Anita berlari-lari kecil mengejar lift yang hampir menutup. Di dalam sudah hampir penuh, namun masih muat jika dia tetap memaksa masuk. Seorang yang ada di dalam tahu kalau perempuan itu bermaksud ikut satu rombongan, maka dengan cekatan memencet tombol open sehingga lift terbuka kembali, tak jadi menutup. Namun saat Anita hampir melangkah masuk, seseorang menariknya ke belakang dan menekan tombol close yang terdapat di luar sehingga kini Anita harus rela ketinggalan rombongan tersebut.
Maka tertinggallah Anita sendiri disana bersama orang tadi. Ia menekuk wajahnya jadi seribu. Melihat pada orang yang kini berdiri tak jauh darinya.
"Apa maksud Anda? Saya mau pulang dan tidak ingin berlama-lama di kantor ini," serbunya tak terima.
"Apa kau tidak lihat tadi, begitu banyak isi dalam lift itu. Kau mau berdesak-desakan dengan mereka? Bercampur keringat tidak sedap setelah seharian bekerja, hmm?"
"Itu urusan saya! Apa peduli Anda!"
Acara berdebat itu hampir berlanjut ketika suara telfon dari dalam tas Anita terdengar. Ia melihat, sebuah panggilan atas nama Sandi.
"Ya, San. Aku masih di dalam. Sebentar lagi turun."
"....."
"Baiklah, tunggu aku di depan saja."
Pembicaraan itu hanya singkat karena Anita segera menutup telfon. Matanya melirik kembali pada orang tadi.
"Kau sudah membuang waktuku!" Anita sewot dan berjalan pergi menuju tangga darurat. Namun sebelum itu tangannya kembali ditarik dari belakang oleh orang yang sama.
"Rama, apa sebenarnya maumu?!" Anita hampir berteriak jika tak ingat ia di kantor dan ingat kalau yang bersamanya saat ini adalah atasannya sendiri.
"Jangan lewat sana!"
"Lalu?"
"Ikut aku!"
Tanpa banyak kata, Rama menarik kembali tangan Anita mengajaknya ke sebuah lift khusus yang memang di buat khusus untuk direktur.
Anita hanya menurut saja ketika ia di bimbing masuk ke dalam. Tujuannya hanya ingin segera turun dan bertemu Sandi yang telah menunggunya.
"Siapa tadi?" tanya Rama ketika pintu lift sudah tertutup.
"Siapa?"
"Pria yang menelponmu tadi. Apa dia suamimu?"
Anita menatap tajam pada Rama.
"Kamu menguping pembicaraanku? Kok tahu kalau dia laki-laki?"
"Namanya tidak sengaja terlihat olehku tadi. Sandi. Benar bukan?"
Anita mendengus. Ia terlalu ceroboh sampai Rama saja bisa tahu siapa yang sudah menghubunginya.
"Dia pacarku."
Dahi Rama terangkat.
"Kau belum menikah?"
Bukannya menjawab, Anita justru melempar tatapan memicing pada Rama.
"Apa kau tidak membaca lamaran kerjaku? Bukankah disana tertera statusku," beritahunya yang diselingi pertanyaan.
"Itu bukan tugasku. Mencari dan menerima karyawan adalah tugas HRD," jelas Rama dengan enteng. "Hmm, jadi belum menikah ya?" tegas Rama yang lebih terdengar seperti gumaman.
"Kau sendiri?" tanya Anita balik. Sebenarnya dia tidak terlalu penasaran. Ia hanya asal bertanya dari pada harus mempertegas pertanyaan pria itu.
"Belum juga. Apa kau mau daftar?"
"Isshhh, ogah!"
"Kenapa? Banyak sekali perempuan yang mengantri untuk kuseleksi jadi calon istri. Kalau kau mau ikut, siapa tahu kamu punya peluang besar karena aku telah banyak mengenalmu dari yang lain. Dan terutama--," Rama mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Anita, "sudah tahu luar dan dalammu."
Anita mendelik dan menepis wajah Rama seketika.
"Dasar pria mesum! Berharap saja pada perempuan lain, dan jangan pernah bermimpi padaku lagi!"
Ting!
Pintu lift terbuka dan Anita bersyukur sekali karena ia bisa segera angkat kaki, jauh dari pria itu. Ada bersamanya membuat Anita gerah.
"Bagaimana kalau aku yang mencatat namamu untuk jadi peserta dalam pencarian jodohku."
"Meski kau tulis namaku di urutan pertama juga aku nggak bakal mau!"
Anita berlari seketika meninggalkan Rama yang mengulum senyum jahil. Dalam hatinya, ada banyak kupu-kupu terbang, mengartikan ia sedang bahagia saat ini.
Sementara itu.....
"Maaf membuatmu menunggu lama," basa-basi Anita yang telah masuk ke sebuah mobil Alphard putih.
"Aku juga baru sepuluh menit menunggumu," sahut pria di sampingnya yang mulai menjalankan mobil. "Kita langsung pulang, atau cari makan?"
"Pulang saja. Aku lelah sekali. Ini pertamaku bekerja dan banyak sekali yang ku kerjakan seharian ini."
"Ok, well!" Pria yang tak lain bernama Sandi itu hanya mengangguk saja, mengikuti apa kemauan Anita. Mengantarnya pulang menuju rumah.
Keesokan harinya.....
Ting...Tong...Ting...Tong...Ting...Tong...
Entah sudah ke berapa kali suara itu dibunyikan. Anita yang asik berendam di bak kamar mandi merasa terganggu karena ritual mandinya kacau balau oleh tamu yang tak diundang.
"Siapa sih pagi-pagi begini datang bertamu?" dumalnya sambil menggelung rambut dengan handuk kering.
Ia terburu-buru menuju pintu karena bel masih saja dibunyikan tanpa henti membuat ia benar-benar terusik.
"Iya, sebentaaar!!!" teriaknya memenuhi seluruh isi rumah. Entah dengar entah tidak, ia hanya ingin si tamu diluar tahu bahwa dirinya sedang proses menuju pintu, berharap bel tak
lagi dipencet.Mata Anita membulat lebar saat mengetahui siapa orang yang mengganggunya pagi-pagi buta.
"Kamu?"
"Kenapa lama sekali? Aku sudah lima belas menit menunggu di depan pintu ini."
"Dari mana kamu tahu rumahku? Dan untuk apa kamu kemari pagi-pagi?"
"Apa kau tidak mau menyuruhku masuk lebih dulu. Kakiku pegal menunggumu membuka pintu tau!"
Bibir Anita mengerucut cemberut. Dengan terpaksa ia mempersilahkan tamunya untuk masuk.
"Kau belum jawab pertanyaanku!" Anita bersedekap, menatap pria di depannya menuntut penjelasan.
"Yang mana?" Pria itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia lalu berjalan satu-persatu melihat isi rumah itu.
"Dari mana kau tahu rumahku?!"
"Oh...Itu. Gampang saja buat mengetahui rumahmu."
"Kau mengikutiku?" Anita tanpa sadar mengekor kemana pria itu berjalan.
"Menurutmu?" Pria itu tiba di sebuah kamar yang kebetulan adalah kamar Anita sendiri. Mengamatinya sejenak dari luar.
"Itu bukan jawaban!"
"Kalau begitu coba kamu tebak." Pria itu lalu membuka pintu tersebut.
"Kenapa jadi menggeledah isi rumahku?" Anita dengan cepat menghalangi, saat pria itu mau melangkah masuk. Ia menatap pria itu horor.
"Aku hanya ingin melihat-lihat saja." Anita masih mendelik mengawasinya. "Baiklah, Kalau tidak boleh aku akan melihat ruangan lain." Ia memutar tubuh menuju ruangan lain. Dapur.
Maka Anita pun berjalan cepat mengejar langkah pria itu.
"Sebenarnya apa sih maumu? Kau datang pagi-pagi tanpa di undang, dan sekarang memeriksa semua rumahku."
"Apa tidak boleh aku melihat keadaan rumah karyawanku sendiri. Ingin memastikan saja apakah kau hidup layak atau dalam kekurangan."
O...o....rupanya dia adalah si Bos. Rama.
"Jangan gila deh, Ram. Alasan kamu itu nggak masuk akal. Kau terlalu merendahkanku jika begitu. Rupanya sifat sombong masih bertengger di kepalamu." Anita berdecak. Ia jengah mengingat masa lalu yang sempat terlintas. Dulu ia sering berdebat dengan Rama karena sifat angkuh pria itu.
Rama hanya menanggapinya dengan senyum tipis sebelum ia kembali ke ruang depan dan duduk nyaman disana.
"Lumayan. Rumahmu cukup nyaman dan komplit." Tadi ia sempat melihat ada garasi dan sebuah ruangan lain lagi selain dua kamar lain yang entah apa isi di dalamnya karena Anita tak mengijinkan ia masuk juga.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kau kemari?" Anita menatap Rama serius.
"Bukankah tadi sudah kujawab."
"Itu bukan jawaban! Aku ingin kau jujur yang sebenarnya."
"Ingin menjemputmu!" Anita seketika terdiam. Ia membeku di tempatnya tanpa bisa membuka mulut lagi. Tidak percaya dengan jawaban Rama yang tiba-tiba dan diluar ekspektasinya itu. "Jangan GR! Aku cuma tak mau kau datang terlambat ke kantor."
Seketika Anita tersadar kembali dari rasa speachless-nya.
"Yang benar saja terlambat! Kemarin aku bahkan datang setengah jam lebih awal sebelum karyawanmu yang lain tiba."
"Hmmm." Rama hanya mengangguk-angguk lalu merebahkan diri di kursi yang saat ini di dudukinya.
"Kenapa jadi tiduran?"
"Diamlah! Aku masih mengantuk. Kau tidak tahu kan kalau semalaman aku nggak tidur hanya karena tak ingin bangun kesiangan untuk datang kemari." Anita melongo.
Anita tak menggubris lagi dan memilih pergi membiarkan Rama tidur.
"Tunggu!" Spontan Anita mengerem langkahnya. "Aku juga belum sarapan. Dan biasanya minum kopi kalau pagi hari."
Teruuuuusssss?????
Anita hampir mengambil bantalan kursi dan melempar pada pria itu, namun semua urung ketika didengarnya dengkur halus, pertanda Rama sudah terlempar ke alam bawah sadarnya.
Astaga, cepat sekali ia tidur? Benarkah ia bergadang semalaman demi bisa datang kemari?
(○_○)
Like? Give me many love!
Perempuan itu melempar pandangannya keluar jendela kaca mobil. Ia tak menyangka, kalau hari keduanya akan berangkat dengan bosnya sendiri. Wajahnya yang keruh menandakan ia sedang kesal saat ini. Bagaimana tidak, setelah Rama datang tiba-tiba dengan waktu yang terbilang masih sangat dini hari, dan yang pasti itu sangat mengganggu Anita, laki-laki itu juga bertingkah menyebalkan merasa dirinya tinggal di sebuah losmen sehingga meminta pelayanan spesial dari sang pemilik. Hal itu membuat hati Anita menggumpal sebal.Dengan terpaksa ia harus membuat sarapan untuk Rama sekaligus menyiapkan kopi buatnya sebelum pergi ke kantor. Belum lagi permintaan Rama yang ingin inilah-itulah dan harus Anita turuti karena jika tidak, Rama akan membalikkan kata-kata dengan alasan konkret yang cukup menohok, "Tamu adalah raja. Maka layanilah tamu sebaik mungkin."Kalau sudah begitu, Anita hanya mendengus saja tanpa mampu membalas kata-katanya lagi. Ru
Anita mengutuk berkali-kali. Siapa yang tidak kesal? Acara kencannya batal hanya karena pekerjaan dadakan. Ia merutuki nasib sialnya yang harus bertemu kembali dengan pria itu, terlebih dia sekarang menjadi atasannya sendiri.Sikap diktator Rama memang tak pernah berubah sejak ia muda bahkan sampai sekarang. Seandainya saja Anita tak terlalu membutuhkan pekerjaan, pasti dirinya tak akan keberatan keluar dari perusahaan Rama sejak awal ia tahu kalau pria itu adalah bosnya. Hanya saja, Anita memang sedang terdesak masalah ekonomi sehingga mengharuskan dirinya rela menjadi kacung disana meski di bawah tekanan."Sayang, aku minta maaf sekali ya. Aku janji ini tak akan terulang lagi."Entah sudah berapa kali pula Anita minta maaf pada kekasihnya itu. Pembatalan acara kencan yang mendadak membuat rasa kecewa pada keduanya. Namun Sandi adalah pria sabar yang masih bisa menyembunyikan kekecewaannya.Dengan pengert
Anita belum bisa berfikir jernih ketika Rama masih menempelkan bibir mereka. Rasanya semua logikanya mendadak hangus karena ciuman tiba-tiba itu."Ah, maaf. Rupanya kalian disini."Suara itu menginterupsi aksi keduanya dan seketika Anita pun tersadar lalu mendorong tubuh Rama sehingga pelukan keduanya terlepas.Warna merah kini menghiasi wajah ayunya. Malu. Ia kepergok melakukan aksi mesum oleh sang pemilik pesta."Maaf Nyonya, kami eh--," Rama sengaja ingin menjawab dan diputus segera oleh si Nyonya rumah."Ah, tenanglah. Jangan gugup seperti itu. Aku paham apa yang kalian rasakan. Aku juga pernah muda seperti kalian dulu." Istri Dewantara itu mengulum senyum demi melihat sikap Anita dan Rama yang salah tingkah. "Baiklah, lanjutkan saja. Aku hanya ingin ke belakang sebentar." Dan perempuan itu berlalu dari hadapan keduanya.Kini Rama harus siap-siap menghadapi kemarahan A
Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya
Braaakkk!!Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya."Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!""Terserah aku mau jemput atau tidak."Anita menatap Rama tajam."Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu.""Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya."Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu.""Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang l
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak