“Kemarin gak semangat, sekarang minta ketemu lagi,” cetus Gunawan yang sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri tetapi masih tertangkap jelas oleh Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, tidak jauh dari Gunawan.
CEO muda itu menatap punggung sang asisten dari balik kacamata. Gunawan yang duduk di sofa ruang tamu ruangan itu tampak sibuk dengan ponselnya lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.
“Halo. Selamat pagi, Nona Agnia.” Sapaan dan senyum ramah sang asisten yang terdengar kemudian membuat Nibras semakin memicingkan kedua matanya dan menajamkan indera pendengaran.
“Ah, ya. Maaf, soal kemarin. Sepertinya ada kesalahpahaman,” tukas Gunawan dengan nada menyesal.
Nibras tak lagi fokus pada pekerjaan. Ia benar-benar memperhatikan asistennya secara penuh. Jika Gunawan dapat langsung menghubungi Agnia maka pria itu memiliki nomor mantan istrinya. Nibras mendengkus kasar dengan rahangnya yang sekilas mengetat saat menyadari hal tersebut.
Detik berikutnya, Gunawan terpantau tertawa kecil hingga Nibras semakin tak nyaman karena rasa aneh yang dari kemarin tidak juga mereda.
Seketika, Nibras bangkit dari kursi. Langkahnya yang lebar-lebar membawanya begitu saja hingga ia duduk di dekat Gunawan yang terkejut karena kehadirannya.
Asisten Nibras itu berdeham kecil, menghilangkan rasa kikuk yang mencuat begitu saja. “Jadi, besok sore bisa?”
Gunawan terdiam sebentar lalu tersenyum lagi. “Syukurlah. Kalau begitu-”
Pria lebih muda itu kembali terkejut saat Nibras merebut ponsel dari tangannya lalu mengambil alih pembicaraan.
“Temui aku di Delifore Cafe. Besok jam 4 sore. Jangan terlambat!” Kalimat yang diucapkan tanpa jeda itu benar-benar mengakhiri percakapan yang diputus secara sepihak oleh Nibras.
“Pak!” Gunawan protes atas sikap Nibras yang seenaknya sembari mengambil kembali ponsel miliknya. “Kenapa jadi tidak sopan begitu?”
“Urusanku! Lagian, kamu itu terlalu ramah terhadap klien! Ralat, calon klien!”
Gunawan mengernyitkan dahi. “Calon dari mana? Bukannya Bapak sudah menyetujui proposalnya kemarin, sebelum pulang?”
“Lain kali jangan kecentilan seperti itu kalau bicara dengan lawan jenis walaupun soal pekerjaan!” Merasa salah bicara, Nibras berdecak dan memasang tampang galaknya.
“Saya ‘kan memang selalu seperti ini!” Asistennya itu mencebik tak terima tetapi langsung bungkam saat lagi-lagi tatapan Nibras menusuk begitu dalam.
“Kenapa kamu yang menghubungi? Bukannya tim Marketing?”
Helaan napas terlepas dari Gunawan, merasa seketika hari ini akan menjadi hari yang sangat buruk untuknya. “Tadi ‘kan Bapak suruh saya untuk menghubungi Nona Agnia-”
“Tapi bukan berarti harus kamu yang menghubungi dia! Kamu bisa menyuruh salah satu dari tim marketing untuk itu! Dan sejak kapan kamu memanggil klien dengan Nona?” Nibras semakin emosi dengan setiap kata yang terlontar dari mulut asistennya.
Gunawan terdiam sebentar. Antara kesal tetapi tidak ingin membuat kericuhan. “Maaf. Kebiasaan lama.”
Awal Gunawan mengenal Agnia adalah sebagai istri Nibras. Panggilan Nona memang ia sematkan pada wanita itu secara Agnia adalah orang yang penting di keluarga Nibras.
Sesungguhnya, Gunawan sama terkejutnya dengan Nibras saat menyambut Agnia di lobi ruang direktur kemarin.
“Kau tahu dia bakal datang?” Tatapan curiga Nibras kembali mengarah pada Gunawan.
“Tidak.” Dengan cepat Gunawan menggeleng protes. “Setahu saya, tidak ada nama Nona Agnia- maksud saya Ibu Agnia di dalam proposal saat saya membacanya. Bapak dapat proposal dari mana?”
“Kemarin kau ‘kan yang menaruhnya di meja rapat?”
Asisten itu berpikir sebentar. "Ah, sepertinya itu proposal baru dari tim marketing. Saya hanya menaruhnya di meja Bapak, yang tidak Bapak baca juga itu."
Sindiran Gunawan tidak digubris oleh Nibras. Pria itu lebih memikirkan alasan kembalinya sang mantan istri.
"Di Brisbane ada banyak perusahaan pendanaan yang lebih besar dan bagus. Mengapa mereka mencari ke sini?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Nibras sementara otaknya tak berhenti memutar kenangan lama antara dirinya dan Agnia. Sialnya, semakin lama semakin mengusik dirinya meski tanpa sadar ia menikmatinya.
Gunawan menghela napas perlahan. "Bapak beneran tidak baca proposalnya, ya? Apa menganggap perusahaan ini tidak penting?'
Nibras berdecak sembari menatap tajam ke arah asistennya. Ia tak mengatakan apapun karena tuduhan yang Gunawan tujukan padanya memang benar. Perusahaan Agnia tidak terlalu menarik perhatiannya baik secara skala tipe perusahaan dan juga keuntungan ke depannya. Biasanya ia akan menyerahkan jenis perusahaan ini untuk ditangani oleh tim marketing atau asistennya.
Karena alasan itu ia menyuruh Gunawan untuk menggantikannya kemarin, tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain yang membuat Nibras diam-diam merasa pertemuannya dengan sang mantan memang seharusnya terjadi, meski dalam hati ia tentu saja selalu menolaknya mentah-mentah.
"Mereka akan buka kantor cabang di sini. Survey lokasi maupun pasar juga sudah dilakukan dari tiga tahun yang lalu. Memang bukan Nona Agnia yang melakukannya, tetapi manajer mereka yang lain."
"Mengapa dia kembali?" tanya Nibras dengan nada yang Gunawan sendiri merasa aneh mendengarnya. Ia tak yakin jika pertanyaan itu ditujukan untuknya. Apalagi tatapan atasannya tampak sedikit menerawang.
"Kalau untuk itu saya tidak tahu. Tetapi memang Nona ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk pembangunan kantor cabang di Indonesia." Gunawan tetap memberikan jawaban.
Nibras menghela napas kali ini sangat panjang seiring pria itu melepas kacamatanya dan memijit pucuk hidungnya. Matanya yang terpejam mengisyaratkan jika pria itu sedang benar-benar memikirkan sesuatu dengan khusyuk sehingga Gunawan tak ingin mengganggunya.
"Bisakah kau mencari tahu di mana dia tinggal?" tukas Nibras tiba-tiba sedikit mengejutkan Gunawan.
Bukan perkara karena dari sunyi tiba-tiba berbicara, tetapi lebih memintanya untuk melakukan sesuatu yang bersifat privasi meski ia sudah sering melakukannya untuk Nibras.
Namun, Agnia itu mantan istri atasannya. Gunawan seperti sedang mencampuri kehidupan rumah tangga orang lain.
Ah, tetapi bukankah sedari dulu Gunawan memang sudah seperti itu? Bahkan saat keduanya masih menikah pun?
"Pak, ehm." Asisten itu menjeda sebentar. "Boleh saya tahu untuk apa?"
Spontan Nibras memutar kepalanya ke arah sang asisten dan menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu?"
Gunawan seketika merasa kikuk. "Ma-maksud saya, Nona Agnia bukan istri Bapak-"
"Karena itu berhenti memanggilnya dengan sebutan Nona!" tukas Nibras tak mau kalah. Ia menyadari jika dirinya memang sedikit berlebihan dengan permintaannya barusan.
"Maaf," sahut Gunawan sungguh-sungguh. Baginya, Agnia memang akan selalu memiliki posisi seperti itu.
Nibras yang tiba-tiba berdiri lagi-lagi mengejutkan Gunawan. Ia tak lepas memandangi atasannya yang berjalan kembali menuju meja kerjanya.
Saat atasannya tampak sudah berkutat dengan pekerjaan, Gunawan menghampiri dan berhenti tepat di depan meja tersebut. "Bapak yakin tetap akan bekerja sama dengan Nona Agnia?"
Gerakan tangan Nibras yang sedang membolak balik dokumen pun terhenti. Pria itu terdiam cukup lama membuat Gunawan mulai gugup dan seketika ingin kabur dari sana karena merasa menanyakan hal yang salah.
Kepala Nibras terangkat perlahan dan menatap ke arahnya dengan penuh arti dengan satu alis terangkat. "Kau meragukan kemampuanku bahkan hanya untuk memisahkan mana masalah pribadi dan mana masalah pekerjaan?"
Sejujurnya, itulah yang Gunawan rasakan saat mendengar nada bicara Nibras barusan. Ia bahkan tak dapat meraba bagaimana perasaan atasannya yang sesungguhnya. Cukup pernikahan mereka saja yang berakhir karena kesalahpahaman yang seharusnya dapat dijelaskan sedari awal.
"Tidak," jawab Gunawan singkat. Ia juga tak ingin memperpanjang pembahasan.
Tak berkata apapun, Nibras kembali menenggelamkan diri dalam dokumen yang ada di tangannya sementara Gunawan diam diam menghela napas pelan. Ia pun pamit keluar untuk melakukan pekerjaan yang lain.
***
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan