Tania dan Gilang adalah pasangan yang sempurna—setidaknya itu yang semua orang pikirkan. Setelah tujuh tahun berpacaran dan bertunangan, Tania percaya bahwa hidupnya akan berjalan mulus. Namun, segalanya berubah saat dia menemukan Gilang berselingkuh. Hancur dan kecewa, Tania terjerumus ke dalam malam yang mengubah hidupnya selamanya. Dia tidur dengan Rafael, Direktur di hotel tempatnya bekerja. Seolah belum cukup, skandal itu diketahui semua orang di kantornya. Bagaimana Tania harus menanggung malu?
Lihat lebih banyak"Gilang?!"
Netra Tania menyipit, memastikan sosok yang menggendongnya adalah kekasih yang kepergok berselingkuh. Hatinya mencelos. Dadanya sesak oleh kemarahan yang belum sempat dia lampiaskan. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Kamu brengsek!" Suaranya bergetar, tangannya menghantam dada bidang itu berkali-kali. "Bisa-bisanya kamu selingkuh dariku!” Langkah pria itu terhenti, tapi dia tidak menjauh. Pria itu membiarkan Tania meluapkan amarahnya. "Kenapa?!" Tania meraung. Tinjunya melayang, menghantam dada pria tersebut. Penuh dengan amarah. Tania masih bisa melihatnya dengan jelas—bayangan Gilang di hadapannya beberapa jam lalu. Kekasihnya, bersama seorang wanita, terjerat dalam pelukan penuh gairah di atas ranjang. Bercak merah yang tersebar di kulit wanita itu menjadi saksi bisu atas pengkhianatan yang tak perlu dijelaskan. Tania ingin bertanya. Ingin berteriak. Ingin mengingkari kenyataan. “Jahat ….” Air mata membanjir di pipi Tania. Dia tidak bisa mengendalikannya lagi. Dia biarkan saja riasannya luntur, rambutnya tak karuan, dan bajunya berantakan. Tania tak peduli. "Kamu jahat!" Tinju berikutnya mendarat di bahu pria itu, disusul pukulan lain yang semakin lemah. "Kamu nggak boleh melakukan ini padaku!" Pria itu hanya diam, membiarkan Tania melampiaskan emosinya. "Enggak boleh! Cuma aku saja yang boleh menciummu!" Tania menarik pria itu mendekat. Tania menabrakkan bibirnya kasar. Napas pria itu mengalir lembut di wajahnya. Ada kehangatan yang aneh, tidak seperti yang dia bayangkan. Perlahan, tubuh Tania terasa melayang. Sebelum seprai sutera menyapa punggungnya lembut. Badan besar itu menindihnya sempurna. “Mmh …." Tania mencoba mengatur napas yang semakin memburu. Jemari kokoh itu menyusuri tubuhnya perlahan, meninggalkan jejak panas yang merayapi kulitnya. "Tatap aku," bisik pria itu di dekat telinga Tania. Suaranya berat, menggema seperti membius. "Lihat siapa aku baik-baik." Tania mendongak. Mata mereka bertemu—sorotannya dalam dan menusuk, seperti pusaran gelap yang siap menelannya. Setengah kesadaran Tania membuatnya menelan bingung. ‘Dia … bicara apa?’ Tak banyak yang bisa masuk ke dalam otaknya. "Aku bukan pacarmu," suara pria itu terdengar kembali–lembut, tetapi tegas dan penuh penekanan. “Aku lebih dari dia.” Udara di sekitar mereka terasa semakin panas. Dekapan itu semakin erat, menyisakan ruang yang nyaris tak ada. Tania menutup mata, membiarkan dirinya hanyut, tenggelam dalam lautan perasaan yang meluap-luap. Pria itu kembali berbisik. "Setelah ini, aku tak akan melepaskanmu.” Cahaya rembulan yang menembus jendela kamar Presidential Suite menjadi saksi bisu runtuhnya harga diri Tania. Pintu megah itu tertutup, menyembunyikan jejak dari skandal yang baru saja terjadi, meninggalkan hanya keheningan yang tebal dan tak terungkapkan. Malam perlahan merayap menuju akhir, langit gelap mulai memudar, digantikan semburat keemasan di cakrawala. "Ugh!" Tania meringis memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Silau dari sinar matahari yang menyelinap melalui celah jendela mengganggu tidurnya. Perlahan, matanya terbuka dan dia sadar langit-langit tinggi bercorak mewah itu bukanlah kamarnya. Spontan Tania terduduk. Matanya melihat sekeliling dan dalam hati dia merutuk, 'Sial! Di mana aku?! Apa yang terjadi?!" Belum surut paniknya, Tania melihat baju yang seharusnya melekat di tubuh, tergeletak di lantai. Tania membuka selimut dan memekik tanpa suara. 'Astaga!' Jantung Tania berdegup kencang saat matanya turun ke tubuhnya sendiri. Tubuhnya sepolos bayi yang baru lahir. Tania tercekat. Ingatan semalam menghantam kepalanya. Bar. Minuman. Kemarahan. Lalu … pria itu. Pria itu bukan Gilang. “Mati aku!” Kilasan samar wajah pria semalam muncul di kepalanya—rahang tegas, sepasang mata gelap yang tajam, dan ekspresi datar yang sulit dibaca. Di saat bersamaan, suara air shower tiba-tiba terdengar dari toilet. 'Ha?! Gila! Dia masih di sini?!' "Apa yang sudah aku lakukan?!" Darahnya berdesir, kepalanya semakin pusing. Dia harus pergi. Segera. Sedikit berlari, Tania meraih gagang pintu cepat. Tanpa menoleh ke belakang, dia melangkah keluar. Lorong hotel terasa panjang dan sunyi saat dia berjalan, seolah setiap langkahnya bergema di dinding. Tania tak ingin membuang waktu. Dia mencari jalan keluar. Papan petunjuk lift tertangkap dalam penglihatannya. Langkah Tania semakin cepat. Semakin dia melihat sekeliling, semakin hatinya dilingkupi kegelisahan. "Kenapa tempat ini terasa tidak asing?" Tania meremas lengannya sendiri, mencoba meredam rasa tidak nyaman yang terus menggerogoti. Karpet beludru maroon, motif dinding, pencahayaan temaram—semuanya terasa seperti …. "Grand Velora?! Nggak mungkin!" Ding! Suara lift terbuka di depannya tepat saat dia menghentikan langkah di depannya. Dan di sanalah seseorang berdiri. Sepasang mata menatapnya penuh keheranan. "Loh, Tania?”“Pagi, Pak Rafael!” Viola menyapa Rafael ramah, lalu menyiapkan kopi. Sebuah senyum terukir di bibir Viola. Wajahnya yang ceria membuat Rafael sempat terkesima sesaat. “Ehm!” Rafael berdehem canggung. Ia memaki dirinya sendiri karena sempat berpikir sembarangan. Rafael membiarkan Viola mampir ke dalam otaknya!“Bawakan laporan yang aku pinta kemarin,” ucap Rafael dingin. Ia harusnya tetap bersikap profesional, semenarik apapun Viola. Viola hanya seorang sekretaris, dan dirinya sudah memiliki seorang istri yang jauh lebih cantik di rumah. Viola terlihat cemberut, tapi ia menurut. Dengan langkah kecil, Viola mengambil dokumen, lalu kembali pada Rafael. “Ini dokumennya, Pak.” Viola meletakkan beberapa map di atas meja kerja Rafael. Gadis itu berdiri tepat di samping Rafael. “Aku juga sudah siapkan jadwal Bapak hari ini,” ucap Viola dengan suaranya yang riang. Rafael mengutuk dirinya karena sempat menatap Viola lama. Ia seolah terpana dengan wajah polos sekretarisnya itu. “Pak?” V
“Tenanglah, Tania.” Romi mencoba mengendalikan situasi. Di sampingnya, ada Lily yang memegang ujung bajunya erat. Gadis kecil itu memasang tampang bingung, juga takut. “Jangan berani kamu menyentuhnya!” Rafael menepis tangan Romi dari Tania. Ia sama sekali tidak peka dengan situasi. Fokus Rafael hanya tertuju pada kecemburuan. Matanya tertutup. Ia tidak melihat sama sekali ke arah Lily yang sudah mengkerut di sudut. “Jangan berteriak!” Tania menegur Rafael. Tania ingin Rafael bersikap lebih masuk akal, tapi Rafael menganggap Tania membela Romi. Dan Rafael sangat tidak menyukai itu. “Kita pulang!” Rafael menarik tangan Tania paksa. Tania tentu saja memberontak, tapi Rafael tidak menerima penolakan. Ia menatap Tania tajam. “Aku masih suamimu, Tania!” Geram rendah dan emosi tertahan Rafael, membuat Tania mengalah. Ia merasa tidak akan ada hal baik yang terjadi jika dirinya tetap tinggal. Romi yang terluka, atau Lily yang menangis. Tania hanya bisa melihat dua kemungkinan itu.
“Dokter bilang, keadaan Ayahmu memburuk,” ucap Sonya pilu. Tangannya bergerak ke pipi, berusaha menghapus air mata yang terus membanjir. Rafael menarik napas dalam. Ia menatap tubuh Julian yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keadaannya jauh lebih buruk dari terakhir kali mereka bertemu. “Ayahmu terkejut dengan keadaan perusahaan yang terus memburuk. Ayahmu bahkan sudah menuliskan surat wasiat. Ia akan memberikan GHG padamu.”Rafael menarik napas panjang. Ia tidak pernah mengharapkan akhir yang seperti ini. “Rafael, tolonglah.” Sonya terus memohon. “Setidaknya, temani Ayahmu sekali saja. Penuhi apa yang ia inginkan. Mungkin, ini akan menjadi yang terakhir.”Rafael terdiam lama, sebelum akhirnya menggeleng. Ia tak bisa. Rafael tak mungkin meninggalkan Tania. “Aku harap Ayah cepat sembuh. Aku bisa menjenguk, dan aku akan selalu mendoakan. Tapi aku tak akan kembali.” Rafael menolak tegas. “Aku tak akan kembali kecuali kalian menerima Tania, tanpa syarat.” Sonya mengge
“Pasti Ibu Lily juga senang bersama Lily,” sahut Tania lembut. “Mungkin, Ibu Lily masih sedikit sibuk. Jadi, Lily harus bersabar sedikit lagi saja.” Tania membuat simbol kecil dengan ibu jari dan telunjuk. Ia mengintip dari celah sempit di antara kedua jari itu. “Sambil nunggu, Lily sama Tante Tania dulu. Mau, enggak?”Lily mulai menarik bibirnya untuk tersenyum. Gadis kecil itu mengangguk kemudian. “Mau!” Tania mendekat pada Lily. Ia memeluk Lily erat, lalu menepuk punggung gadis kecil itu lembut. Lily mulai bercerita tentang apa yang ia lakukan di sekolah, tentang teman-temannya, juga tentang mainan yang baru dibelikan oleh Romi. Tania tersenyum lebar, dan beberapa kali mencubit pipi Lily gemas. Mereka tertawa bersama sampai akhirnya Lily tertidur karena lelah berbicara. “Maaf, malah membuatmu tak bisa beristirahat,” ucap Romi saat menyelimuti Lily. Saat Tania mulai mengobrol dengan Lily, Romi tidak menyela sama sekali. Ia membiarkan Lily dan Tania berbincang tanpa menggangg
“Bagaimana rasanya sendirian, Tania?” Tania meringis menahan sakit. Pertanyaan Sonya memperparah kondisinya. “Hubungan darah tidak akan kalah dengan cinta semalam. Aku akan mengambil kembali Rafael darimu!” Tania tidak mau mendengar lagi. Ia mengakhiri panggilan sepihak. Tubuhnya meluruh ke lantai. Nyeri di perutnya semakin menjadi. Merasa tak tahan, Tania akhirnya memesan taksi online. Ia bersiap seadanya, lalu menunggu di depan pintu rumah. “Tolong cepat ya, Pak.” Tania memohon sambil mengelus perutnya. “Astaga, Mbak!” Supir online itu memekik heboh. Wajahnya terlihat takut saat melihat perut Tania yang buncit. “Mbak enggak mau lahiran sekarang, kan?” Kepanikan supir itu membuat Tania semakin merasa sakit. Ia menggeleng cepat. “Jalan saja!” bentaknya. Supir itu terkejut sesaat sebelum akhirnya menurut. Mobil berjalan perlahan. Beruntung tidak ada kemacetan, jadi Tania bisa sampai cepat di rum
“Tania! Aku enggak bermaksud begitu! Dengarkan aku dulu!” Rafael keras kepala ingin Tania mendengar. Tangan Tania ditarik, sampai Tania hampir terjatuh. Karena sikap Rafael yang berlebihan, Tania jadi semakin geram. “Cukup!” Tania mengangkat tangan. Terdengar sebuah tamparan keras. Rafael terkejut bukan main.“Tania?” Rafael tergagap. Tangannya mengusap pipi yang memerah. Tania sama terkejutnya. Ia menarik mundur tangannya yang gemetar. Panik, Tania cepat melangkah pergi. Ia menyetop taksi dan langsung masuk ke dalam. “Aku … enggak bermaksud begitu.” Tania menyesali apa yang akan lakukan. Namun, taksi tetap melaju. Sesampainya di rumah, Tania masih tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Apa yang aku lakukan?” Tania terduduk di atas ranjang di dalam kamarnya dalam keadaan bingung. Ia menatap jendela lama sampai akhirnya memilih untuk mengambil handphone dari dalam tas. Tania membaca pesan terak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen