Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.
Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran..."Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Maaf, aku tidak sengaja," jawab Pak Kenzie dengan nada santai.Tidak sengaja katanya? Bohong! Mataku sendiri melihat bagaimana tangannya dengan sengaja mendorong bubur itu."Panggilkan petugas kebersihan, Mal. Bersihkan bekas bubur ini," perintahnya kepada Pak Akmal tanpa sedikit pun penyesalan. Pak Akmal mengangguk patuh, lalu meninggalkan ruangan."Kamu sekarang sarapan dulu, ya? Aku sudah membelikan bubur untukmu." Pak Kenzie menyodorkan mangkuk bubur dari atas meja troli, sendok berisi bubur diulurkan ke arahku. Sejujurnya, selera makanku sudah hilang. Yang kurasakan hanyalah rasa mual dan keengganan terhadap kebaikannya. Bubur Pak Bahri, itu yang kutinginkan. Tapi untuk menolak Pak Kenzie , aku merasa tidak enak. Ketegangan di antara Pak Kenzie dan Pak Bahri terasa mencekam, aku tak ingin membuat masalah."Ayo... buka mulutmu. Nanti buburnya dingin dan tidak enak. Kamu 'kan belum makan sejak kemarin." Suaranya terdengar memaksa.
(POV Author)"Arrrgghh... Aku bisa gila kalau begini terus!"Helen menggeram kesal, tangannya frustasi menjambak rambutnya yang panjang.Sudah tiga hari dia menjalani hukuman: dikurung di kamar tanpa ponsel, terisolasi dari dunia luar, dan pintunya dikunci rapat. Suasana pengap dan sunyi semakin menambah kejengkelannya.Kemarahan Papi Janur masih terasa seperti bayangan yang menghantuinya. Dia masih bisa membayangkan betapa dahsyatnya amarah sang papi saat mengetahui apa yang telah dia lakukan. Helen menggigit bibirnya.Tapi untunglah, Papi Janur masih mengingat bahwa Helen sedang mengandung. Jika tidak, hukuman ini pasti jauh lebih kejam dan mengerikan. Bayangan cambukan dan hukuman fisik lainnya menghantui pikiran Helen, membuat tubuhnya menggigil. Dia bersyukur atas belas kasihan papinya yang sangat terbatas itu, meskipun tetap terasa seperti siksaan."Semua ini gara-gara Heru! Bre*ngsek! Pengacau! Meskipun aku sudah me
Setelah mandi, Zea bergegas keluar dari kamar. Bibi telah memberitahukan bahwa Bunda Viona dan Ayah Calvin menunggunya di ruang makan. Namun, yang dilihatnya saat memasuki ruangan itu melampaui ekspektasinya. Bukan hanya kedua orang tua Kenzie, tetapi juga Kenzie, duduk tenang di salah satu kursi meja makan persegi empat. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma bunga melati dari vas di tengah meja. Hidangan beraneka ragam tersaji melimpah; telur balado yang merah menyala, ayam goreng yang mengkilat keemasan, sayur brokoli, dan masih banyak lagi. Meja itu tampak penuh, hampir tak tersisa ruang kosong. Degupan jantung Zea berdebar tak karuan. Sebuah rasa gugup yang tak terjelaskan menjalar di tubuhnya. "Kamu sudah mandi, Zea? Ayok duduk di sampingku," ucap Kenzie, suaranya lembut namun membuat jantung Zea berdetak lebih cepat. Dia berdiri, lalu dengan gerakan halus mendorong kursi di sampingnya, mengundang Zea untuk bergabung. "Di... di samping
Keduanya lalu menatap kembali Zea. "Selain itu, apa lagi yang Kakek sampaikan?" tanya Ayah, suaranya lembut.Zea terdiam sejenak, menunduk, ragu untuk melanjutkan. "Dia ...," bisiknya pelan, "Memintaku untuk memaafkan apa yang Pak Kenzie perbuat.""Lalu, kamu jawab apa?" tanya Ayah lagi, tatapannya penuh perhatian."Belum sempat aku jawab, Yah, tapi Kakek sudah keburu pergi. Dipanggil pun tidak menjawab," jawab Zea lirih."Apakah wajah Kakek menyeramkan? Bagaimana saat kamu melihatnya?" Kali ini Bunda yang bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Aku sendiri sebenarnya ingin bertanya juga, tapi pertanyaan Bunda dan Ayah seakan mewakili semua rasa ingin tahuku."Wajahnya sama seperti di foto, Bun. Cuma... agak glowing saja."Ayah menatapku, lalu mendekat dan menggenggam tanganku erat. Tanpa sepatah kata, dia menarikku berdiri dari tepi kasur."Sekarang kamu istirahat dulu ya, Zea. Nanti Bibi bawakan
"Rumah sakit, Bun." Kataku tegas, tak ada waktu untuk ragu. "Ya sudah, ayo. Bunda ikut untuk menemani." "Iya." Aku mengangguk cepat, kemudian menggendong Zea dengan hati-hati. Bunda mengikuti dari belakang, sambil memainkan ponselnya. "Bunda memangnya nggak apa-apa ikut aku? Nanti kalau Ayah cariin gimana?" tanyaku sedikit khawatir. "Ini... Bunda sudah kirim chat sama Ayah. Dia tadi masih tidur, nanti kalau sudah bangun terus nyariin, pasti dia buka HP." Jawab Bunda tenang, menenangkan kekhawatiranku. "Oh gitu, ya sudah." Aku lega mendengarnya. Setelah kami bertiga masuk ke dalam mobil, aku segera melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Jalanan malam terasa sunyi, hanya diiringi debaran jantungku yang semakin cepat. Setibanya di sana, aku langsung menggendong Zea menuju ruang UGD, jantungku berdebar kencang berharap dia segera mendapatkan penanganan. Bunda dan aku duduk di kursi tunggu, kesunyian terasa mencekam di antara deru napas cemas kami. "Bun... Bunda nggak
"Zea ...."Suara berat itu mengalun lembut, namun berhasil menggetarkan jantungku. Seorang pria berdiri di hadapanku, siluetnya samar-samar dalam cahaya remang.Wajahnya memang asing, namun aura bijaksana terpancar darinya. Usia senjanya terlihat jelas dari kerutan yang menghiasi wajahnya yang sawo matang, bercahaya meski dipenuhi garis-garis waktu. Rambutnya seputih salju, hampir sepenuhnya memutih. Dia mengenakan jubah putih panjang yang menambah kesan misterius.Pikiran berputar cepat.Siapa dia? Bagaimana dia tahu namaku? Dan lebih penting lagi, bagaimana dia bisa berada di sini, di depan kamarku, di tengah malam begini? Selama aku tinggal di sini, aku belum pernah melihatnya sebelumnya."Boleh nggak kita bicara sebentar?" tanyanya, matanya menatapku dalam-dalam, penuh arti. Tatapan yang seolah menembusku, membaca isi hatiku."Bicara apa? Tapi maaf ... Kakek ini siapa, ya?" Aku bertanya, suaraku sedikit gemetar karena rasa was-was yang mulai menguasai. Aku memperhatikann
"Jangan bilang kamu selingkuh dengannya?" Pertanyaan mendadak Pak Kenzie membuatku tersentak. Tuduhan yang begitu tiba-tiba dan tanpa sebab itu sungguh membuatku marah. Apa-apaan dia ini? Mobil yang dikendarainya langsung berhenti. "Bapak ini ngomong apa sih?! Pak Bahri itu mantan bosku di rumah makan Padang, masa Bapak lupa?" "Ingat, tapi kenapa dia menghubungimu? Pasti ada alasannya, kan? Pasti karena kalian ada hubungan!" Nada bicaranya semakin meninggi, menunjukkan ketidakpercayaannya yang begitu besar. "Astaghfirullah, Pak... Bapak jangan su'uzon padaku! Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia cuma mau main ke sini." Aku berusaha menjelaskan dan bersikap tenang, walau amarahku masih menggelayuti. "Main?" Matanya membulat, tatapannya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Menurutku, reaksinya itu terlalu berlebihan. Pak Kenzie ini selain plin plan dan menyebalkan, dia juga lebay. "Itu sudah cukup membuktikan kalau dia naksir sama kamu, Zea. Seharusnya tadi k
"Kalau kita sudah bercinta, aku bisa tidur nyenyak, dan aku bisa lebih mudah memikirkan biaya mahar itu.” Pak Kenzie menghela napas, mencoba menjelaskan dengan sabar, namun nada bicaranya terdengar sedikit memaksa supaya aku menuruti permintaannya. "Tidur nyenyak?" Aku mendengus kesal. Itu terdengar tak masuk akal. “Jangan mengada-ada, Pak. Setiap malam bukannya Bapak tidur nyenyak?" "Enggak kok." Dia menggeleng cepat, membantah. "Semalam buktinya Bapak tidur nyenyak.” Aku sengaja menekankan kata ‘nyenyak’, karena aku jelas-jelas mendengar dengkur kerasnya semalam. Dia berdusta! “Kamu nggak akan mengerti, Zea. Yang tau tentang ini hanyalah laki-laki. “Kenapa bisa begitu?” tanyaku, merasa kecewa. “Kalaupun dijelaskan, kamu tetap tidak akan paham." Cih! Sifat menyebalkannya muncul
“Niat Ayah dan Bunda datang ke rumah Papa sebenarnya ingin mengabarkan pernikahan kita, Pak. Tapi Papa malah membahas mahar,” kataku, menjelaskan inti kejadian pagi tadi. Pak Kenzie mengerutkan dahi. “Papamu meminta mahar untuk pernikahan kita?” Aku mengangguk cepat, “Iya. Semua ini gara-gara Juragan Udin. Papa berniat menjodohkanku dengannya karena Juragan Udin berani memberikan mahar rumah dan mobil.” Mata Pak Kenzie membulat. Dia tampak terkejut. “Memangnya Ayah dan Bunda tidak memberitahu Papamu kalau kamu sedang mengandung anakku?” Aku menggeleng pelan, “Tidak, Pak. Sepertinya mereka melakukan itu karena takut Papa marah.” “Terus, Papamu meminta mahar apa untuk pernikahan kita?” “Rumah, mobil, dan uang seratus juta,” jawabku, mencoba bersiap menghadapi reaksinya. Aku sudah menduga dia akan terkejut. “Apa?!” Seruannya kali ini lebih keras, menunjukkan keterkejutan yang nyata. Aku menunduk, menahan malu. “Maafkan Papaku, Pak. Seharusnya Ayah dan Bunda tidak langsung
Aku menghela napas lega, ketika kami bertiga akhirnya pulang dari rumah Papa. Meskipun sejak kecil aku tinggal di sana, hampir tak ada sedikit pun kenyamanan yang kudapatkan.Rumah itu lebih terasa seperti penjara daripada tempat tinggal yang sesungguhnya. Kenangan pahit lebih banyak terukir daripada kebahagiaan.Sangat jauh berbeda dengan saat aku tinggal di rumah Ayah Calvin dan Bunda Viona. Baru beberapa hari, aku sudah merasa betah, nyaman, dan diterima sepenuhnya. Bahkan kenyamanan itu sudah kurasakan jauh sebelum mereka menerimaku sebagai calon menantunya. Di sini, aku merasakan kasih sayang dan kehangatan yang selama ini tak pernah kurasa.Hari ini cuaca sangat panas sekali, tubuhku terasa lengket dan gerah. Sebaiknya aku mandi dulu untuk menyegarkan tubuh. Aku juga teringat kalau harus pergi ke mall bersama Pak Kenzie.“Zea… kamu mau ke mana?” Bunda Viona bertanya, suaranya lembut dan perhatian. Pertanyaannya membuat langkah
"Kalau langsung seratus juta saya tidak bisa memberikannya sekarang, Pak. Tapi kalau sebagai jaminan... bagaimana kalau sepuluh juta?" Ayah Calvin menawarkan nominal yang berbeda. Tapi tetap bagiku sangat besar dan tidak perlu diberikan kepada Papa."Tidak apa-apa, Pak," Papa mengangguk setuju. Senyum tipis mengembang di wajahnya, menunjukkan rasa puas yang terpancar jelas. Dia tampak sudah berhasil mendapatkan sebagian dari apa yang dia inginkan. Namun, dibalik senyum itu, aku merasa masih ada sesuatu yang disembunyikannya."Tapi saya mau uang tunai, ya, Pak ... karena saya tidak punya rekening bank," tambah Papa, suaranya terdengar sedikit lirih."Baiklah... saya akan ambil uangnya di ATM dulu, Pak. Tunggu sebentar." Ayah Calvin langsung berdiri.Saat Ayah Calvin hendak melangkah keluar rumah, aku cepat-cepat menahan tangannya."Ayah... Ayah nggak perlu memberikan uang itu. Uang itu nanti saja saat aku dan Pak Kenzie menikah."
"Kami orang tua Kenzie, Pak," Ayah Calvin memulai, suaranya tenang namun tegas, menjawab pertanyaan Papa yang masih ternganga. Sorot matanya serius, menunjukkan kesungguhan niatnya. "Kedatangan kami untuk mempererat hubungan keluarga, berharap kita bisa menjadi besan." Kalimat itu diutarakan dengan penuh hormat, menunjukkan rasa saling menghargai.Papa terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Matanya membesar, kejutan tergambar jelas di wajahnya yang biasanya tenang. Alisnya terangkat, menunjukkan betapa tak terduga pernyataan Ayah Calvin."Besan...? Tadi... kalian menyebut siapa?? Kenzie?" Ucapannya terbata-bata, mengungkapkan kebingungan yang mendalam. Dia tampak berusaha mengingat-ingat, mencari-cari jejak kenangan tentang nama yang disebutkan.Ayah Calvin mengangguk pelan, memperkuat pernyataannya. "Ya, Pak, Kenzie. Apakah Bapak masih ingat? Zea pernah mengatakan dia pernah datang ke rumah Bapak bersama Kenzie." S