terima kasih sudah membaca ya 🤗 jangan lupa tinggalkan komentar ulasan like vote 🔥 terimakasih ✨
Untuk pertama kalinya, Evan lalu mengenalkan Kayden pada ibunya. Mereka berhubungan baik sejak saat itu. Kayden menjadi donatur tetap untuk Maple Hearts, sekaligus memberi bantuan biaya pendidikan pada anak-anak yang tinggal di sana.Ia rutin berkunjung, setiap bulan, tak pernah terlewati.Di Evermore, Evan memiliki posisi yang lebih secure. Ia menjadi karyawan tetap, ditunjuk mendampingi Kayden, menjadi sekretarisnya, saat Kayden naik jabatan.Sikap Kayden, bukankah Evan tak perlu mempertanyakan seperti apa?Di tempat kerja, mereka bekerja secara profesional. Kayden berdarah dingin, tidak menoleransi kesalahan, dan perfeksionis.Evan dituntut untuk lebih naik level, bukan hanya sebatas staf biasa, ia harus sama cerdasnya seperti Kayden.Tidak pernah ada sesuatu di dunia ini yang berjalan secara mulus. Begitu juga dengan perjalanannya.Ia kerap dipandang sebelah mata, orang-orang yang lebih dulu bekerja di sana dan mengenal Kayden lebih awal meletakkan iri yang cukup besar padanya kar
Ibunya dilarikan ke rumah sakit. Dari saksi mata yang ikut ke sana, Evan mendengar bahwa beliau keluar malam itu untuk membelikan obat karena salah satu adik pantinya ada yang demam.Tapi dalam perjalanan pulang, seorang pria yang tengah mabuk mengendarai motornya tanpa aturan dan menabraknya.Setelah pertolongan pertama untuk membuat ibunya tetap bertahan hidup berhasil, masalah lain timbul.Biaya untuk operasi ibunya yang diklaim mengalami ruptur hati sangat mahal dan tidak bisa ditutupi oleh asuransi.Ibunya dibawa masuk ke ruang bedah saat Evan harus memikirkan bagaimana caranya ia membawa beliau pulang kelak.Setelah memberi tahu adik pantinya yang paling besar, Evan memandangi ponselnya. Dalam hati ia berpikir, 'Bagaimana kalau aku meminjam pada orang tua temanku?'Apa mereka akan memberi pinjaman? Mengingat jumlahnya yang cukup besar?Evan berhenti menggulir ponselnya. Di kursi tunggu di depan kamar bedah itu, ia yang seperti telah hilang arah melihat foto Kayden di berita yang
Saat Evan ceritakan apa yang didapatkannya hari ini, Ibu Joanna tak bisa membendung harunya. Beliau menyeka air matanya saat keduanya telah duduk di ruang tamu yang ada di panti asuhan, selepas pulang dari gereja."Syukurlah," ucap Ibu Joanna, tersenyum hangat dan keibuan seraya mengusap pipi Evan."Doa ibu dikabulkan, kamu mendapat kemudahan, Nak. Selamat ya?"Evan mengangguk, tentu ia tak menyebutkan perihal dirinya yang 'dibuang dan dikhianati' oleh teman-temannya pasca project itu selesai.Ia kabarkan saja hal yang bahagia pada Ibunya yang telah banyak memikul beban itu."Terima kasih, berkat doa Ibu juga aku dipertemukan dengan Tuan Kayden," balasnya. "Nanti, uang yang aku dapat dari kerja paruh waktu bisa untuk biaya sekolah adik-adik yang lain. Tahun ini Edo akan masuk SMA, 'kan?""Terima kasih kamu sudah mau membantu Ibu, tapi sisihkan juga untuk dirimu. Ibu masih bisa mendapatkan biaya untuk adik-adikmu. Semoga ke depannya ... tidak ada lagi yang perlu singgah di rumah ini, m
“Ya,” jawab Kayden dibersamai dengan anggukannya.Evan kemudian bangun dari duduknya di bawah kanopi halte, menundukkan kepalanya pada Kayden. Yang meski beberapa saat lalu Evan bisa mendengar tawa lirihnya dan sekian millimeter kedua sudut bibirnya terangkat, tapi wajahnya terlihat kaku. Seolah beberapa liter formalin baru saja dituangkan di sana.“A-apa yang ... Anda lakukan di sini?” tanya Evan, jujur saja ia bingung mengapa Kayden ada di sekitaran kampus dan menghentikan mobilnya.Saat itu Evan berpikir, ‘Tidak mungkin ‘kan kalau dia sengaja menemuiku?’“Menemuimu,” jawab Kayden, mematahkan keraguan yang baru saja bergulir di dalam hatinya.Jika sekarang Evan masih mengunyah gummy bear, ia bisa pastikan ia akan tersedak dan makanan manis itu tersangkut di kerongkongannya.“Me-menemui saya?” ulang Evan memastikan. “Memangnya Anda masih ingat siapa—““Evan.”Evan terangkat kedua alisnya, cukup terkejut bahwa Kayden masih mengingatnya dengan jelas.“U-untuk apa menemui saya?”“Bicara
Hari itu, ia sedang duduk di kafe bersama dengan beberapa temannya yang tergabung dalam satu tim project teknologi prototype VR yang dibeli oleh agensi besar kenamaan di Seattle, Evermore.Mereka seperti sedang merayakan keberhasilan dengan membeli sejumlah makanan di sana.Tidak ada hal yang aneh kecuali mereka, para pemuda yang senang karena usaha mereka dihargai dan dibayar dengan setara.Hingga sebuah ucapan datang dari meja di samping kanan mereka dengan celetukan yang membuat Evan dan tiga orang temannya seketika terdiam.“Kamu tahu yang mana yang namanya Evan Lee?” tanya salah seorang dari beberapa mahasiswa yang duduk di sana.“Tahu. Yang pakai kemeja hitam,” jawab yang lainnya.“Dia yatim-piatu yang besar di panti asuhan, aku pernah melihatnya pulang ke sana.”“Kenapa dia bisa diterima di kalangan anak orang kaya itu?”“Kenapa lagi memangnya? Karena dia tidak punya uang untuk melakukan penelitian. Jadi dia harus menumpang hidup pada anak orang kaya yang tidak punya bakat itu
Evan terus saja mengumpat seolah tak ada hari esok untuk melakukannya. Mungkin karena ia masih belum mendapat pelampiasan dengan menghantamkan tangannya pada Regan, ia mengumpamakan pria itu dengan berbagai macam benda.Tawa di basement parkiran itu pecah hingga Kayden meminta untuk membubarkan diri.Kali ini, Kayden tidak diantar pulang oleh Evan, melainkan oleh Mark.Kayden meminta Evan agar tidak menyetir sebab hatinya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Ia tahu betul bahwa kemarahan yang membuat semua orang tertawa itu sebenarnya hanyalah sebuah cara untuk menghibur hatinya dari kenyataan yang lebih pahit, sebuah kehilangan.“Aku bisa diantar pulang oleh Mark,” kata Kayden pada Evan. “Kamu pulanglah dengan Rowan, biar dia yang menyetir mobilnya. Kamu duduk saja jadi penumpang. Tidak baik menyetir dalam keadaan kacau seperti ini, Evan.”Terdengar peduli, seperti dikatakan oleh seorang kakak lelaki pada adiknya.Evan mengangguk, tak memberi penolakan dan memilih untuk me