Suasana hening dan canggung begitu terasa di ruang rapat itu. Agnia tak tahu harus berkata apa selain berusaha meredam rasa terkejutnya atas apa yang sedang terjadi.
Di sisi lain, Nibras menatap tajam ke arah istrinya … ah, tidak - mantan istrinya, dengan dahi yang berkerut. Kedua lengannya yang cukup kekar terlipat ke dada sementara kaki panjangnya menyilang dengan pose yang seakan ingin menunjukkan jika dialah yang mengendalikan semua yang ada di tempat ini.
Seketika perhatiannya tertuju pada jemari Agnia yang sedang saling meremas di atas pangkuan hingga kuku-kukunya memutih. Satu alis pria itu sedikit terangkat, karena masih mendapati kebiasaan istrinya .. ah, bukan - mantan istrinya masih sama. Meremas jemarinya sendiri di kala gugup.
Dalam hati, Nibras merutuki dirinya karena harus berusaha lebih keras untuk membiasakan diri jika wanita di depannya ini sudah menjadi mantan. Ingat itu, MANTAN!
Dari balik kacamatanya, manik Nibras sekarang naik pada paras wanita di depannya yang tampak semakin cantik. Empat tahun berpisah sepertinya membuat Agnia lebih bebas mengekspresikan diri hingga terlihat lebih bahagia daripada saat menikah dengannya. Ada rasa tak suka dalam diri Nibras saat memikirkan hal tersebut. Perlahan ia mengambil proposal yang tersedia lalu kembali membacanya.
Diamnya pria itu karena membaca membuat Agnia semakin gugup. Ia merasa seperti seorang mahasiswa yang sedang menghadap dosen pembimbing tugas akhirnya.
Ah, tidak. Agnia merasa sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa!
Tak berhenti berdoa dalam hati, semoga saja kehadiran Agnia tidak mempengaruhi keputusan pria yang ada di depannya ini tentang apa yang akan mereka bicarakan.
"Jadi Anda perwakilan dari FutureIt?" Suara rendah Nibras sedikit mengejutkan Agnia dan sialnya, masih juga meremangkan perempuan itu.
"Iya..."
"Maaf, saya tidak bisa mendengar Anda. Bisa bicara-"
"Iya!" Agnia nyaris berteriak karena sedikit kesal, merasa jika mantan suaminya sedang mengerjainya. Namun, detik berikutnya ia segera menyadari kesalahannya. "Ma-maaf. Bukan maksud saya-"
"Tak apa." Nibras mengulas senyum miring.
Pria itu kembali meletakkan proposal ke atas meja, bahkan terlihat sedikit melemparnya seakan itu bukanlah sesuatu yang penting.
"Apa kabarmu?" tanya Nibras sudah bersedekap lagi. Seketika otak Agnia beku hingga membiarkan pertanyaan sinis mantan suaminya itu menggantung begitu saja.
Agnia terlalu sibuk memikirkan nasibnya, terlebih masa depan perusahaan yang sepertinya akan bergantung dengan suasana hati Nibras hari ini.
Merasa diacuhkan, dahi Nibras berkerut perlahan. Ia berdecak lirih seiring wajahnya yang mulai tertekuk, sembari membenahi letak kacamatanya yang sedikit melorot. "Apa karena saya mantan suamimu lalu kau berhak mengacuhkanku?"
Terkejut, Agnia segera melihat ke arah pria yang sudah menatap tajam ke arahnya. "Bu-bukan begitu! Aku ... mak-maksudnya... saya baik-baik saja."
Nibras terdiam dengan wajahnya yang masih saja tertekuk. Agnia lupa kapan terakhir kali melihat mantan suaminya bersikap seperti itu. Manik hitam kelam pria itu juga sepertinya masih memberikan efek tersendiri bagi Agnia, sama persis seperti pertemuan mereka pertama kali di kencan buta mereka.
"Anda ke sini bukan untuk mengagumi saya ‘kan, Nona Agnia Bakhtiar?" Sindiran Nibras menyadarkan Agnia yang terlalu lama menatap ke arah pria itu. Pipinya seketika bersemu merah dan segera ia sembunyikan dengan menundukkan kepala dalam-dalam.
Nibras cukup terusik dengan tingkah Agnia kali ini. Lidahnya bergerak memainkan pipi bagian dalam, berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang sedari tadi berusaha ia tahan, sejak melihat mantan istrinya kembali.
"Mengapa kau kemari?" Kali ini, Nibras tak dapat lagi menutupi rasa penasarannya.
Dahi Agnia berkerut seiring wanita itu menatap ke arahnya tak mengerti. "Perusahaan menugaskan saya. Mau apalagi?"
Merasa tak puas dengan jawaban yang Nibras dengar, pria itu menatap Agnia semakin intens dengan satu alis terangkat. Merasa mantan suaminya seperti mengharapkan jawaban lain darinya, kedua manik Agnia pun spontan membulat.
"Anda pikir saya tahu kalau Anda yang menjadi orang yang akan saya temui?" Mau tak mau emosi Agnia mulai terpantik. Ia sedikit tersinggung jika Nibras benar-benar mengira dirinya seperti itu.
"Kupikir memang begitu alasannya." Senyum miring kembali terbit begitu saja di wajah Nibras membuat Agnia menatap kesal ke arah mantan suaminya itu.
Merasa tak tahan lagi, Agnia pun segera bangkit dari duduk. Ia menatap semakin tajam ke arah Nibras yang tak ia sangka akan bersikap tidak profesional mengingat betapa seriusnya pria ini dulu.
"Maaf. Sepertinya saya tidak dapat melanjutkan perbincangan ini untuk sementara. Saya akan menghubungi pihak perusahaan saya untuk mengatur ulang jadwal-"
"Kau pikir kau siapa? Mengatur jadwalku sekehendak hatimu? Aku bukan pengangguran yang hanya bermain-main di sini!" Kali ini Nibras tampak serius berkali-kali lipat membuat Agnia sedikit menciut.
"Kalau begitu bisakah Anda tidak menuduh saya macam-macam?" Suara lirih Agnia terdengar sedikit mengeluh. “Saya tahu saya sudah tiba di sini sejak semalam tetapi perjalanan udara selama enam jam itu sudah cukup melelahkan. Jadi saya mohon pengertiannya.”
Meski Agnia merasa ia memberikan informasi yang tidak perlu tetapi ia juga tak ingin semakin lelah menghadapi kelakuan Nibras yang entah mengapa menyimpan dendam begitu besar padanya.
Menyadari sikapnya yang cukup kelewat batas, Nibras memejamkan mata seraya mengurut kening guna menormalkan kembali emosinya seiring helaan napas terlolos darinya. Dengan menggerakkan dagunya sekilas, pria itu menyuruh Agnia untuk duduk kembali.
Sedikit ragu, Agnia pun menuruti yang dipinta. Lagipula bisa runyam urusannya jika mereka benar-benar mengedepankan ego mereka masing-masing. Apalagi karena perkara yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka.
"Kau tak tahu jika perusahaan ini salah satu anak perusahaan keluarga Shadeeq?" Nibras bertanya dengan wajah yang sangat serius.
Agnia memberanikan diri untuk membalas tatapan mantan suaminya yang seakan ingin menerkamnya itu.
"Sejujurnya, saat mengetahui perusahaan yang harus saya temui adalah HS Funding & Investment, saya tahu jika ini adalah salah satu perusahaan milik keluarga Bapak.”
“Tetapi saya tidak menyangka kalau Bapak yang akan menjadi pimpinannya. Karena seingat saya, Bapak dulu menjabat sebagai CEO perusahaan konstruksi, sama seperti perusahaan Daddy- maksud saya Pak Hadi, ayah saya."
Nibras cukup mengapresiasi kejujuran Agnia apalagi ternyata wanita ini masih mengingat tentang keluarga dan pekerjaannya dulu. Mau tak mau menyentil bagian otaknya yang menyimpan memori tentang mereka berdua.
"Tapi kalau Bapak memang keberatan menemui saya-"
"Siapa yang bilang saya keberatan?" potong Nibras tak terima hingga pria itu memajukan tubuhnya.
Agnia tak melanjutkan lagi kalimatnya. Bagaimana pun sepertinya ia akan selalu menjadi pihak yang tidak benar apapun argumen yang ia katakan. Karena itu, ia memilih diam saja.
"Berapa dana yang perusahaanmu butuhkan?" tanya Nibras tanpa basa basi.
Agnia mengernyit. "Apa Bapak sudah baca proposal-"
"Apa itu hobimu sekarang? Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Tinggal jawab saja berapa, apa susahnya, sih!" Gerutuan pria di dekatnya yang cukup panjang itu membuat Agnia kembali tak nyaman.
"Dengar." Agnia memijit pelipisnya sebentar sebelum akhirnya fokus pada Nibras. "Kalau kamu memang hanya ingin membuatku kesal, lebih baik kita sudahi saja pertemuan ini."
Sedikit menggerutu Agnia kembali berdiri. "Aku akan menyuruh perusahaan untuk mencari penggantiku. Itu kalau perusahaanmu masih berminat untuk melakukan pendanaan pada kami. Selamat sore."
Agnia tahu ia melakukan tindakan di luar nalar, tetapi ia juga tak bisa membiarkan mantan suaminya itu memandangnya sebelah mata.
Tak ada tindakan pencegahan yang Nibras lakukan sampai Agnia benar-benar keluar dari ruangan tersebut. Persis seperti saat ia mengajukan perceraian dan Nibras menyetujuinya begitu saja.
Jauh di dalam lubuk hati Agnia, terbersit rasa perih setiap ia mengingat hal tersebut. Mengingat bahwa Nibras tak pernah mencintainya selama dua tahun pernikahan mereka. Mungkin hingga kini...
***
"But, Sir-"
"Saya sudah katakan berapa kali, Agnia? Tidak ada yang bisa menggantikan dirimu karena selain dirimu memang mampu, kamu satu-satunya orang Indonesia yang bekerja di sini," sahut Stuart Brogan. Pria itu adalah atasannya di FutureIt yang berkantor pusat di Brisbane.
Agnia mengembuskan napasnya perlahan dan berat. Ia tahu itu, tetapi untuk saat ini ia sedang tidak ingin menjadi orang pilihan sehingga harus ditugaskan bertemu dengan mantan suaminya. Apalagi sikapnya yang ingin sekali mencari gara-gara membuat Agnia pusing. Pertemuan pertama saja sudah sedrama ini, apalagi pertemuan-pertemuan berikutnya!
"Saya hanya ingin Tuan mempertimbangkannya kembali. Bahkan Bernard lebih baik dari saya dalam hal negosiasi! Mungkin dia akan lebih mendapatkan hasil lobi yang berguna daripada saya." Dengan berbahasa Inggris beraksen Biritsh yang cukup kental, Agnia masih berusaha mencari celah agar dirinya dapat terbebas dari tugas yang cukup mengerikan baginya.
"Agnia Bakhtiar." Stuart sedikit kesulitan dalam menyebutkan nama wanita itu karena dirinya yang bukan orang Indonesia. "This is our company's last decision. Ini keputusan terakhir perusahaan kita. Jika kau menolaknya, kau sendiri yang mengacaukan karirmu di sini. Is that clear enough?"
Tiada nada mengancam dari pria yang sedang berbicara dengan Agnia, tetapi ia tahu itu adalah peringatan serius dari Stuart agar dirinya tidak lagi macam-macam jika masih ingin bekerja di perusahaan tersebut.
“Maaf karena telah mengganggu waktu Anda, Tuan Stuart,” tutur Agnia, mengulas senyum masam. “Selamat malam dan beristirahat. Salam untuk istri Anda.”
Sepertinya Agnia memang harus mengikuti keputusan sang atasan. Menghela napas pelan, ia menyandarkan punggung ke sofa tunggal yang ada di kamar sederhana yang ia kontrak untuk beberapa bulan ke depan. Tempat ini adalah rekomendasi dari Fania, teman satu-satunya yang masih tersisa dari kehidupan lamanya - saat ia masih tinggal di kota ini.
Agnia melayangkan pandangan ke luar jendela lebar, menampakkan langit yang sudah berubah gelap. Namun, kegalauan masih saja betah bertengger dalam hatinya. Jika perusahaannya tidak sedang sangat membutuhkan pendanaan ini, Agnia benar-benar akan melarikan diri daripada harus berurusan dengan Nibras.
Perempuan itu kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya dalam hari ini. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Sepertinya proyek yang ia hadapi kali ini akan menguras tenaga dan pikiran terutama emosinya habis-habisan.
***
Di sebuah unit apartemen mewah, Nibras menyesap minumannya sembari melepas tatapan ke arah pemandangan malam kota dari balkon. Rambutnya tampak sedikit acak-acakan. Setelah bertemu dengan mantan istrinya, ia tak berhenti meremasnya karena frustrasi.
Nibras mendengkus dan meraup wajahnya kasar. Bayangan Agnia tak pernah hilang sedetikpun sejak ia melihat wanita itu. Rasa kecewa yang berbalut dengan sedikit amarah dan kesedihan tak juga meninggalkan relung hati pria itu.
Mengingat mantan istrinya memang terkadang menghadirkan rasa perih yang tak dapat dijelaskan hingga detik berikutnya Nibras memaki dalam hati karena dirinya masih saja terpengaruh dengan kehadiran Agnia.
"Sialan." Nibras mendesis lalu menghela napas kasar.
Kedua matanya menajam seiring dirinya meyakinkan dirinya sendiri. "Kita lihat bagaimana kau tahan denganku ke depannya, Nona Agnia," gumamnya dengan seringai tipis, menyesap sisa minuman yang ada di gelas kecil hingga tandas.
***
Nibras menarik napas panjang, menekan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan senyum tipis namun penuh kendali, ia menoleh ke arah Agnia. "Agnia, mari ke meja VVIP. Ada beberapa tamu penting yang ingin kuperkenalkan padamu."Agnia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Bernard yang masih berdiri di sampingnya. Bernard, yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu-ragu."Aku... sebaiknya?" gumam Bernard pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri apakah ia harus ikut.“Tidak perlu, Bernard. Aku rasa kau akan lebih nyaman menikmati suasana di sini. Ada banyak hidangan dan minuman yang bisa kau nikmati,” ujar Nibras cepat, menatap Bernard dengan senyum formal yang tajam seperti pisau.Tanpa menunggu jawaban, Nibras menyentuh punggung Agnia ringan, mengarahkannya untuk berjalan bersamanya. Bernard mengangguk pelan, meski jelas terlihat ada sedikit keraguan di matanya. Ia mundur selangkah, menyembunyikan rasa kikuknya di balik senyuman. "Baiklah, Pak Nibras. Selamat menikmati
Agnia melangkah memasuki ballroom yang megah dengan tatapan terpana. Gedung ini bukan sembarang tempat. Hanya kalangan atas yang bisa menyewa gedung sebesar ini, dan tentu saja, HS Group adalah salah satunya.Segala sesuatunya terlihat luar biasa. Lampu kristal yang menggantung tinggi, langit-langit yang dipenuhi ornamen indah, serta orang-orang yang mengenakan pakaian mewah, semuanya seakan mengundang rasa takjub.Agnia memandang sekelilingnya dengan mata terbuka lebar. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit cemas menyusup di hati.Agnia tahu betul, acara seperti ini dihadiri oleh orang-orang berpengaruh. Masing-masing tamu berlomba untuk menarik perhatian dan memperkenalkan diri. Mereka mengenakan pakaian yang mencolok, dengan aksesori mewah dan tatapan tajam, seakan-akan ingin menunjukkan siapa diri mereka.Tapi, Agnia berbeda. Dia memilih untuk tampil dengan sederhana. Dengan gaun satin champagne yang elegan, dipadukan dengan perhiasan minimalis yang hanya
Agnia menggigit bibirnya, merasa sedikit kikuk sekaligus tertarik. “Aku... tidak ingin merepotkanmu,” katanya pelan, lalu menambahkan, “Aku pikir kau tak tertarik untuk datang.” Bernard terkekeh pelan, masih bersandar di pintu. “Sepertinya kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk memutuskan sendiri,” katanya, nadanya setengah bercanda namun ada kejujuran yang jelas. “Jadi, bagaimana? Boleh aku menemanimu malam ini?” Agnia merasa pipinya sedikit memerah, tapi ia mengangguk perlahan, merasakan kehangatan di balik sorot mata Bernard yang tampak lebih lembut dari biasanya. “Tentu… kalau kau benar-benar mau ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil, dan tiba-tiba saja malam yang ia pikir akan terasa biasa-biasa saja berubah menjadi lebih spesial. Bernard tersenyum, menatap Agnia sejenak sebelum berkata, “Baiklah, Agnia. Kalau begitu, mari kita pergi.” *** Selama perjalanan menuju gedung pencakar langit tempat acara tersebut diadakan, Agnia semakin merasa cemas. Tubuhnya te
Agnia tiba di rumah tanpa hambatan di jalan. Begitu masuk, ia langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan teliti.Matanya melirik ke cermin, sedikit terkejut saat menyadari betapa detilnya ia merapikan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah tubuhnya tak boleh sedikit pun kurang sempurna. Selesai mandi, ia memakaikan tubuhnya dengan jubah mandi, lalu mulai membongkar lemarinya.Di sana, Agnia mencari-cari gaun yang cocok untuk pesta perusahaan Nibras malam ini—acara mewah yang jelas akan dipenuhi oleh para petinggi bisnis. Ia tahu ini kesempatan penting, bukan hanya untuk tampil, tapi untuk memperluas koneksi. Nyaris setengah jam berlalu, kamar yang awalnya rapi kini penuh dengan tumpukan gaun yang ia coba dan singkirkan satu per satu. Gaun-gaun warna-warni tergeletak di mana-mana, sementara Agnia berdiri di depan cermin dengan wajah bingung, menghela napas berat.“Astaga, kenapa rasanya tidak ada yang cocok?” gumamny
Rapat mingguan baru saja selesai, dan Agnia melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Langkah kakinya terdengar tegas. Suara sepatu yang bersinggungan dengan lantai kantornya nyaris berdebum, seakan waktu tak memberinya kesempatan untuk sekadar menoleh.Bernard, yang duduk di kursi tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda dari Agnia hari ini—langkahnya tergesa-gesa, wajahnya sedikit tegang, dan jemarinya bahkan tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tali tas yang tersampir di bahunya.Tak biasanya Agnia bersikap demikian.Bernard, yang merasa terpanggil oleh rasa ingin tahu, berdiri dan melangkah cepat, mensejajarkan langkahnya dengan Agnia yang seakan tak melihat kehadirannya di samping.“Kau tergesa-gesa sekali, Agnia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba melumerkan suasana. “Apa ada masalah yang sedang terjadi?”Agnia hanya menghela napas, mengangkat bahunya tanpa menatap Bernard. Tangannya y
“Ada beberapa perkembangan terbaru yang ingin aku laporkan mengenai perusahaan konstruksi kita.” Lyman membuka pembicaraan, suaranya tenang penuh keyakinan. “Setelah mengalami kemacetan finansial beberapa waktu lalu, perusahaan kita mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Aku telah melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan HB Construction kembali ke jalur yang benar.”Anderson mendengarkan dengan seksama, matanya fokus pada Lyman. Tiara, di sisi lain, tampak lebih khawatir, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik wajahnya yang tenang. Mereka berdua tahu betapa pentingnya stabilitas finansial bagi perusahaan tersebut, dan kabar tentang perkembangan perusahaan itu tentu menjadi hal yang penting.“Aku juga sudah mendapatkan sumber dana tambahan yang akan sangat membantu kita ke depan,” lanjut Lyman, nada suaranya penuh percaya diri. “Nibras, mantan suami Agnia, telah setuju untuk mendanai perusahaan kita. Dengan begitu, uang yang masuk dari dia akan menjadi keuntungan