedang sakit."Pasti sebentar lagi dia akan datang," tebak Johan tersenyum bahagia.Johan memilih duduk di sofa ruang tamu rumah Artan, mulutnya bersiul gembira karena akan mempertemukan dua sejoli yang kerap kali adu mulut ini.Melihat Artan dan Reva ketika bersama seperti film kartun Tom and Jerry, film kartun kesukaan Johan sampai saat ini.Artan seperti Tom yang selalu gemar mengejar Jerry, dan Reva seperti Jerry yang begitu cerdas mengerjai serta mengelabui Tom.Pikiran Johan terus berputar saat pertemuan Artan dan Reva yang untuk pertama kalinya. Dari awal pertemuan mereka memang sudah terlibat adu mulut, tapi, entah kenapa Johan suka melihat mereka saat bersama.Apa mungkin mereka berjodoh? pikir Johan.Jika ya, maka Johan akan sangat senang sekali. Jika tidak, mungkin mere
Reva menuang air dingin ke dalam wadah, kemudian ia membawa wadah berisi air dingin itu ke dalam kamar Artan.Di letakkannya wadah itu di nakas samping ranjang, kemudian mata Reva melihat ke segala arah seperti sedang mencari sesuatu."Cari apa?" tanya Johan masuk ke dalam kamar Artan."Pak Jo, ada sapu tangan bersih tidak?""Sapu tangan?" Reva mengangguk.Johan merogoh saku jasnya, mengeluarkan sapu tangan miliknya dan memberinya pada Reva."Ini sapu tangan milikku, kebetulan aku suka membawanya kemana-mana." ujar Johan bercerita.Reva menerima sapu tangan itu dengan senang, ia langsung mencelupkan sapu tangan ke dalam wadah berisi air dingin. Reva peras air dingin itu sampai kering lalu ia tempelkan di dahi Artan.Johan salut dengan Reva yang cekatan langsung mengambil tindakan mengompres dahi Artan, suhu tubuh pria itu panas tapi syukurlah tidak demam tinggi."Pak Jo, jagain bos Artan ya, aku mau ke dapur sebent
Aku menahan tawa melihat raut wajah Mak comblang itu yang kini merah padam, Reva mencak-mencak marah memprotes syarat yang aku ajukan. Syarat apabila aku menyetujui memakan bubur buatannya.Padahal selama ini aku sangat benci dengan yang namanya bubur. Selain teksturnya yang lembek, rasanya juga tidak enak. Entahlah, itu menurutku, makanya aku tidak pernah mau makan yang namanya bubur."Bos gila!" rutuknya mengumpati aku gila."Aku tidak bisa melakukannya, dan itu tidak mungkin aku lakukan." sambungnya lagi masih tidak terima dengan persyaratan gilaku."Ya sudah, aku tidak keberatan jika kau menolaknya. Dan buang saja bubur itu, aku juga lebih senang tak memakan apapun disaat sakit seperti ini." desahku pelan dengan suara lirih.Ku dengar ia menghela nafas panjang dan berat, mungkin itu tanda jika ia frustasi dan dilema dengan pilihan yang sengaja ku buat.Menyetujui persyaratan itu, atau menolaknya dengan catatan aku tidak akan mau memakan
Ingin ku maki Johan yang mengintip aksiku bersama Reva di balik pintu kamarku. Oh, astaga! Kenapa aku melupakan mahluk satu itu yang ternyata masih di rumahku.Ku hentikan Reva yang kembali ingin menyuapiku bubur dengan mulutnya, ku dengar helaan nafas lega Reva."Johan mengintip kita," ucapku pelan nyaris berbisik.Kedua bola mata Reva membulat besar, menatap horor ke arahku. Bukannya takut, aku malah terkekeh melihatnya yang seperti itu. Hei, ayolah, wajahmu itu malah semakin terlihat menggemaskan."Berhentilah mengintip, dan keluarlah dari persembunyianmu Jo." teriakku agar mahkluk tukang intip itu keluar dari sarang persembunyiannya.Johan membuka pintu kamarku sambil nyengir cengengesan, ia menggaruk tengkuknya yang ku tebak pasti tidak gatal sama sekali. Reaksi yang sering rata-rata pria lakukan ketika kami sedang gugup."Oh, maafkan aku, tadinya aku hanya ingin berpamitan pulang padamu bos. Tapi, aku malah melihat yang uwowww!"
"Apakah pria itu masih lama datangnya?" tanya mbak Niken padaku.Ah ya, mbak Niken ini adalah wanita yang akan menjadi kandidat kedua untuk bos Artan. Aku harap kencan kali ini berhasil agar bos Artan bisa mendapatkan keinginannya lewat jasa kami sebagai Mak comblang."Sebentar lagi akan sampai kesini kok, mbak. Mbak tenang saja dan santai, ok!" kataku agar ia sedikit tenang.Aku tahu, ia gugup saat ini. Tentu hal ini wajar bagi seseorang yang ingin bertemu dengan lawan jenisnya untuk yang pertama kalinya.Aku sebagai Mak comblangnya pun juga ikut dapat merasakan suasana gugup itu. Jadi, pekerjaanku dan teman-temanku yang lainnya tak hanya asal sembarangan mencarikan pasangan saja untuk klien kami. Tapi, kami juga memikirkan bagaimana perasaan mereka yang gugup, menenangkan mereka setenang mungkin agar kencannya berhasil."Aku sudah sangat tidak sabar ingin bertemu secara langsung dengannya." ucap mbak Niken tersenyum padaku.Aku menganggukk
"Ternyata kamu memang suka hujan ya, dasar pecinta hujan." katanya seraya menoel hidung mancungku.Aku membelalakkan mataku masih tidak percaya dengan kehadirannya. dia ada disini?!"A—Aldy." panggilku lirih, sedikit kecewa karena ternyata yang ku harapkan tak sesuai kenyataan.Tiba-tiba diriku mengharapkan jika Artan mengacaukan kencannya kali ini dengan mbak Niken. Aku berharap saat ada seseorang yang memayungiku saat ini adalah Artan yang menyusul kepergianku.Tapi keinginan hanyalah tinggal harapan semu, kenyatannya bahwa saat ini yang memayungiku dari air hujan adalah Aldy, sahabatku."Kenapa? Kaget ya ada aku disini?" tanyanya tersenyum.Tunggu! Sejak kapan Aldy merubah panggilan di antara kami yang awalnya lo gue jadi aku dan kamu?"Nanti akan ku jelaskan, sekarang ayo kita pulang." ajak Aldy meraih tanganku dan menggenggamnya erat.Aku yang masih belum berpikir jernih pun mengikuti langkahnya, dan masuk ke d
Mobil Aldy berhenti di warung ceker pedas milik bu Asna, tempat favorit kami ketika ingin makan ceker pedas. tak hanya ceker saja, bu Asna juga menjual makanan lainnya seperti mie sop, bakso, dan lain-lain.Syukurlah hujannya mulai reda ketika kami sampai, aku dan Aldy jalan bersisian memasuki warung bu Asna.Ketika kami masuk, tak banyak para pengunjung yang datang. Mungkin karena bukan malam minggu kali ya.Aku dan Aldy memilih duduk di bangku pojokan, tempat yang memang kami sukai ketika datang kemari. Bu Asna yang melihat kedatangan kami pun menghampiri kami."Reva, Aldy, apa kabar?" tanya bu Asna memeluk tubuhku.Uhm, pelukannya seperti biasa. Pelukan seperti seorang ibu yang tengah memeluk anaknya, itu yang aku rasakan tiap kali bu Asna memelukku."Kami baik bu, ibu apa kabar?" jawabku sekaligus bertanya balik mengenai kabarnya."Ibu juga baik sayang," bu Asna tersenyum. Kemudian beliau beralih memeluk tubuh Al