Perempuan itu melempar pandangannya keluar jendela kaca mobil. Ia tak menyangka, kalau hari keduanya akan berangkat dengan bosnya sendiri. Wajahnya yang keruh menandakan ia sedang kesal saat ini. Bagaimana tidak, setelah Rama datang tiba-tiba dengan waktu yang terbilang masih sangat dini hari, dan yang pasti itu sangat mengganggu Anita, laki-laki itu juga bertingkah menyebalkan merasa dirinya tinggal di sebuah losmen sehingga meminta pelayanan spesial dari sang pemilik. Hal itu membuat hati Anita menggumpal sebal.
Dengan terpaksa ia harus membuat sarapan untuk Rama sekaligus menyiapkan kopi buatnya sebelum pergi ke kantor. Belum lagi permintaan Rama yang ingin inilah-itulah dan harus Anita turuti karena jika tidak, Rama akan membalikkan kata-kata dengan alasan konkret yang cukup menohok, "Tamu adalah raja. Maka layanilah tamu sebaik mungkin."
Kalau sudah begitu, Anita hanya mendengus saja tanpa mampu membalas kata-katanya lagi. Rupanya sifat menyebalkan pria itu masih bersarang kuat dalam dirinya.
"Aku punya rencana ingin mengangkatmu jadi sekretarisku." Kata-kata itu sontak membuat lamunan Anita buyar dan menoleh langsung pada Rama yang fokus menyetir.
"Buat apa? Bukankah kamu sudah punya Dini, sekretarismu?"
"Sebentar lagi aku akan memecatnya."
"Gila! Kau pikir aku mau di suruh menggantikannya? Kau cari orang lain saja kalau begitu!"
Membayangkannya saja rasanya ngeri jika Rama benar-benar memecat sekretarisnya yang sekarang dan menggantikan dengan Anita. Apa kata karyawan disana nantinya? Pasti mereka mengira Anita ada hubungan khusus dengan si Bos sampai bisa menjatuhkan seorang tangan kanan pria itu yang telah mengabdi bertahun-tahun dan menggantikan posisinya langsung. Jika dilebih-lebihkan, mereka akan menambahi gunjingan dengan isu kalau Anita sudah tidur dengan Rama, menjual dirinya untuk memperoleh posisi tersebut.
Anita bergidik ngeri membayangkan jika hal itu benar terjadi.
"Aku memang sudah lama ingin memecatnya dan menggantikan dengan yang baru."
"Dan itu bukan aku! Kau paham?!" Anita menajamkan matanya menekan Rama agar tak memaksakan kehendak.
"Kenapa kau tidak mau? Padahal banyak sekali karyawanku yang lain yang mengincar posisi itu." Rama hanya melirik saja, tidak terpengaruh dengan intimidasi Anita padanya.
"Kalau begitu pilih saja salah satu diantara mereka." Anita melengos.
"Bagaimana kalau pilihanku tetap jatuh padamu?"
"Aku akan keluar langsung dari perusahaanmu." Anita menelan ludah mendengar ucapannya sendiri. Ia tak berpikir apakah ia akan benar-benar resign jika Rama akan serius pada tindakannya. Selama ini ia sudah berusaha keras melamar pekerjaan dimana-mana, dan baru pertama kali ini dirinya diterima di sebuah perusahaan setelah sebelum-sebelumnya hanya bekerja di toko kue dan swalayan.
Terdengar hembusan napas panjang dari Rama. Ia tak mengatakan apapun lagi, tapi Anita tak akan tahu kalau pria itu sedang mengatur siasat untuk mewujudkan angan-angannya.
~~
Anita tengah menyeduh kopi untuknya di pantry ketika Rama tiba-tiba datang. Perempuan itu tak melihat kedatangan bosnya dan berbalik arah tanpa menyadari bahwa di belakangnya sudah berdiri si Bos yang sejak tadi mengawasinya. Karena tak hati-hati, maka kopi yang ia bawa akhirnya tumpah mengenai kemeja Rama, menyisakan noda hitam di pakaian putih tersebut.
"Astaga!" jeritnya kaget. "Ah....Maaf, Pak. Maaf." Spontan Anita menaruh kopinya di meja dan mengambil lap bersih untuk ia pakai membersihkan noda pada pakaian Rama. "Saya tidak tahu Bapak datang," keluh Anita masih merasa bersalah.
"Kau terlalu ceroboh!" Anita mendelik saat Rama menghujatnya.
"Lagian siapa suruh Bapak disini?"
"Aku hanya ingin membuat kopi."
"Bukankah di ruangan Bapak juga ada mesin kopi?"
"Mesinnya rusak."
"Oh, ya?"
Kenapa tiba-tiba sekali? Setahuku, kemarin masih bisa di pakai.
"Anda bisa memanggil Roni untuk membuatkan kopi, dan tidak harus datang kemari sendiri." Anita masih bertahan.
"Kenapa jadi kau yang ribut? Ini kantor-kantorku sendiri. Mau apa kek aku disini apa urusannya denganmu? Sudah, kau bersihkan saja pakaianku!"
Anita mencebik. Lagi-lagi, sifat angkuh pria itu keluar lagi. Sedikit menyesal kenapa dia tadi juga tak minta bantuan Roni, si OB. Karena mungkin nasib sial hari ini nggak akan terjadi jika tadi ia mengandalkan Roni.
Saat Anita fokus dengan pakaian Rama, seseorang muncul dari balik pintu dan memergoki keduanya. Karena melihat dari belakang, maka orang itu pun salah menafsirkan.
"Maaf, saya masuk tidak sengaja."
Anita terkejut dan menghentikan kegiatannya, menoleh pada orang yang baru masuk tadi. Seorang perempuan di bagian marketing.
"Nis," sapa Anita gugup. Ia tak akan menyangka kalau aktifitasnya saat ini dilihat karyawan lain. Tentu rasa canggung menyelimutinya.
"Nggak pa-pa. Teruskan saja, aku cuma mau ambil gelas saja kok." Nisa, nama perempuan tadi, mengulum senyum melihat kegugupan Anita yang mirip maling kepergok polisi.
"Eh, kami nggak--,"
"Gimana tugas yang kuberikan, Nis?" Rama memotong kata-kata Anita yang ingin mengklarifikasi hal sebenarnya.
"Ah, sudah selesai, Pak. Kita tinggal menunggu konfirmasi dari Pak Himawan saja. Kelihatannya beliau tertarik dengan produk kita," jelas Nisa yang merubah ekspresi jadi serius.
"Baiklah. Teruslah hubungi dia dan tanya kapan mau bekerjasama dengan kita."
"Siap, Pak."
"Kau boleh kembali!" Nisa mengangguk patuh lalu meninggalkan mereka berdua. "Kenapa diam saja?! Apa tugasmu sudah selesai?"
Anita yang sejak tadi diam, tergugah dari keterbungkamannya.
"Sebaiknya, kau bersihkan sendiri! Aku nggak mau seseorang berpikir aneh-aneh tentang kita berdua disini." Anita menyerahkan lap putih di tangannya pada Rama. Ia lalu mengambil kopinya yang masih tersisa dan melangkah pergi.
~~
Malam ini Anita berdandan lebih spesial. Dress warna peach membalut tubuhnya yang mungil, membuatnya semakin menawan. Dipadu dengan make up tipis warna senada, menjadikan Anita sangat cantik dan menarik.
Sandi telah menunggunya sejak setengah jam yang lalu. Saat ini mereka tengah ada janji kencan. Niatnya akan menonton bioskop terlebih dahulu dan makan malam sesudahnya.
"Kau cantik sekali malam ini," puji Sandi yang tak lepas menatap Anita, membuatnya tersipu.
"Kau bisa saja." Anita mengulum senyum dan mencubit kecil lengan Sandi. "Kita berangkat yuk!" ajaknya kemudian. Sandi mengangguk dan keduanya segera menuju mobil Alphard putih yang telah terparkir di depan rumah Anita.
Sementara itu....
Rama baru saja keluar dari rumah mewahnya. Sesaat lalu Rio Ardyatama ayahnya, bertanya padanya, mau kemana keluar dengan penampilan formal demikian.
Ternyata Rama mempunyai undangan dari rekan bisnisnya, yang merayakan ulang tahun pernikahan. Di tengah macetnya jalan karena weekend yang sudah bisa dipastikan hampir tujuh puluh persen orang-orang ingin menghabiskan waktunya di luar, mata tajam Rama menangkap bayangan Anita dalam sebuah mobil warna putih.
Tatapan pria itu memicing, memastikan pandangannya. Dan ia rasa tak salah tebak, itu memang benar Anita yang duduk bersebelahan dengan seorang pria, tertawa sesaat sebelum mereka hilang dari pandangan. Anita menutup kaca mobilnya.
Mau kemana dia? Apa itu pacarnya?
Rama meraih smart phone miliknya yang tergeletak pada dashboard. Mencari sebuah nomor, dan menghubunginya langsung saat ketemu.
Tuuutttt....Tuuuutttt.....Tuuuutttt....
Rama nampak gelisah. Jemari tangannya mengetuk-ngetuk setang kemudi bentuk rasa was-wasnya. Ia takut kalau telfonnya sampai tidak diangkat.
"Ada apa?"
Suara itu membuat hati Rama lega seketika.
"Kau dimana?"
"Untuk apa bertanya aku dimana?"
"Aku ingin kamu ikut aku sekarang! Ada undangan dari relasi bisnis dan mengharuskanku mengajak seseorang."
"Apa? Nggak mau ah! Ajak saja karyawanmu yang lain."
"Nggak bisa, mereka semua ada urusan."
"Kau pikir aku tidak? Saat ini aku juga ada urusan."
"Saat ini aku ada di jalan Hatta, kau dimana? Aku akan menjemputmu!" Rama seakan tak memperdulikan protes orang itu.
Sesaat tak ada suara di seberang telfon.
"Yang pasti aku tak mau. Kalau ingin cari teman, pilih orang lain saja."
Tuuuuuttttt!
Telfon diputus sepihak membuat Rama menggeram kesal. Ia mencoba menghubungi lagi namun panggilannya kali ini ditolak.
Shit!
Ia merasa frustasi sendiri. Beberapa detik pria itu merenung, mencari akal bagaimana agar bisa mengajak orang tersebut ikut dengannya.
Rama lalu mengetikkan pesan pada nomor tersebut.
Kau ikut, atau dipecat? Ini bukan pertanyaan, tapi perintah dari atasan. Pilihlah!
Rama menunggu beberapa saat setelah pesan itu terkirim. Seperti tadi, ia merasa was-was, takut kalau pesan itu tidak dibuka.
Dan rupanya cara muslihat yang ia gunakan manjur dalam waktu singkat. Nomor itu menghubunginya balik. Rama tidak menunggu lama dan segera mengangkat telfon untuknya. Ia yakin pasti mendapat jawaban yang ia inginkan.
"Sebenarnya Apa sih maumu? Ini malam minggu. Bukan waktuku untuk bekerja." Rama menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya karena teriakan orang di seberang sana sangat nyaring.
"Ku anggap kau setuju."
"Gila!"
"Akan ku hitung lembur."
"Sinting."
"Juga akan kuberikan bonus."
"Aku akan mengirimkan surat pengunduran diri besok!"
"Katakan dimana kau sekarang, dan akan ku jemput kau disana."
"Aku resign sekarang!"
"Tidak ada waktu lagi, ku tunggu titik keberadaanmu."
Rama segera mematikan telfon sebelum orang itu memberinya seribu sumpah serapah atau mungkin kalimat penolakan yang berisi ancaman.
Pria itu segera menepikan mobil, menunggu orang itu menghubunginya lagi. Melirik pada arlojinya, waktu masih cukup lama, dan dia rasa belum terlambat datang ke pesta itu jika harus menunggu beberapa saat lagi.
Lima belas menit kemudian....
Triinngggg!
Sebuah pesan masuk.
Rama yang sejak tadi diam membisu dengan tangan dilipat dan mata terpejam, menyunggingkan senyum kemenangan saat mendengar bunyi pesan itu masuk. Ia pun segera membuka pesan tersebut yang kini membuat bibirnya semakin melebar, senang.
Lima menit! Depan parkiran Matahari Mall. Terlambat, perintahmu tidak berlaku!
"Tunggulah! Aku datang segera."
(○_○)
Geregetan? Gemas? Yang mana?
Anita mengutuk berkali-kali. Siapa yang tidak kesal? Acara kencannya batal hanya karena pekerjaan dadakan. Ia merutuki nasib sialnya yang harus bertemu kembali dengan pria itu, terlebih dia sekarang menjadi atasannya sendiri.Sikap diktator Rama memang tak pernah berubah sejak ia muda bahkan sampai sekarang. Seandainya saja Anita tak terlalu membutuhkan pekerjaan, pasti dirinya tak akan keberatan keluar dari perusahaan Rama sejak awal ia tahu kalau pria itu adalah bosnya. Hanya saja, Anita memang sedang terdesak masalah ekonomi sehingga mengharuskan dirinya rela menjadi kacung disana meski di bawah tekanan."Sayang, aku minta maaf sekali ya. Aku janji ini tak akan terulang lagi."Entah sudah berapa kali pula Anita minta maaf pada kekasihnya itu. Pembatalan acara kencan yang mendadak membuat rasa kecewa pada keduanya. Namun Sandi adalah pria sabar yang masih bisa menyembunyikan kekecewaannya.Dengan pengert
Anita belum bisa berfikir jernih ketika Rama masih menempelkan bibir mereka. Rasanya semua logikanya mendadak hangus karena ciuman tiba-tiba itu."Ah, maaf. Rupanya kalian disini."Suara itu menginterupsi aksi keduanya dan seketika Anita pun tersadar lalu mendorong tubuh Rama sehingga pelukan keduanya terlepas.Warna merah kini menghiasi wajah ayunya. Malu. Ia kepergok melakukan aksi mesum oleh sang pemilik pesta."Maaf Nyonya, kami eh--," Rama sengaja ingin menjawab dan diputus segera oleh si Nyonya rumah."Ah, tenanglah. Jangan gugup seperti itu. Aku paham apa yang kalian rasakan. Aku juga pernah muda seperti kalian dulu." Istri Dewantara itu mengulum senyum demi melihat sikap Anita dan Rama yang salah tingkah. "Baiklah, lanjutkan saja. Aku hanya ingin ke belakang sebentar." Dan perempuan itu berlalu dari hadapan keduanya.Kini Rama harus siap-siap menghadapi kemarahan A
Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya
Braaakkk!!Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya."Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!""Terserah aku mau jemput atau tidak."Anita menatap Rama tajam."Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu.""Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya."Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu.""Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang l
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan