😌😌😌😌 next
Liora menghela dalam napasnya saat membaca lanjutan pesan dari Kayden. [Aku akan menyusulmu kalau sempat.] "Kenapa, Nona?" tanya Annie dari samping kirinya, barangkali prihatin dengan helaan napas Liora yang penuh kekecewaan. "Tidak, Bu Annie," jawabnya. "Tuan Kayden bilang kalau dia tidak jadi ikut pergi untuk periksa." "Apakah ada urusan mendadak?" Liora memberinya anggukan, "Iya." "Mau saya antar saja?" tawar wanita paruh baya itu. "Kita bisa pergi dengan diantar Pak Han jika Nona tidak ingin pergi sendirian." Liora menoleh pada Annie dan sekali lagi mengangguk. "Boleh." Setidaknya ... ia tak akan begitu kecewa. Masih ada orang baik di sekitarnya. Dan Liora pun bukankah harus menyadarinya? Memiliki suami seperti Kayden Baldwin—meski ia tak yakin pria itu juga menganggapnya sebagai istri—ia harus selalu siap dengan situasi seperti ini. Ditinggal mendadak, urusan di luar jadwal, kepentingannya bukan hanya untuk Liora saja, tapi untuk banyak orang. Akhirnya, dengan lapang d
Jari-jari tangan Liora terasa kebas. Kerongkongannya mendadak serak. Ia memandang Julia yang diikuti oleh Nyonya Rose dan kedua orang tuanya memasuki lift, lalu menatap pada Kayden yang mendorong napasnya. Liora tak ingin tahu, tapi karena ia telah melihatnya, setidaknya ia ingin penjelasan. Apakah Kayden menggagalkan janji dengannya untuk dapat pergi mengantar Julia? Terlebih lagi, apa yang terjadi pada gadis itu? Kenapa ia terlihat seperti seseorang yang menderita sakit keras? "A-apa yang terjadi?" tanya Liora, ia memandang Kayden, merasakan maniknya yang menghangat. "Apa yang terjadi pada Nona Julia?" "Tuan Kayden diminta oleh Nyonya Rose untuk datang ke rumah Julia tadi, Nona Liora," sambar Evan dari samping kanannya. Liora menoleh pada pemuda itu, menunggunya selesai bicara. "Nyonya Rose bilang beliau mendadak sakit dan meminta Tuan Kayden untuk datang. Tapi saat di sana, ternyata Julia yang sakit, jadi kami ikut mengantarnya ke sini." Liora tahu maksud yang hendak disam
Kayden benar ... Liora pasti akan terkejut mendengar apa yang akan disampaikan oleh mereka. ‘Aku hanya ingin merasakan cinta yang besar yang pernah diberikan Kayden padaku’ yang dikatakan oleh Julia telah membuatnya tersayat, sembilu mengirisnya. Haruskah Liora memberikan kerelaannya untuk sebuah cinta lama yang ingin hidup kembali? Seberkas tanya itu menghampiri benaknya yang berdiri membeku di ambang pintu. Sekujur tubuhnya terasa kebas, setiap jengkalnya nyeri, keretakan melukai hatinya dengan hebat kala mendapati bahwa sebenarnya Julia sedang mengiba agar Liora mengabulkan keinginan terakhirnya—menikah dengan Kayden. “Jawab, Liora!” bentak Nyonya Rose. “Kamu yang sudah merebut Kayden dari Julia. Kayden adalah dunianya Julia, sekarang bagaimana kamu mempertanggungjawabkan semua ini?” Liora tak menjawab. Dan itu membuat suasana di sekitar mereka kian tegang. “Kamu masih punya hati, ‘kan?” Nyonya Rose kembali bersuara setelah hening merasuki celah-celah petang yang meredupkan r
"Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Liora." Kalimat Kayden masih sama tegasnya, tidak berubah. Liora terdiam di tempatnya berdiri. Ia sedang meraba-raba, apa yang dimaksud Kayden dengan mengatakan bahwa kontrak itu tak tahu di mana. Kayden membuangnya? Kontrak itu tak lagi berlaku dan mereka akan menjalani pernikahan ini seumur hidup? Seperti itukah yang ingin Kayden katakan? Air matanya jatuh dari kedua sudut netranya yang perih. "Kamu mengandung bayiku. Tidak akan ada perceraian di antara kita. Aku tidak peduli dengan Julia, dan aku tidak akan menikahi perempuan itu!" Kayden berpaling, kakinya mengayun pergi meninggalkan Liora. Urung ke arah di mana kamarnya berada, melainkan ke lantai atas, menuju kamarnya sendiri. Liora masih bergeming di sana hingga beberapa saat. Baru saat kilatan petir dari luar terdengar ia terjaga dan mengangkat kakinya. Memasuki kamarnya yang redup, ia duduk di tepi tempat tidur. Bayangan wajah nelangsa Julia memenuhi matanya. Ucapan tentang diri
“Maaf ....” Lirih suara bariton Kayden membuat Liora membuka matanya. Tadinya ia berpikir itu hanyalah sebagian suara yang didapatinya di dalam mimpi sebelum ia merasakan tangan kekar seseorang yang melingkari pinggang dan perutnya dari belakang. Kecupan singgah di bagian belakang lehernya sehingga Liora menoleh ke belakang, menjumpai wajah Kayden yang terlampau dekat dan sepasang matanya terlihat sayu. “Kamu belum tidur?” tanya Kayden, melonggarkan pelukannya pada Liora sehingga mereka kini memiliki kesempatan untuk saling berbaring berhadapan. “Baru saja terpejam,” jawab Liora. “Tapi mendengar suara Anda membuat saya bangun.” “Tidurlah lagi kalau begitu.” Liora tak menjawabnya, hanya matanya yang memandang, tanpa kata lebih dari enam puluh detik berlalu. Kayden menyentuh pipinya, memberinya usapan lembut saat bertanya, “Aku meminta maaf karena sudah membentakmu tadi. Kamu masih bingung dengan yang terjadi hari ini?” Kedua bahu ringkih Liora sedikit terangkat, menandakan kera
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu
“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria
Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya. ‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya. Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat. Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.“Peluk aku,” jawab Liora. “Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.Pria itu menciumny
“Maaf ....” Lirih suara bariton Kayden membuat Liora membuka matanya. Tadinya ia berpikir itu hanyalah sebagian suara yang didapatinya di dalam mimpi sebelum ia merasakan tangan kekar seseorang yang melingkari pinggang dan perutnya dari belakang. Kecupan singgah di bagian belakang lehernya sehingga Liora menoleh ke belakang, menjumpai wajah Kayden yang terlampau dekat dan sepasang matanya terlihat sayu. “Kamu belum tidur?” tanya Kayden, melonggarkan pelukannya pada Liora sehingga mereka kini memiliki kesempatan untuk saling berbaring berhadapan. “Baru saja terpejam,” jawab Liora. “Tapi mendengar suara Anda membuat saya bangun.” “Tidurlah lagi kalau begitu.” Liora tak menjawabnya, hanya matanya yang memandang, tanpa kata lebih dari enam puluh detik berlalu. Kayden menyentuh pipinya, memberinya usapan lembut saat bertanya, “Aku meminta maaf karena sudah membentakmu tadi. Kamu masih bingung dengan yang terjadi hari ini?” Kedua bahu ringkih Liora sedikit terangkat, menandakan kera
"Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Liora." Kalimat Kayden masih sama tegasnya, tidak berubah. Liora terdiam di tempatnya berdiri. Ia sedang meraba-raba, apa yang dimaksud Kayden dengan mengatakan bahwa kontrak itu tak tahu di mana. Kayden membuangnya? Kontrak itu tak lagi berlaku dan mereka akan menjalani pernikahan ini seumur hidup? Seperti itukah yang ingin Kayden katakan? Air matanya jatuh dari kedua sudut netranya yang perih. "Kamu mengandung bayiku. Tidak akan ada perceraian di antara kita. Aku tidak peduli dengan Julia, dan aku tidak akan menikahi perempuan itu!" Kayden berpaling, kakinya mengayun pergi meninggalkan Liora. Urung ke arah di mana kamarnya berada, melainkan ke lantai atas, menuju kamarnya sendiri. Liora masih bergeming di sana hingga beberapa saat. Baru saat kilatan petir dari luar terdengar ia terjaga dan mengangkat kakinya. Memasuki kamarnya yang redup, ia duduk di tepi tempat tidur. Bayangan wajah nelangsa Julia memenuhi matanya. Ucapan tentang diri
Kayden benar ... Liora pasti akan terkejut mendengar apa yang akan disampaikan oleh mereka. ‘Aku hanya ingin merasakan cinta yang besar yang pernah diberikan Kayden padaku’ yang dikatakan oleh Julia telah membuatnya tersayat, sembilu mengirisnya. Haruskah Liora memberikan kerelaannya untuk sebuah cinta lama yang ingin hidup kembali? Seberkas tanya itu menghampiri benaknya yang berdiri membeku di ambang pintu. Sekujur tubuhnya terasa kebas, setiap jengkalnya nyeri, keretakan melukai hatinya dengan hebat kala mendapati bahwa sebenarnya Julia sedang mengiba agar Liora mengabulkan keinginan terakhirnya—menikah dengan Kayden. “Jawab, Liora!” bentak Nyonya Rose. “Kamu yang sudah merebut Kayden dari Julia. Kayden adalah dunianya Julia, sekarang bagaimana kamu mempertanggungjawabkan semua ini?” Liora tak menjawab. Dan itu membuat suasana di sekitar mereka kian tegang. “Kamu masih punya hati, ‘kan?” Nyonya Rose kembali bersuara setelah hening merasuki celah-celah petang yang meredupkan r
Jari-jari tangan Liora terasa kebas. Kerongkongannya mendadak serak. Ia memandang Julia yang diikuti oleh Nyonya Rose dan kedua orang tuanya memasuki lift, lalu menatap pada Kayden yang mendorong napasnya. Liora tak ingin tahu, tapi karena ia telah melihatnya, setidaknya ia ingin penjelasan. Apakah Kayden menggagalkan janji dengannya untuk dapat pergi mengantar Julia? Terlebih lagi, apa yang terjadi pada gadis itu? Kenapa ia terlihat seperti seseorang yang menderita sakit keras? "A-apa yang terjadi?" tanya Liora, ia memandang Kayden, merasakan maniknya yang menghangat. "Apa yang terjadi pada Nona Julia?" "Tuan Kayden diminta oleh Nyonya Rose untuk datang ke rumah Julia tadi, Nona Liora," sambar Evan dari samping kanannya. Liora menoleh pada pemuda itu, menunggunya selesai bicara. "Nyonya Rose bilang beliau mendadak sakit dan meminta Tuan Kayden untuk datang. Tapi saat di sana, ternyata Julia yang sakit, jadi kami ikut mengantarnya ke sini." Liora tahu maksud yang hendak disam
Liora menghela dalam napasnya saat membaca lanjutan pesan dari Kayden. [Aku akan menyusulmu kalau sempat.] "Kenapa, Nona?" tanya Annie dari samping kirinya, barangkali prihatin dengan helaan napas Liora yang penuh kekecewaan. "Tidak, Bu Annie," jawabnya. "Tuan Kayden bilang kalau dia tidak jadi ikut pergi untuk periksa." "Apakah ada urusan mendadak?" Liora memberinya anggukan, "Iya." "Mau saya antar saja?" tawar wanita paruh baya itu. "Kita bisa pergi dengan diantar Pak Han jika Nona tidak ingin pergi sendirian." Liora menoleh pada Annie dan sekali lagi mengangguk. "Boleh." Setidaknya ... ia tak akan begitu kecewa. Masih ada orang baik di sekitarnya. Dan Liora pun bukankah harus menyadarinya? Memiliki suami seperti Kayden Baldwin—meski ia tak yakin pria itu juga menganggapnya sebagai istri—ia harus selalu siap dengan situasi seperti ini. Ditinggal mendadak, urusan di luar jadwal, kepentingannya bukan hanya untuk Liora saja, tapi untuk banyak orang. Akhirnya, dengan lapang d
Siang itu, suasana di dalam ruang yoga prenatal ramai oleh sorakan para calon Papa yang menyambut anggota baru mereka, Kayden Baldwin. Liora melihatnya, pria itu membalas sapaan mereka yang usianya lebih tua atau bahkan jauh lebih muda sewaktu mereka masuk ke dalam ruangan luas itu dan saling mengenalkan diri. Sebagian besar memang anggota lama, hanya sedikit yang baru dan yang paling baru adalah Kayden. Liora senang, bukan karena ia bisa berinteraksi dan bertemu dengan banyak orang, tapi juga karena Kayden benar menepati janjinya bahwa ia akan pergi dengan Liora untuk yoga prenatal. Liora sejak awal sudah mengatakan padanya, jika ia ikut, artinya ia juga akan ikut yoga. Dan Kayden tidak keberatan. Ia rasa ... setelah pulang mengunjungi Nyonya Marry di rumah sakit jiwa Kayden menjadi lebih hangat. Pria itu jauh lebih peduli dan hampir tak terlihat sama sekali sifat iblisnya yang dulu selalu diumpati oleh Liora. Meski kadang ucapannya masih tergolong pendek dan menyakitkan, tapi
‘Anak ini ....’ gumam Kayden seorang diri, keheranan kenapa rasanya Leo seperti tak menyerah untuk mendekati Liora padahal Kayden sudah memperingatkannya dengan jelas. Dengan alibi ‘sebagai sahabat’, lihat apa yang dikirimkannya pada Liora. [Apakah kita bisa bertemu besok? Aku ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja, Liora. Kamu tidak menangis, ‘kan?] Kayden mendengus, ia hendak mengembalikan ponsel Liora ke tempatnya sebelum pesan susulan dari Leo kembali datang. [Oh? Kamu membacanya? Kamu belum tidur?] Kayden masih membiarkannya karena sepertinya pemuda itu masih belum usai. [Apa kamu tidak bisa tidur?] [Liora?] [Mau aku telepon biar cepat tidur?] Kayden mengetuk kontaknya, pada salah satu pilihan yang ditampilkan, ia memilih ‘Blokir’. ‘Dia pikir dia siapa?’ Masih belum habis menggerutu. “Anda masih belum tidur?” tanya suara manis Liora yang membuatnya terjaga. Gadis itu membuka matanya, menatapnya dengan penuh kebimbangan karena Kayden masih belum tidur.
Liora mengerjapkan matanya, pelan, menunggu jawaban Kayden. Tetapi beberapa detik berlalu, hanya keheningan yang didapatnya. Kedua bibir pria itu mengatup dalam kebisuan. Hanya salah satu telinganya yang tak ditimpa oleh kepalanya yang terlihat memerah. Kayden bangun dari berbaring miringnya dan saat itulah Liora bisa melihat kedua telinga pria itu benar-benar seperti buah beet. “A-Anda marah?” tanya Liora, hati-hati saat ikut bangun dan meremas selimut yang menutupi kakinya. Sadar akan pertanyaannya yang naif, menyesal baru saja melakukan sebuah kebodohan dengan mencium Kayden. Apa yang akan terjadi setelah ini? Benaknya mulai dilanda oleh keresahan. ‘Apa yang kamu lakukan, Liora? Lancang sekali!’ ucapan itu sepertinya yang paling mungkin dikatakan oleh Kayden. Liora lupa seberapa tinggi dinding pemisah di antara mereka. Dan malam ini sepertinya ia mengabaikan itu. ‘Apa yang aku lakukan ....’ sesal Liora dalam hati. ‘Kamu pikir siapa dirimu!’ Tak henti merutuki dirinya send
Freya menghela napasnya yang mungkin tersengal. Ia menggigit bibit bawahnya saat netranya mengembun. Dirinya yang beberapa saat lalu berapi-api mendadak hilang. "Kenapa?" tanya Liora, nada bicaranya sama tenang meski hatinya sudah seperti kepingan kaca yang jatuh dari ketinggian. "Merasa terhina?" imbuhnya. "Bagus kalau memang seperti itu. Artinya hati nuranimu masih berfungsi." Freya menunduk, ia menghindari tatapan Liora yang tajam padanya. "Jangan ganggu Mamaku! Ini peringatan!" Freya tak memberi respon selain hanya jari-jarinya yang saling meremas. "Pergilah! Aku sudah selesai bicara denganmu!" Gadis itu meraih tablet dan buku agendanya dari atas meja dengan tangan yang bergeligi, lalu beranjak pergi dari sana tanpa mengatakan apapun. Suara langkah kakinya menjauh, lalu menghilang. Liora mendorong napasnya yang terasa sesak, ia menunduk menyeka air matanya yang menjejak basah. Leo mendesah berat, "Kenapa dia itu sebenarnya?" desisnya. Leo berpindah dari samping Liora