“Lit, mending istirahat dulu sana. Lo belum makan daritadi, kan?”
“Nggak papa, mas.” “Jangan, nanti kalau lo tumbang bisa berabe semuanya. Pekerjaan kita masih panjang, jadi kalau ada waktu buat makan buruan lakuin jangan ditunda.” “Belum lapar, mas.” Lita tetap dengan pendiriannya. “Bukan masalah lapar atau nggak, tapi waktu. Kerjasamanya biar berjalan lancar, jangan ngikutin diri sendiri.” Fadil sudah mulai kesal mendenhar jawaban Lita. Malas mendengarkan suara mereka yang meminta dirinya untuk makan padahal belum terlalu merasakan lapar sama sekali, kondisinya saat ini memastikan acara yang mereka buat berjalan dengan lancar. Melibatkan banyak pihak dan menggunakan banyak tenaga untuk interaksi dengan mereka semua yang berada di acara, posisi Lita sendiri adalah asisten Pras yang artinya harus memastikan semua pada tempatnya agar Pras bisa sedikit santai bekerja. “Baru makan?” Lita menganggukkan kepalanya tanpa menatap sang sumber suara yang sudah sangat sering di dengar, beberapa hari menjaga jarak dengan pria yang secara tiba-tiba duduk dihadapannya. Fokus Lita adalah menikmati makanan, mencoba tidak peduli dengan keberadaannya. “Kenapa menghindar?” “Siapa yang menghindar?” Lita mengerutkan keningnya menatap sekilas Pras. Suara ponsel menghentikan pembicaraan mereka, Lita menghembuskan napas panjang melihat siapa yang mengirim pesan. Meletakkan sendoknya yang langsung berbalas pesan dengan Damian, pria asyik yang bisa diajak bicara apapun. Tama yang melihat Damian pada saat itu mengatakan jika tampak sebagai pria baik-baik, tapi meskipun begitu tetap waspada karena apa yang tampak diluar belum tentu sama dengan didalam. “Selesaikan makan baru main ponsel.” Pras mengatakan dengan nada kesal. Lita meletakkan ponselnya, bukan karena kata-kata dan nada suara Pras yang kesal melainkan memang sudah tidak ada yang perlu dibahas. Melanjutkan menikmati makanan dihadapannya, lagi-lagi tidak peduli dengan keberadaan Pras dihadapannya. Membereskan perlengkapan makanannya dan bergabung bersama lainnya tanpa menghiraukan Pras yang harus menghembuskan napas panjang dan lelah. “Wajah Mas Pras kenapa? Habis lo apain?” Manda berbicara pelan saat Lita berada dekat dengannya. Lita menatap sekilas lalu mengangkat bahunya “Nggak tahu, ada masalah kali sama ceweknya.” “Lo tahu ceweknya Mas Pras?” Lita mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Manda secara tiba-tiba dengan tatapan tanda tanya “Mas Pras itu nggak pernah dekat sama cewek, dulu gue mikir dia pernah trauma atau apa makanya lo bilang gitu pastinya penasaran ceweknya. Anak-anak pastinya juga penasaran sama ceweknya Mas Pras, siapa yang bisa mendapatkan hati Mas Pras pastinya sangat beruntung.” “Hanya asal bicara.” Lita mengatakan dengan nada dingin. Lita menggelengkan kepalanya, mereka tidak tahu bagaimana Pras diluar kantor. Wanita yang dia datangi adalah wanita dengan usia yang tua, Lita tahu karena tampak sangat jelas bagaimana wajah wanita tersebut. Wajah wanita yang sudah memiliki pengalaman yang lebih dibandingkan dirinya atau cewek-cewek didalam tim. Pras pastinya tidak bodoh membuka siapa kekasihnya, secara wanita yang disukainya lebih tua. “Kita setuju kalau lo sama Mas Pras.” Manda melanjutkan kata-katanya. Lita bergidik ngeri saat mendengar persetujuan mereka, tampaknya bersama pria lain jauh lebih menyenangkan daripada bersama Pras. Bayangan yang dilihatnya kembali hadir, menggelengkan kepalanya agar tidak berpikir yang terlalu jauh. “Sakit?” Lita hampir saja teriak mendengar suara Pras dibelakangnya dan langsung menatap kearahnya dengan tatapan bingung “Mending istirahat dulu.” “Baik-baik saja kok, mas.” Lita memilih menghindar dari Pras, berada didekat pria itu sama sekali tidak membuat dirinya nyaman. Pembicaraan mereka yang terlalu pribadi semakin membuat Lita terlalu masuk kedalam kehidupan pribadi masing-masing. “Gimana sudah semua? Nggak ada halangan?” tanya Lita ketika melihat tim peralatan mengerjakan tugasnya. “Udah semua, mereka sudah kasih tahu butuh apa aja. Lagian technical meeting kapan itu sangat membantu, kita juga sudah memastikan semua lampu nggak ada masalah.” Lita menganggukkan kepalanya “Lo tenang aja, mending duduk aja. Kita udah biasa ngatur beginian.” “Bosen kalau duduk terus, mas.” Lita mengelak kata-kata mereka. “Bosen atau malas sama Pras?” goda salah satu dari mereka. “Apaan sih, mas. Ya udah gue cek yang lainnya.” Lita meninggalkan mereka dengan mengecek yang lain, setelah semuanya sudah aman secara otomatis mencari tempat duduk agar bisa membuat laporan yang dikirim ke Pras. Membuka laptop dan langsung mengerjakan laporan tanpa peduli sekitar, walaupun matanya menatap sekitar seakan mengingat apa yang terjadi disana. “Ngapain?” Lita hampir saja mengumpat mendengar suara Pras. “Kerjain laporan, mas. Mumpung masih ingat.” Lita menjawab sopan tanpa menatap Pras. Melihat sikap Lita yang selalu menghindar semakin lama semakin membuat Pras kesal, memikirkan cara agar mereka bisa keluar dan berbicara, tapi tampaknya Lita selalu mencari cara dengan alasan menolak semua permintaan Pras. Masih diingat dengan jelas pertemuan yang dilakukan Lita dengan pria di cafe, melihat dan mendengar semua yang terjadi diantara mereka, pertemuan yang sukses membuat Pras kesal setengah mati ditambah sikap Lita semenjak iti. “Kerjakan nanti, ikut aku!” “Kemana? Kerjaan disini masih ada yang harus dilakukan, kalau memang nggak penting lebih baik gue nggak ikut dan mas bisa ajak yang lain.” “Siapa atasan disini? Buruan ikut! Tidak ada bantahan!” Pras semakin kesal dengan semua yang dilakukan Lita, meninggalkan wanita itu dan sedikit tidak peduli dengan apa yang dilakukannya. Menghentikan langkahnya tepat di pintu masuk untuk melihat apa yang sedang dilakukan, senyum tipis hadir di wajahnya saat melihat Lita berjalan dengan mengerucutkan bibirnya. Pemandangan yang sudah sangat ingin dilihatnya, semua tidak bisa dilakukan karena sikap Lita. “Kemana kita, mas?” tanya Lita ketika mobil sudah menjauh. “Ngopi.” “Ngopi?” tanya Lita memastikan pendengarannya yang diangguki Pras tanpa beban “Teman yang lain sedang sibuk dan mas ajak beli kopi?” “Mereka butuh camilan, jadi kita beli kopi dan camilan. Jangan terlalu serius bekerja, ada kalanya kita membutuhkan waktu untuk sekedar menikmati hidup dengan kopi dan camilan.” Lita hanya bisa menghembuskan napas panjangnya, sikap Pras sama sekali sedang menguji dirinya yang ingin pergi jauh. Hembusan napas dilakukan beberapa kali agar sedikit lebih tenang, mengalihkan pandangan kearah lain agar tidak perlu berinteraksi dengan Pras. Sayangnya semua yang dilakukan Lita tidak lepas dari tatapan Pras melalui sudut matanya, Pras tahu jika Lita sedang marah dengannya. “Jangan ketemu pria lain, jangan lupa kalau aku sudah melamar kamu.” Lita memilih tidak menjawab, melihat tidak ada respon dari Lita seketika membuat Pras semakin kesal dan Lita benar-benar menguji kesabarannya. Belum ada yang bisa menguji Pras sampai sejauh ini, wanita yang dekat dengannya hanya membutuhkan kehangatan dan tidak akan bersikap seperti Lita. “Kamu nggak dengarin?” Pras mengeluarkan nada tinggi yang membuat Lita terkejut. “Dengar, mas. Hubungan kita hanya depan ayahnya mas bukan yang lain.” “Apa harus aku buat mereka tahu?” Pras berkata dengan nada dingin. “Nggak usah macam-macam, mas. Jangan melewati batas! Mas sendiri masih bermain dengan wanita-wanita itu, bagaimana bisa serius menjalin hubungan.” Lita berkata dengan nada datarnya “Hubungan kita hanya rekan kerja, lebih tepatnya atasan dan bawahan. Apa masih ada lagi yang mau dibeli setelah ini, mas? Aku harap mas bisa professional setelah ini!” Pras menggenggam tangannya erat, menahan emosi mendengar semua kalimat yang keluar dari bibir Lita yang rasanya ingin dicium. Pertama kali merasakan perasaan tidak nyaman dengan wanita, tidak mungkin dirinya memiliki perasaan pada gadis muda yang menjadi asistennya tersebut dan sudah lama tidak merasakannya. Ponselnya berbunyi, melihat nama yang ada di layar tidak bisa menolak dan langsung menekan tombol hijau, mengaktifkan mode speaker agar memudahkan untuk berbicara. “Rendra, papa bilang kalau kamu sudah punya calon istri. Kapan mau dibawa ke rumah?”“Cantik, Pras pasti terpesona.”“Pras atau Rendra sih?” “Pras nama buat teman-temannya, Rendra khusus keluarga.” Lita menjawab Berry yang disampingnya.“Kita manggilnya Pras, Teh.” Laras memberitahu Berry yang menganggukkan kepalanya.“Rombongan pengantin pria sudah datang.” Dona memberitahukan setelah membuka ponselnya.Mendengar informasi jantungnya kembali berdetak kencang, perasaannya sangat tidak menentu. Tepukan di bahu pelan membuyarkan semua pikiran Lita, menatap ketiga kakak iparnya yang tersenyum lebar. Lita hanya bisa membalas dengan senyum lebar, menghilangkan perasaan gugupnya dengan meremas satu sama lain.“Kamu nggak keluar?” tanya Dara yang dijawab Lita dengan gelengan kepalanya.“Nunggu kata sah baru keluar, biar Pras fokus.” Berry memberikan informasi yang diangguki Dara.Ruangan hanya mereka berlima, suara yang mendominasi adalah televisi menampilkan ke
“Kamu tahu kenapa kita ajak ketemuan, kan?” Rendra menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Seno, tatapannya pada ketiga pria yang sedang menatap kearahnya dengan tatapan sama. Rendra sangat tahu apa yang akan mereka bertiga bicarakan, semua pasti berkaitan dengan hubungannya bersama adik mereka yang tidak lain calon istrinya.“Lita nggak tahu kita ketemuan? Kamu nggak kasih tahu, kan?” tanya Hardian yang dijawab Rendra dengan gelengan kepala.“Aku udah bilang kalau dia lembur,” sahut Fandi memutar bola matanya malas “Kamu tahu alasan ini, kan?” “Tahu, Kang.” Rendra menganggukkan kepalanya.“Masih mau lanjut?” tanya Hardian terlebih dahulu.“Mau mundur juga uang udah keluar, jadi apa yakin?” sambung Seno yang diangguki Rendra tanpa ragu “Apa sih yang kamu suka dari Lita? Manja gitu.”“Semua dari Lita, Kang.” Rendra mengatakan tanpa keraguan.“Halah...sekarang aja begini, nanti ka
“Sudah yakin? Kamu nggak akan menyesal nantinya? Kamu tahu masa lalu Pras, yakin dia benar berubah? Kalau dia nanti balik lagi gimana? Kamu siap?” Lita menatap tidak percaya mendengar pertanyaan Dara, pertanyaan yang keluar setiap kali membahas tentang Rendra dan sudah dijawabnya berulang kali dengan jawaban yang sama, tapi tampaknya sang sahabat memang tidak ingin dirinya menyesal nantinya.“Pertanyaan kamu sudah aku jawab berulang kali, apa nggak bosan? Aku harus yakin kalau dia berubah, lagian taruhannya besar kalau sampai dia nggak berubah dan asal kamu tahu aku bukan wanita lemah.” Lita menatap malas pada Dara, mengatakan tujuannya datang ke tempat sang sahabat “Aku kesini mau minta bantuan.” “Bantuan apa?” tanya Dara penasaran.“Bantu aku menyiapkan proses pernikahan.” Lita menatap penuh harap kearah Dara.“Memang kapan? Masih lama, kan? Kaya diburu apa aja, kebiasaan semua serba dadakan.” Lita menggelengkan
“Akhirnya! Kita akan menjadi keluarga.” “Ya, Pak.”“Masa masih panggil begituan? Bentar lagi jadi keluarga loh.” Rendra menatap tidak enak pada Fandi mendengar nada protes dari Berry yang diangguki lainnya, Fandi sendiri memilih diam tidak menghiraukan kalimat godaan tersebut.“Grogi tadi?” tanya Dona yang duduk disamping Fandi, Rendra memilih menganggukkan kepala sambil tersenyum “Aku dengar mau lanjut kuliah? Kerja di rumah sakit juga jadi staf GA, benar?” “Nggak usah tarik dia.” Seno memberikan peringatan.“Aku hanya tanya, Kang. Nggak ada niat begitu.” Dona mengerucutkan bibirnya.“Aku udah punya perjanjian sama Pras, sayang.” Fandi memberikan informasi yang membuat semua tertarik “Masalah kantor lawyer yang aku buat, aku butuh orang yang bisa dipercaya dan karena hubungan Pras dan Lita akhirnya kepikiran itu.”“Lita panggil Rendra, Fandi panggil Pras. Memang nama yang benar siapa? Kita ma
“Malah ketawa! Aku itu kesal sama papa dan mama yang malah mau ikut campur rencana lamaran, malah hubungi keluarga besar buat datang ke acara lamaran. Aku udah bilang kalau acaranya sederhana.” Rendra melupakan rasa kesal pada kedua orang tuanya “Mama katanya udah hubungi mama kamu?” Lita menghentikan tawanya sambil menganggukkan kepalanya ketika melihat ekspresi Rendra yang mengerucutkan bibirnya “Papanya mas memang benar, aku tahu kalau mas sedang menahan diri selama sama aku. Makasih, sayang sudah bisa bertahan selama ini. Mama memang hubungi mama aku, mereka bicara banyak hal dan kayaknya bakal berubah dalam lamaran besok.” Lita membelai pipi Rendra pelan dengan tatapan lembut sambil menjelaskan apa yang terjadi “Jadi sekarang sudah yakin melamar? Kang Fandi datang jumat malam, aku langsung ke Bandung sama mereka.”“Jadilah, mama udah booking hotel dekat rumah kamu. Mama bilang karena hanya keluarga jadinya nggak enak kalau nggak buka kamar, pantas bookin
“Uang itu uang kamu, mau dipakai apa terserah. Lagian kenapa dulu nggak dipakai? Sekarang terserah mau dipakai buat apa, kami mempersiapkan semua kebutuhan kamu selama kuliah. Papa tahu kalau kamu memang nggak ada minat di kedokteran, tapi bukan berarti kami nggak memberikan kamu uang untuk kuliah. Memang kamu pakai buat apa? Lamaran?.”Rendra menggelengkan kepalanya “Aku mau lanjutin kuliah, pa.”Suasana seketika hening ketika Rendra mengatakan niatnya, melanjutkan kuliah dengan jam kerja yang dirasa sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Mengambil jam kuliah malam, sedangkan paginya akan kerja. Lita sudah tahu dan membantunya memilih kampus, awalnya akan kembali ke kampus lamanya tapi kakak kedua Lita yang tidak lain mantan dosennya memberikan saran kampus lain.“Kamu tetap melamar Lita, kan?” tanya Amelia memecah keheningan.Rendra tersenyum mendengar nada suara sang mama khawatir “Ya, ma. Minggu depan kita lamar Lita, kakaknya bisa
“Beneran, mas?” Lita memicingkan matanya menatap Rendra yang duduk dihadapannya, informasi yang diberikan menurut penilaiannya adalah lampu hijau, hanya saja Lita tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan pria dihadapannya.“Kamu nggak percaya sama aku?” Rendra menatap penuh selidik.“Bukan nggak percaya, mungkin memang nggak percaya.” Lita memutuskan terus terang “Kang Seno ini termasuk sulit dalam percaya sama orang, pastinya Kang Seno sudah tahu mas bagaimana dari Kang Fandi, walaupun nggak akan percaya penuh. Kang Seno beranggapan apa yang dikatakan orang lain adalah informasi berharga dan akan menjadi penilaian sendiri ketika bertemu nantinya.” Rendra mengangguk menyetujui kalimat yang keluar dari Lita, sepanjang mereka berbicara tadi semua yang dikatakan Lita memang benar adanya. Sebenarnya kalimat terakhir bukan sebuah restu, melainkan keseriusan dirinya dengan Lita dan semua rencana masa depan yang sudah dibuat ketika bertemu
“Kesana sama teteh! Akang mau bicara sama pacarmu, urusan pria.”Lita menghentakkan kakinya menatap tajam pada Seno, kakak pertamanya. Kedatangan tiba-tiba ke apartemen ditambah keinginannya bertemu dengan Rendra, setidaknya tidak mengganggu kegiatan walaupun sekarang sedang weekend. Melihat Rendra yang tampak tenang, walaupun Lita tahu jika kekasihnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.“Akang jangan aneh-aneh! Aku kasih tahu papa dan mama!” Lita memberikan ancaman.“Siapa lagi? Fandi dan Hardian? Semua akan dukung aku.” Seno mengatakan dengan sangat santai.“Aku nggak papa,” ucap Rendra menenangkan Lita yang langsung mengalihkan pandangannya.“Mas nggak tahu gimana Kang Seno.” Lita mengerucutkan bibirnya.“Mau ke tempat Berry atau nggak restui hubungan kalian?” Lita membelalakkan matanya menatap tajam Seno “Makanya kalau dibilang nurut, nggak aku apa-apain cowok ini.” Lita menghentakkan kakinya melangkah
“Segar sekali.” Rendra hanya tersenyum mendengar kalimat rekan kerjanya, Danu. Memilih tidak menghiraukan kalimat godaannya dengan fokus pada pekerjaan. Suasana ruangannya seketika hening, semua sibuk pada pekerjaan masing-masing, bahkan mereka tidak menyadari waktu istirahat jika sang bos menegur mereka bertiga.“Kalian itu memang fokus sekali, sampai-sampai istirahat nggak tahu. Makan siang dimana?” Gani menatap mereka bertiga gantian.Rendra membuka ponselnya dimana Lita sedang istirahat dengan teman-temannya, mungkin lebih baik istirahat di kantin atau keluar dari rumah sakit mencari tempat makan yang enak dan murah. “Pras, kamu mau makan dimana?” suara Danu membuyarkan lamunannya “Pak Gani tanya itu.” “Sekitar sini, Pak.” Rendra menjawab tidak enak.“Kita makan siang bareng, gimana?” ajak Gani menatap mereka bertiga.“Pak, saya ajak anak HRD ya? Rina.” Amel membuka suaranya.“Rina yang jo