halo ini bab yang kedua yah akak semuanya 🤗💃🏻 terimakasih sudah membaca 🤭
.... Lebih dari pukul delapan pagi saat Evan yang mengemudikan sedan mewah milik Kayden melihat tuannya itu mengakhiri sebuah panggilan. "Rowan baru saja bilang padaku kalau ada sepertinya dia sudah menemukan di mana keberadaan penipu ayah dan ibumu, Evan," kata Kayden yang duduk di kursi penumpang bagian belakang. Mata mereka bersirobok selama beberapa detik di kaca spion sebelum Evan bertanya, "Di mana dia, Tuan Kayden?" "Sedang dekat dengan salah satu pemilik tempat golf yang rencananya akan membuka resort di West Seattle," jawabnya. "Aku rasa kamu tahu siapa pemilik tempat golf yang terkenal di kota ini." Evan mengangguk, membenarkannya. "Watson Lim, maksud Anda?" "Ya." "Selama ini kabar menyebar di antara para pebisnis kalau dia banyak menjebak para pejabat untuk main golf di tempatnya dan bermalam dengan wanita-wanita suruhannya, Watson mengancam akan menyebarkan video mereka kalau mereka tidak mau memberi uang atau izin pendirian bangunan," tutur Evan. "Jadi para pejabat
Kayden duduk dengan punggung yang terasa tegang di samping Liora. Matanya yang beriris gelap tampak berbinar diterpa cahaya lampu yang menerangi ruang ganti. Telunjuknya yang semula tampak kaku seperti sebatang kayu perlahan turun, menjauh dari pipi dan rahang Liora yang tengah diobatinya. Melihat ekspresinya yang lucu membuat Liora bertanya, "Kenapa, Dad?" "Tiba-tiba saja?" Kayden menutup lebih dulu jar berisi salep yang ia bawa, meletakkannya di atas meja sebelum kembali memandang Liora. "Kenapa memangnya? Bukankah kamu sudah biasa aku cium seperti itu?" Bukannya berhenti, Liora meraih wajah Kayden dengan kedua tangannya. Ia kembali mendekat, mendaratkan kecupan di bibirnya, sekali lagi. Sepasang netra Kayden yang masih terlihat kebingungan ikut terpejam seperti yang Liora lakukan. Akhirnya ia membalas ciuman manis itu dengan lumatan yang lembut. Ia merengkuh pinggang Liora, menariknya lebih dekat sehingga gadisnya itu berpindah ke pangkuannya. "Memang sudah biasa berciuman
Di dalam rumah besar Kayden, setelah perjamuan makan malam itu usai, Nyonya Rose pulang dengan diantar oleh sopir Kayden. Awalnya, beliau bertanya-tanya mengapa Adrian meninggalkannya dengan pulang terlebih dahulu. Tapi dengan satu jawaban ‘Aku yang mengusirnya’ yang dikatakan oleh Kayden, Nyonya Rose berhenti memprotes. Saat semua orang sudah membubarkan diri dan Liora masuk ke dalam kamarnya lebih dulu, ia rasanya sedikit ... trauma sewaktu berganti pakaian. Ia berulang kali memastikan bahwa pria yang tengah berada di dalam satu ruang ganti bersamanya itu benarlah Kayden, prianya yang peka dan tahu tentang dirinya bahkan sebelum Liora bicara. “Duduk, Sayang,” pinta Kayden saat Liora berdiri di depan lemari pakaian, hendak memilih gaun tidurnya setelah kembali dari kamar mandi. “Aku masih mau ambil baju,” jawabnya. “Aku tahu. Duduklah, biar aku yang ambilkan. Kamu lelah, ‘kan?” Liora hanya mengangguk samar. Ia menarik mundur kakinya dan memutuskan untuk duduk di sofa. Membiark
Adrian membawa gadis itu meninggalkan The Quiet Flame setelah ia membayar lebih pada pengelola tempat agar ia bisa lebih cepat pergi dari sana. Namanya Cherry, nama yang terdengar manis dan lugu jika dibandingkan dengan penampilannya beberapa saat yang lalu di atas meja bar. Di sebuah hotel yang tidak jauh dari klub malam tersebut, mereka masuk. Adrian sempat membawanya menepi untuk membelikannya sebuah gaun berwarna biru gelap seperti yang tadi dikenakan oleh Liora. Di dalam kamar yang mereka pesan, Cherry melemparkan tasnya ke atas meja. Ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Adrian sembari berbisik penuh godaan. “Mana pernah terpikir kalau aku akan bermalam dengan si tampan Adrian Davis,” ucapnya. Cherry berjinjit, mengimbangi tinggi Adrian dan menggapai bibirnya. Lebih agresif dari kebiasaan para pria. Ciuman mereka berubah dari kecupan menjadi panas. Bibir mereka saling memagut, saling menuntut. Meski tubuh Adrian masih merasakan nyeri pada beberapa titik, hasratnya yang
"EVAN, AMPUN—!" Adrian berteriak sekuat yang ia bisa agar Evan melepasnya. "Maaf," katanya. "Aku tidak akan seperti itu lagi. Aku tidak akan mendekati Liora dan menginjakkan kakiku di rumah ini lagi!" Suaranya meninggi dalam desakan ketakutan. Napasnya memanas, ia menghirup debu aspal yang telah mencemari indera pembaunya. "Jangan ... jangan lakukan ini, aku mohon!" Evan tak bereaksi. Adrian terus meracau dan menjanjikan dirinya tak akan mendekat pada Liora, anak-anaknya atau bahkan datang ke rumah ini lagi di masa depan. Tubuhnya seperti ikan kehabisan napas yang menggelepar dan minta diselamatkan. Ketakutannya merenggut semua nyali yang tadi ia tunjukkan dengan angkuhnya di hadapan Evan. Baru setelah mulutnya nyaris berbusa, tekanan di belakang lehernya mengendur. Evan melepasnya, sehingga Adrian beringsut pergi, melawan rasa sakit di punggungnya dengan merangkak menjauh agar ia memiliki jarak yang cukup dengan tangan kanan Kayden itu. Adrian menoleh pada Evan, memastikanny
"Kamu yang brengsek," balas Adrian seraya menebah kemeja yang ia kenakan. Yang ia rasa ternoda oleh debu aspal sebab ia baru saja menggunakan lengannya untuk menahan berat badan setelah didorong oleh Evan. "Kenapa kamu mendorongku, Sialan?" umpat Adrian seraya memandang Evan yang rahangnya mengetat. Evan mendengus, untuk beberapa detik kepalanya menengadah. Ia mengembuskan napasnya ke atas sehingga beberapa helai rambut yang jatuh di dahinya terangkat. "Bocah sialan ini," desisnya sembari membalas tatapan Adrian. "Bocah?!" ulang Evan, meski kesal karena sebutan itu, ia terlihat tidak berani melangkah untuk mendekat padanya. "Siapa yang kamu sebut bocah? Usia kita hanya berbeda beberapa tahun saja, Evan Lee!" "Kalau tidak mau disebut 'bocah' jadi menurutmu kamu sudah dewasa, begitu?" "Ya—" "Dan bebas bersikap kurang ajar?!" potong Evan, jika otot yang menahan matanya tidak berfungsi dengan baik mungkin kedua netranya yang memanas ini akan lepas. "Apa maksudmu?" "Apa yang kamu