Share

4. Penderitaan.

"Alya!"

Namun, karena terlalu lelah, Alya tak mendengar panggilan ibu mertuanya itu. Hingga Ibu Mertua Alya mengambil gelas berisi air dan menyiramnya tepat di wajah Alya.

Membuat Alya terkejut sambil mencari oksigen. Dia mengusap wajahnya. Air itu mengenai wajah dan pakaiannya. Alya melihat Ibu Mertua dan Monik sedang menatapnya sinis.

"Heh, enak-enakan kamu tidur! Liat noh lampu masih gelap belum kamu nyalakan! Dari jam berapa kamu tidur, Hah?!"

"Astagfirullah, Bu. Maafin Alya. Alya capek banget habis beberes rumah," ujar Alya dengan keadaan basah.

"Capek! Capek! Alesan aja kamu! Kamu emang doyan tidur kan kalo suami kamu kerja? Menerima gaji suami dan kamu leha-leha?"

"Alya gak leha-leha, Bu. Alya juga kan kerja di rumah menjahit pakaian. Alya gak cuma mengandalkan uang dari Mas Rama aja."

Ibu Martha tak terima setiap kalimatnya di jawab oleh Alya. "Oh, sekarang kamu sombong kalo kamu juga punya penghasilan sendiri? Begitu?"

Alya merasa sakit hati. Apapun yang dia lakukan rasanya salah di mata mertuanya. Padahal, Alya sudah bekerja keras memasak dan mencuci baju milik Mertua dan adik iparnya. Dia juga menjaga dan membersihkan rumah. Selain itu Alya juga mengerjakan pesanan jahitnya. Sedangkan Mertua dan Adik iparnya itu justru asik-asikan berbelanja ke mall. Tapi tetap saja, mertuanya itu selalu menyalahkannya.

"Nyesel ibu sudah menikahkan Rama sama kamu! Sudah tidak bisa punya anak, pemalas lagi!"

Alya begitu sakit hati, tapi apa daya. Jika dia menjawab kalimat ibu mertuanya, masalah hanya akan semakin panjang. Tapi dia juga tak bisa memaklumi sikap kasar ibu mertuanya itu.

Monik melipat tangannya di dada seraya menatap Alya dengan sinis. "Aku mau mie goreng daging. Tolong buatin ya! Antar ke kamar aku! Jangan pake lama!"

Alya segera melirik pada adik iparnya. Dia tak menyangka bahwa kini keluarga Mas Rama sudah tak menganggap Alya sebagai bagian dari keluarga mereka. Mereka hanya menganggap Alya sebagai seseorang yang terkena kutukan dan sial. Dan tak lebih dari seorang pembantu.

"Rama juga sebentar lagi pulang. Kamu segera siapkan makanan buat suami kamu! Haduh, kalau Mama gak segera pulang, mungkin kamu masih tidur!"

Alya masih menundukan wajahnya yang basah. Sedangkan ibu mertua dan adik iparnya telah berjalan menaiki tangga. Hati Alya sangat sakit, dia ingin menangis, Alya sungguh tidak kuat dengan sikap keluarga Mas Rama padanya.

Di dapur, terdengar suara gelembung air di dalam panci. Sementara Alya sedang mencincang daging untuk tambahan mie goreng yang di pesan oleh Monik. Meski telah di hinakan oleh mertua dan adik iparnya, tapi Alya tetap bersedia menuruti keinginan mereka. Jika tidak begitu, Martha dan Monik pasti akan semakin memperlakukannya dengan buruk.

Sambil menyeka wajahnya, Alya membawa nampan berisi makanan ke kamar Monik, tapi hatinya semakin rapuh saat mendengar Monik dan Martha tengah memuji-muji Mayang.

"Aku bakalan senang banget kalo Mas Rama menikah sama Kak Mayang. Mama setuju?"

"Setuju banget, dong! Dengan begitu Mama bisa punya cucu, dan Mama gak akan kena darah tinggi lagi karena kelakuan Si Alya!" sahut Martha dengan kasar.

Mendengar itu Alya sesegukan. Dia bahkan rasanya tak sanggup memegang nampan di kedua tangannya. Entah pilihan apa yang terbaik untuk rumah tangganya dengan Mas Rama, tapi Alya sudah muak mendengar kata-kata kasar dari keluarga Mas Rama.

Hingga Alya memberanikan diri mengetuk pintu. Meski dia tak yakin bisa menahan amarahnya.

Mendengar ketukan pintu, Monik dan Martha menoleh dengan kompak. "Pasti Si Pembantu," kata Monik segera turun dari ranjangnya.

Begitu pintu terbuka, Monik melihat raut sembab di mata sang kakak ipar. Tapi dia tak perduli. Dia hanya memperdulikan makanan yang telah di buat oleh Alya.

"Makasih, ya!" sahut Monik. Lalu membalikan tubuhnya.

Alya mengangguk ramah. Setidaknya adik iparnya itu masih memiliki sopan santun. Meski dia tahu jika Monik begitu membencinya.

Setelah mengirim makanan ke kamar Monik, Alya kembali ke dapur untuk mencuci piring. Dia juga memanaskan makanan untuk Mas Rama. Hingga tak lama kemudian dia mendengar mesin mobil. Alya segera berlari untuk membukakan pintu.

"Assalamualaikum!"

Alya tersenyum ramah begitu Rama membuka pintu. Itulah yang di inginkan seorang suami. Rasa lelah rasanya hilang begitu saja jika melihat wajah cantik sang istri. Dia memeluk Alya dengan manis dan mendaratkan bibirnya di kening sang Istri.

Rama beberapa kali mendaratkan ciuman di pipi Alya. Hingga Alya merasa geli.

"Kok baju kamu basah, sayang? Kamu habis ngapain?"

Alya menunduk menatap bajunya. Dia tak mungkin bukan mengadukan sikap Martha kepada Rama? Bahwa dia baru saja di siram hanya perkara ketiduran? Alya tahu Rama akan membelanya, tapi Alya hanya tak ingin Rama terlibat perdebatan dengan ibunya itu.

"Oh, ini... Tadi habis cuci piring. Airnya sempat muncrat kemana-mana," ujar Alya berbohong.

Mendengar itu Rama tertawa, dan meminta Alya agar nantinya bisa berhati-hati. Dia mencubit pipi Alya seperti anak kecil. Lalu membelai wajahnya. Dia memuji kecantikan Alya dengan bulu matanya yang lebat, serta hidung yang mancung. Kemudian dia kembali mendaratkan ciuman di pipi istrinya.

"Kamu belum mandi kali, makanya kena cipratan air." Rama terlihat senang menggoda sang istri.

"Udah tadi sore," jawab Alya tanpa melepaskan pelukannya.

"Ah masa sih?" tanya Rama seraya mencium leher istrinya.

"Mas Rama!" teriak Alya kegelian. Dia bahkan mendorong tubuh suaminya karena refleks.

"Suutt, ada ibu dan Monik di rumah ini," lanjut Alya memperingatkan.

Rama tersenyum seraya menarik pinggang Alya agar kembali ke pelukannya.

"Kamu malu?" tanya Rama berusaha menggoda. Sementara Alya menunduk malu.

Keduanya kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka dengan saling bercanda. Rasa perih di hati Alya seketika lenyap saat mendapatkan perlakuan manis dari suaminya.

"Kita mandi sama-sama, yuk?" bisik Rama. Membuat Alya semakin merinding. Meski sudah menikah selama lima tahun, tapi Alya tetap saja merasa asing karena perlakuan Rama.

Sebelum Alya menjawab. Rama begitu saja menggendong tubuh mungil sang istri ke kamar mereka.

Suara tawa keduanya ternyata sampai ke telinga Monik dan Martha di kamarnya.

"Apa sih yang di liat Rama pada Si Alya itu! Sudah tidak cantik, bau masakan, tidak bisa punya anak lagi!" gerutu Martha.

Monik setuju. Dia menatap Mamanya dengan tegas. "Ma, bagaimana kalau kita menyusun rencana buat pisahkan mereka?"

Martha menatap putrinya dengan seksama. "Rencana seperti apa?"

Monik tak menjawab. Dia tersenyum dengan ekspresi licik.

Di kamar mandi, Rama dan Alya saling berhadapan di bawah shower. Sedang mereka sudah tak terbungkus pakaian. Rama mengusap lembut rambut istri yang di cintainya, dan menatapnya penuh cinta.

"Aku yakin tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Aku cinta sama kamu, Al. Dan aku yakin kita bisa memiliki keturunan dengan cara kita sendiri," ucapnya.

Alya menatap mata suaminya penuh haru. Dia begitu bersyukur memiliki suami yang begitu mencintainya. Rama tak meninggalkannya hanya karena dia tak bisa memiliki anak. Sungguh, Alya hanya bergantung pada Rama setelah kepada Yang Maha Kuasa.

Rasanya Alya ingin mencurahkan segala kegundahannya kepada Rama, tapi Alya masih menunggu waktu. Dia yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Alya hanya merasa dirinya perlu bersabar sedikit lebih lama lagi.

Alya memejamkan matanya bersamaan dengan air mata yang mengalir perlahan, tapi air shower menutup kesedihan Alya. Hingga Rama tak mengetahuinya.

"Aku mencintaimu, Alya," bisik Rama kemudian mencium bibir istrinya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status