“Aku bukan adikmu, Hana… Jadi lihatlah aku sebagai pria.” Sepuluh tahun lalu, Hana melepas remaja laki-laki sebelah rumah yang ia sayangi seperti adik sendiri, ke luar negeri. Kini, di 32 tahun usianya dan sudah bertunangan, Hana dikejutkan oleh kembalinya Adam sebagai CEO baru di kantornya. Dia bukan lagi remaja manis di masa lalu, tapi datang sebagai pria dewasa yang menawarkan cinta untuk Hana. Mampukah Hana mengubah kasih seorang kakak menjadi cinta untuk Adam di tengah perbedaan usia dan status sosial mereka?
View MoreBandara International Soekarno Hatta dipenuhi suara pengumuman keberangkatan. Di antara kerumunan, Hana, mahasiswi tahun terakhir berusia dua puluh dua tahun, berdiri di depan gerbang keberangkatan dengan mata berkaca-kaca.
Di hadapannya, Adam—remaja lima belas tahun dengan koper besarnya, sedang menunduk, menggenggam pegangan koper begitu erat hingga buku jarinya memutih.
“Kak Hana… kamu nggak bakalan lupain aku, kan?” suaranya pelan, penuh cemas.
Hana tersenyum, menepuk bahu bocah itu. “Nggak dong. Pasti aku bakalan ingat kamu walau nanti wajah kamu udah makin ganteng, dewasa, dan keren.”
Adam tersenyum mendengarnya, “Jadi nanti, kalau aku udah dewasa, kamu masih anggap aku anak kecil juga?”
“Tentu. Sampai kapanpun kamu itu…” jawab Hana terkekeh, “tetap Adam kecilku.” Sambungnya sambil menggosok ujung rambut Adam.
Adam menahan kata-kata yang ingin keluar. Tentang betapa Hana adalah satu-satunya orang yang mau menemaninya, tentang rasa kagum yang sulit ia mengerti. Tentang ia yang sebenarnya sudah mulai merasakan percikan suka pada gadis yang selama ini menjadi kakaknya itu.
Namun, suara panggilan keberangkatan memotong momen itu.
Ayah Adam memberi isyarat. Bocah itu melangkah berat, lalu menoleh sekali lagi untuk berpamitan, “Aku berangkat. Sampai jumpa lagi, Kak Hana. Janji, Kakak harus jadi wanita cantik yang bahagia kalau kita ketemu nanti.”
Dalam benaknya, senyum Hana menancap kuat sebagai kenangan yang akan ia bawa ke mana pun.
“Janji.” Sambil mengangguk, Hana melambaikan tangan, menahan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Momen sepuluh tahun silam itu nyatanya masih menjadi kerinduan bagi Hana. Bahkan di saat waktu senyap seperti ini, ia masih menunggu kabar Adam kecilnya itu.
Padahal, saat ini suasana tidak terbilang senyap, karena Hana sedang ada di sebuah restoran modern pusat kota Soekarina, bersama tunangannya, Reza, yang sibuk menunduk pada ponselnya.
“Sepuluh hari nggak ketemu, kamu tetap sibuk, ya?” Hana mencoba membuka percakapan.
Reza menanggapi tanpa menatap, “Proyek kantor lagi gila-gilaan. Kamu tahu sendiri aku jarang santai.”
Hana menggigit bibir, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan kaku itu, “Za, kamu ingat Adam? Anak tetangga yang dulu sering main sama aku? Yang ke luar negeri. Pasti udah besar sekarang, ya?”
Reza mendongak dengan alis berkerut, “Kenapa bahas bocil itu?”
“Hmm, karena kalau kamu ingat, dia marah banget waktu kamu mulai deketin aku dulu. Apalagi waktu kamu sibuk main hape dan cuekin aku kayak gini. Ingat kamu, waktu dia bilang ‘Kenapa nggak pacaran sama hapenya aja, sih?’ ke kamu?”
Hana begitu antusias dan ceria saat menceritakan tentang Adam.
“Ingat. Jadi, stop bahas bocil sok tau itu. Nggak usah diungkit lagi,” potong Reza cepat. Spontan membuyarkan kesenangan singkat Hana.
Hana mengeutkan dahi, “Dia cuma adik kecil buat aku. Aku cuma tanya kamu, kamu ingat nggak? Ngapain responnya jadi kesal gitu?” jelas Hana, “Toh kamu ngajakin kencan pas liburan gini, bukannya fokus ke aku, malah aku dicuekin.”
Hana protes tapi Reza memilih malas merespon, hingga hanya keheningan yang jatuh di antara mereka.
Beberapa menit kemudian, Reza seperti baru teringat sesuatu, “Oh iya, tiga hari lagi Mama ulang tahun. Kamu bisa datang, kan?”
Hana menoleh kaget, “Tiga hari lagi… itu juga ulang tahunku, Za. Kamu lupa lagi?”
Reza hanya mengangguk santai, “Oh, iya juga. Kita makan malam lain waktu aja buat ngerayain ulang tahun kamu. Tapi di hari itu, kita rayain ulang tahun Mama aku dulu. Kamu dandan cantik gih, Mama Papa mau ketemu tunangan aku soalnya.”
Hana tersenyum tipis, menelan kekecewaan. Setelah hampir sepuluh tahun mengenal dan enam tahun menjalin ikatan, nyatanya Reza tidak pernah absen lupa hari ulang tahun kekasihnya sendiri.
Namun, ada satu hal yang masih bisa membuat Hana berharap dari hubungan mereka. Akhirnya, setelah sekian tahun itu, Reza bersedia mempertemukan Hana dengan calon mertuanya. Itu artinya, lamaran pribadi Reza padanya akan diresmikan di depan keluarga.
***
Hari libur berlalu tanpa kesan. Esoknya, Hana sudah kembali ke realita, tepat jam delapan ia sudah harus memasuki lobi Aegis Corporation, perusahaan multinasional tempatnya bekerja. Hari itu seluruh karyawan diundang ke rapat umum, dengan agenda… Pengenalan CEO Baru Cabang Jakarta-Indonesia.
Ruang rapat penuh. Suara berbisik-bisik terdengar saat pintu terbuka. Seorang pria muda berjas abu-abu elegan, melangkah masuk dengan wibawa yang membuat ruangan mendadak hening. Garis rahang tegas, sorot mata yang dalam meski lebih dewasa, dan Hana mengenali tatapan itu.
‘Dia…’ Hana nyaris menjatuhkan berkas di tangannya, ‘Adam.’
Bocah pemalu yang dulu ia antar ke bandara, yang selalu ia rindukan kabarnya, kini ada di depan mata.
Pria itu menatap sekilas ke arah Hana. Sepersekian detik, kilasan kenangan masa lalu kembali, membuat hati Hana berdetak kencang.
“Selamat pagi. Saya Adam Mahendra, CEO baru Aegis Corporation cabang Jakarta-Indonesia. Mulai hari ini, saya akan memimpin tim ini bersama kalian.” ucapnya tegas dan profesional.
Hana hanya bisa membeku, perasaannya campur aduk antara terkejut, kagum, dan… entahlah. Dunia seolah memutar ulang masa lalu, tapi semua keadaan sudah tidak sama.
Sabtu tiba dengan cepat. Tapi sesore ini, Hana masih berdiri di depan jendela kecil pantry kantor sambil memegang gelas kopinya. Wanita itu terlihat melihat kosong ke langit, tapi pikirannya dipenuhi momen kacau setelah malam mabuknya kemarin.Wajah Adam masih sangat jelas mendominasi pikirannya. Mengingat lagi bagaimana wajah Adam yang sebelumnya masih terkekeh mengejek dan menggodanya dengan omong kosong, seketika berubah kaku dan kesal saat Hana mengungkit cerita masa lalu.“Kalau memang bukan dia, kenapa harus kesal gitu?” gumamnya bingung. Hana mulai menyeruput kopinya, “Nggak nyambung banget. Bikin orang bingung—,”“Hanaaa, selamat, yaw!”Suara Rani mengagetkan lamunan Hana, dan langsung membuatnya menoleh, “Apaan sih? Ngagetin aja!” decaknya.“Cieee, yang bentar lagi mau sold out. Padahal kalau belum tahun ini, aku mau jadiin kamu mentor aku, tau.” Celetuk Rani sambil mengambil cangkir minumnya.Hana malah semakin bingung, “Selamat buat apa sih, Ran? Mentor apaan, lagi?”Rani m
Beberapa menit setelah kekacauan pagi itu, suara air dari kamar mandi meredam suasana. Adam masih duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sambil memandangi langit-langit kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hana keluar dengan rambut yang kini diikat rapi, wajah bersih, dan pakaian formal yang kembali tertata. Tidak ada lagi ekspresi panik atau salah tingkah seperti sebelumnya, yang tersisa hanya ketenangan dingin dan tatapan yang tegas.Adam yang semula hendak membuka mulut untuk bercanda, langsung terdiam ketika mendengar kalimat Hana. “Saya tau kalau tadi malam saya mabuk,” ucap Hana tenang, suaranya terdengar tegas, “Tapi saya yakin nggak berbuat apapun sama Bapak.”Nada bicaranya terdengar janggal, tapi justru menohok. Adam menaikkan satu alisnya, “Bapak?”Hana tetap menjaga nada bicaranya yang datar, “Yakin seratus persen. Karena bagi saya, mau dulu atau sekarang, kamu itu adiknya saya.”"Kamu mau ngaku ingat atau nggak ke saya, saya udah nggak peduli
Sinar matahari menyusup tirai putih tebal bangunan tinggi hotel bintang lima itu, menyapa wajah Hana yang masih damai dalam tidur. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Hana mengerjap beberapa kali setelah merasa aneh dengan tempat asing yang jauh berbeda dari kamarnya, “Ini di mana?” gumamnya serak.Ia mulai bergerak duduk perlahan, dengan pandangan yang masih buram dan sakit kepala sisa mabuk semalam. Akan tetapi, belum sempat Hana berpikir panjang, matanya langsung dikejutkan sesuatu. Di sampingnya, ada sosok pria yang tidur dengan bertelanjang dada.Hana seketika menutup mulutnya yang refleks terbuka karena kaget. “Si-siapa dia?” ucapnya pelan. Tapi sayang sekali otaknya belum sinkron karena saat ini ia sedang memuji tanpa malu dalam hati.‘Gila banget, punggungnya… aduh.’ Karena memang punggung terbuka yang ia lihat saat ini begitu lebar dan menunjukkan otot-otot yang jelas, dan dengan kulit yang tanpa celah. Bahkan mata Hana liar menyusuri setiap garis otot itu hing
Ruang restoran itu masih riuh dengan suara gelas berdenting, tawa karyawan, dan aroma hidangan yang menggoda. Tapi bagi Hana, suasana yang seharusnya menyenangkan itu terasa menyesakkan.‘Tidak semua orang ingin mendengar kabar bahagia orang lain, katanya?’ kalimat Adam sebelumnya masih terngiang jelas di kepala Hana, ‘Jadi, dia benar-benar nggak mau mengaku kalau kami saling kenal, ya?’ sambungnya bergumam miris dalam hati.Setiap senyum dan canda rekan kerja rasanya seperti tembok yang menekan. Hana menarik napas pelan, mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Wanita itu tidak pernah biasa minum-minum seperti itu, apalagi alkohol. Akan tetapi, di suasana hati serapuh ini, dan ketika salah seorang staff mengangkat gelas dan mengajak semua orang bersulang, untuk menyambut Adam, Hana merasa terpanggil untuk ikut.‘Masa bodoh. Kalau dia mau seperti itu, jadi biarkan saja.’ Hana bergumam lagi sambil mengangkat gelas kecil berisi minuman bergelembung. Sekali teguk, hangatnya
Suasana ruang rapat kembali hening setelah para staf mulai keluar satu persatu dari ruangan. Tapi Hana masih di sana, berdiri memegang mapnya. Jantungnya terasa berdegup kencang melihat Adam ada di hadapannya saat ini.Adam sedang merapikan dokumen di meja, seolah benar-benar tidak terusik oleh keberadaannya atau apapun.Hana menggigit bibir bawahnya, tertekan rasa penasaran yang semakin kuat, ‘Dia Adam-ku, kan? Aku nggak mungkin salah lihat.’Dengan langkah pelan, Hana mendekat, “Maaf, Pak Adam,” ucapnya ragu. Suaranya terdengar lebih kecil dari yang diharapkan.Adam mengangkat wajah, menatapnya dengan mata dingin yang membuat tenggorokan Hana seolah kering.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Miss Hana?” nada suaranya tetap datar, profesional.Hana menelan ludah. Ia menunduk sedikit mencoba menutupi kegugupan, “Ini mungkin kedengaran aneh, Pak…”Adam diam, setuju menunggu.Hana menarik napas dalam, “Apa… apa Bapak tidak mengenal saya?”Adam mengerutkan alis tipis, tapi tidak langsung me
Bandara International Soekarno Hatta dipenuhi suara pengumuman keberangkatan. Di antara kerumunan, Hana, mahasiswi tahun terakhir berusia dua puluh dua tahun, berdiri di depan gerbang keberangkatan dengan mata berkaca-kaca.Di hadapannya, Adam—remaja lima belas tahun dengan koper besarnya, sedang menunduk, menggenggam pegangan koper begitu erat hingga buku jarinya memutih.“Kak Hana… kamu nggak bakalan lupain aku, kan?” suaranya pelan, penuh cemas.Hana tersenyum, menepuk bahu bocah itu. “Nggak dong. Pasti aku bakalan ingat kamu walau nanti wajah kamu udah makin ganteng, dewasa, dan keren.”Adam tersenyum mendengarnya, “Jadi nanti, kalau aku udah dewasa, kamu masih anggap aku anak kecil juga?”“Tentu. Sampai kapanpun kamu itu…” jawab Hana terkekeh, “tetap Adam kecilku.” Sambungnya sambil menggosok ujung rambut Adam. Adam menahan kata-kata yang ingin keluar. Tentang betapa Hana adalah satu-satunya orang yang mau menemaninya, tentang rasa kagum yang sulit ia mengerti. Tentang ia yang s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments