“Ayo makan. Perut kenyang bikin semangat kerja lagi,” ucap Mahesa dengan suara rendah yang tenang, seperti embusan angin sore yang menyelinap dari celah jendela.
Nadira tak langsung menjawab. Matanya menyipit, memandang Mahesa penuh curiga, seolah berusaha mengurai teka-teki yang tersembunyi di balik senyum kalemnya.
Ada apa lagi di balik sikap manis ini? Apa niatnya benar-benar tulus, atau hanya satu lagi strategi untuk mencuri perhatian?
Sementara itu, Mahesa duduk santai di kursinya, membuka bungkus makanan dengan gerakan hati-hati, hampir seperti sedang menyusun puzzle berharga.
Tangannya terlatih, rapi, tapi ada sesuatu yang kasual dari cara dia menyentuh bungkus makanan itu. Lalu ia menyendok suapan pertama dan menyeringai kecil ke arah Nadira.
“Makanlah,” katanya, nadanya seperti menggoda namun tidak memaksa, “kenyang nggak bisa datang cuma dari liatin makanan.”
Di sekeliling mereka, aroma kopi yang baru diseduh dan wangi gurih egg ta
Tina yang sedari tadi manja seperti kucing yang sedang dielus, mendadak diam. Sorot matanya menajam, mengikuti arah pandangan Aidan.Dan di sanalah dia berdiri—Nadira. Tapi bukan Nadira yang biasanya. Tak ada lagi jaket blazer abu-abu dan sepatu kantor berhak dua senti yang sering membuat langkahnya terdengar seperti detik jam di ruangan rapat.Hari itu, ia muncul dalam balutan kemeja putih bersih yang menyatu manis dengan rona kulit kuning langsatnya, rok selutut yang ringan seperti ditiup angin laut, dan sepatu espadrille putih yang menambah kesan santai tapi tetap elegan.Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara, tapi setiap geraknya seolah memahat udara. Ujung rok berayun lembut, menciptakan irama yang ganjilnya terasa familiar.Ada semacam aroma pagi yang belum sempat dikacaukan kebisingan kota. Sederhana, segar, memesona.Seperti baris puisi yang belum selesai ditulis.Aidan terdiam. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena da
Kisruh antar penggemar makin liar, seperti api yang menyambar ladang kering. Setiap komentar jadi bahan bakar, tiap unggahan membelah kubu jadi dua—Drivers di satu sisi, Cherry Blossoms di sisi lain, saling serang seperti pasukan di medan perang virtual yang tak kenal ampun.Sampai akhirnya, Ghani sendiri turun tangan.Tanpa pengumuman atau klarifikasi formal, ia mengunggah sebuah tulisan panjang di Instagram, dengan latar putih polos dan huruf-huruf hitam yang disusun rapi seperti surat terbuka.Kalimat-kalimatnya tenang, mengalir seperti seseorang yang akhirnya memilih berdamai dengan badai dalam dirinya.Ia bicara soal keputusannya keluar dari Wijaya Media, mengucapkan terima kasih kepada Susilo—manajer sekaligus orang yang pernah ia sebut sebagai mentor—dan berjanji akan membayar semua denda kontrak, yang ia sebut sebagai “biaya sekolah” dalam hidupnya.Tulisannya terasa elegan, seperti tangan yang menutup pintu pe
Langkah Nadira menyapu lantai marmer seperti bayangan angin yang mendekat dalam diam. Ia jongkok perlahan, menyamakan tinggi matanya dengan wajah Ratu yang pucat, lalu menyentuhkan dua jari ke titik di antara alis gadis itu.Sejenak, seolah waktu berhenti. Ratu meringis, tubuhnya sempat menegang, namun perlahan, napasnya yang semula terputus-putus mulai menemukan irama.Getaran hebat di tubuhnya surut seperti ombak yang mulai tenang setelah badai.Wajahnya yang tadi kelabu kini kembali berwarna, namun matanya... merah, menyala, seperti bara yang telah lama tertahan.Tiba-tiba, tanpa aba-aba, ia memeluk Nadira erat, seolah berpegangan pada satu-satunya pelampung di lautan gelap yang hendak menelannya hidup-hidup."Aku mau dia di penjara seumur hidup!" serunya, suara serak dan tajam seperti kaca pecah. "Kalau bisa… aku mau dia mati. Mati! MATI!"Jeritannya menggema, liar dan basah oleh air mata. Ia menangis tak tertahan, lalu ambruk ke lantai,
“Itu juga yang selalu aku bilang ke dia,” ucap Gilang, mengangguk sambil menghembuskan napas pelan, seolah hendak menegaskan bahwa ia sepenuhnya paham betapa rumitnya situasi yang sedang mereka hadapi.Ratu tertawa kecil, nyaris tak terdengar, lebih terdengar seperti helaan napas yang letih daripada canda.Senyumnya pahit, dan sorot matanya menerawang, menatap kekosongan di balik jendela kaca buram. Di luar sana, langit Jakarta sudah mulai berwarna jingga, kota ini tak pernah tidur, tapi luka-luka lama tak pernah benar-benar sembuh.Ini bukan sekadar soal rasa percaya diri, pikirnya. Dunia tempat ia bertahan selama ini tak mengenal belas kasih.Dunia yang mengasah taringmu hingga kamu lupa pernah jadi manusia. Dunia yang membuatmu mengulum harga diri, demi sekadar bisa berjalan tegak, atau merangkak... dalam lumpur yang sama setiap hari.Andai bisa, ia sudah lama melangkah pergi dari Susilo. Tapi selalu ada yang menahannya. Bukan karena cinta, buka
Sudah lama sekali tak ada yang berani meliriknya lagi, apalagi mencoba merekrut. Dahulu, namanya berkibar tinggi.Tawaran datang seperti hujan di awal musim, deras dan menjanjikan. Tapi itu sebelum Susilo Halim datang membawa kontrak besi—panjang, kaku, dan nyaris tanpa celah.Dua puluh tahun. Sebuah angka yang waktu itu terdengar seperti harapan, tapi lambat laun berubah menjadi hukuman.Ratu masih ingat bagaimana tangannya sempat gemetar saat menandatanganinya, seperti sedang menyerahkan tubuh dan jiwanya dalam bingkai hukum yang terlalu dingin.Setelah itu, hari-hari pun berjalan dengan irama yang tak lagi ia kendalikan. Ia jadi pion yang bisa digeser sesuka hati, pohon uang yang tak boleh layu sebelum waktunya.Dan sekarang, perempuan di hadapannya ini… Nadira Wulandaru… mengucapkan kalimat yang tak pernah ia duga akan ia dengar lagi.“Aku ingin mengontrak kalian berdua.”Suara Nadira meluncur ringan, nyaris seperti ajakan minum t
"Bro… Eh, maksud saya… Mbak Arum… Eh, Mbak Wulandaru!"Suara Miftah meluncur seperti anak panah yang meleset sasaran. Ia gelagapan, bibirnya kaku seperti baru saja membentur musim dingin yang salah tempat.Mata Gilang, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik tanpa niat menolong.“Maksud saya… Kamu itu Arum atau Wulandaru?” lanjutnya, hampir seperti bisikan yang memohon ampun pada kebingungan sendiri.Perempuan di hadapan mereka tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum. Tapi bukan senyum biasa.Senyuman itu seperti kilatan cahaya di lorong yang redup, menampar lembut namun dalam, memaksa siapa pun yang melihat untuk menahan napas.“Namaku Nadira Wulandaru,” ucapnya pelan, nadanya lembut tapi percaya diri, seolah setiap kata telah dilatih di depan cermin.“Kamu bisa panggil aku Mbak Nadira… atau Mbak Wulandaru. Terserah kamu saja.”Gilang hampir bisa mendengar suara hati adiknya mencair. Miftah menatap Nadira seperti sedang