“Aku tidak memiliki kesempatan sama sekali!” Tania mengeluh tak senang.
Minggu sudah berganti, tapi ia tidak sekali pun melihat keberadaan Romi di Grand Velora.“Kesempatan apa? Kamu mau istirahat?” Tanya Keisha.Kali ini Keisha yang menjadi teman kerja Tania di shift sore.“Enggak,” elak Tania. “Aku belum lelah. Kamu mau istirahat duluan?”Keisha menggerakkan kakinya yang terasa kram. “Kayaknya. Aku perlu istirahat sebentar.”Tania mengangguk tidak keberatan. “Istirahat aja. Biar aku yang stand by.”Tak lama kemudian, masuk sebuah pesanan.“Makanan untuk anak-anak,” gumam Tania pelan.Memang sudah masuk jam makan malam, tapi masih awal. Mungkin karena makanan yang dipesan untuk anak-anak, jadi jam makannya berbeda.“Biar aku saja yang antarkan.”Tania mendorong trolley makanan menuju lift. Setelah lift berhenti, dia segera turun dan berjalan ke kamar suite.Lantai u“Bu Rachel?” Tania terkejut sesaat. Meski begitu, ia tetap menunduk sopan lalu menyapa. Rachel langsung mengambil tempat di depan Tania. “Tidak bersama Lia dan Keisha?” tanya Rachel, ramah. Tania hanya menggeleng. Ia sengaja tidak mengabari Lia dan Keisha. Tania ingin menghindari semua orang. Ia benar-benar bermaksud melakukannya, tanpa kecuali.“Saya masih kenyang. Ini cuma mampir buat minum aja, Bu.” sahut Tania. Rachel mengangguk pelan. Manajer lama Tania itu terdiam sambil menilik penampilan Tania. “Kamu enggak lagi sakit, kan?” tanya Rachel. Tania refleks memegang pipinya. Saat sadar, ia langsung menjauhkan tangannya. Tania tak mau membuat Rachel curiga. “Enggak, Bu,” jawab Tania. Ia melihat Rachel yang mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah cokelat.Tania menghela napas. “Apa ini dari Pak Direktur, Bu Rachel?” tuduhnya.Rachel mengangguk ragu. Manajer di depan Tania it
“Tenang saja.” Romi malah memberikan Tania sebuah senyuman. Pria itu menenangkan Tania. “Tidak perlu bingung. Bekerja saja seperti biasa,” ucap Romi. Tania menggeleng keras. Ia tidak bisa menerima jawaban Romi. Berulang kali Tania mengucapkan maaf. “Kamu jaga saja dirimu, dan tetap berhati-hati.” Romi menitipkan pesan terakhir. Mobil menurunkan Tania tepat di depan rumah. Sepertinya, Romi sudah tahu alamat Tania sejak awal. “Saya pamit, ya. Jangan lupa kabari Pak Direktur. Dia pasti khawatir,” ujar Romi.Tania tersenyum getir. Ia mengangguk pelan. Tanka menyeret kedua kakinya ke depan rumah. Rumah Tania terkunci. Tangannya mengambil kunci cadangan dari dalam tas. Setelah masuk, Tania menutup pintu rapat. Tubuhnya meluruh ke lantai. “Sekarang … aku harus gimana?” Tania membuat Rafael dalam kesulitan, dan ia juga menyeret Romi bersamanya. Apa benar yang dikatakan oleh Julian?“Aku pembawa
“Tidak akan terjadi apa pun! Jawab saja, Pak!” Tania jadi membentak. Ia sejenak lupa pada jabatan Romi yang lebih tinggi darinya. Bagi Tania, Rafael yang paling penting sekarang. “Saya akan mengantar,” jawab Romi. Setidaknya, jika Romi sudah menjadi pengadu, maka pria itu akan bertanggung jawab. Romi membujuk Tania untuk masuk ke mobil. Tania harus bersabar sampai mobil yang ia tumpangi bersama Romi berhenti di rumah sakit. Romi terus menemani Tania sampai ke depan ruang rawat. Tok. Tok. “Permisi Pak Direktur.” Romi meminta izin masuk. Terdengar jawaban dari dalam ruangan. Karena sudah diiyakan, Romi membuka pintu dan melangkah masuk. Tania berjalan di belakang Romi, tidak sabaran. Namun, langkahnya terhenti sesaat kemudian. “Kamu lagi?!” Teriakan keras dengan suara yang familiar. Saat melihat Tania, darah Julian serasa naik ke kepala. Ia langsung berdiri, napasnya memburu. Tatapannya
“Kamu kenapa?” Fera menyapa Tania yang baru datang. Bibir Tania cemberut. Wajahnya masam karena kesal. Apalagi alasannya kalau bukan Rafael. Rafael belum juga membalas pesannya sampai sekarang. Sudah lima hari berlalu, dan pesannya terbaca tanpa dibalas!“Enggak apa-apa,” sahut Tania tak bersemangat. Ia menanyakan Tasya kemudian, untuk sekedar mengalihkan pembicaraan. Tania tak mau Fera bertanya lebih banyak. “Tasya shift siang,” jawab Fera singkat. Tidak ada pembicaraan lagi karena Nico datang tak lama kemudian. Manajer itu memberitahukan reservasi grup untuk besok. “Pastikan kalian melayani dengan baik karena mereka adalah tamu-tamu VIP,” ujar Nico. Tania dan Fera mengangguk bersamaan. Tania mengucap syukur dalam hati. Romi memintanya datang ke pengadilan hari ini. Kalau jadwalnya besok, mungkin Tania harus mengucapkan maaf pada pria itu. Tak lama setelah Tania menyebutkan nama Romi dalam hati
“Bapak mau bicara apa?” Tania langsung bertanya saat mereka duduk di dalam kafe. Tania melirik ke arah jendela yang ada di sampingnya. Ia memang sengaja memilih tempat yang terlihat. Rasanya akan mencurigakan jika Tania memilih tempat duduk di pojok saat duduk dengan seorang lelaki. Apalagi ia tidak tahu status Romi yang sekarang. ‘Apa masih suami orang? Atau sudah duda?’Tania tidak ingin ikut campur. Jadi, ia hanya menyimpan pertanyaan itu dalam hati saja. Ia juga tak mau menjadi orang yang kurang ajar. “Saya mau mengucapkan terima kasih.” Romi memulai kalimatnya. Tania mengangguk pelan. “Sama-sama, Pak,” jawab Tania. “Saya juga membantu karena dulu pacar saya terlibat,” sambung Tania. Keadaan hening sesaat. Tania yakin Romi ingin mengatakan hal yang lain. Tidak mungkin hanya ucapan terima kasih saja. “Silakan minumannya.” Pegawai kafe meletakkan dua cangkir kopi di depan Romi dan Tania.
‘Loh?’ Tania memandang heran. Ia memasang senyum canggung. Tania melirik sekilas ke arah cucu sang nenek. Anehnya, pria itu terlihat tidak salah tingkah sama sekali. “Namaku Enzo,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Tania membalas uluran tangan Enzo sopan. Lalu, Tania memperkenalkan dirinya sendiri. “Aku Tania.” Tania berusaha menjawab senatural mungkin. Ia bahkan menyisipkan senyum. Setelahnya, Tania mulai mengalihkan pembicaraan. Ia berusaha sebaik mungkin agar tidak melukai nenek dan cucu di hadapannya ini. “Nenek dan Enzo akan liburan ke mana kali ini?” Tania bertanya dengan nada lembut. “Sebenarnya, aku mau mengajak Nenek ke pantai,” jawab Enzo. Tania mengangguk. “Itu bagus! Jangan lupa memakai sunscreen. Di sini sangat panas.”Enzo menatap Tania lama, dan Tania sungguh merasa tidak nyaman. Ia memilih untuk nekat menadahkan tangan.“Boleh lihat paspornya untuk check in?” Tania akhirnya bicara. Enzo yang memberikan paspor pada Tania. Pria itu memberanikan diri untuk bert