Series 1 END "Aku mau ngajuin kontrak kedua untuk pernikahan kita, sebelum kita cerai," Ujar Aveline sambil menyodorkan kertas dan pulpen pada Cassian yang duduk di hadapannya. Visi Misi hidup Aveline Seraphina Rinaldi adalah menaklukan hati Cassian Ardentio Wijaya, suaminya. Dia sudah lama menyimpan hati untuk cinta pertamanya itu, dan sekarang mereka menikah karena ada udang dibalik batu aka nikah kontrak. Tentunya, Aveline tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang datang padanya. Jadi... Misi pertama, mengandung anak Cassian.. Series 2 ON GOING
View More“Tanda tangan!!”
Seruan yang terdengar tegas dan dingin itu terdengar bersamaan dengan sebuah kertas yang melayang di depan Aveline Seraphina Rinaldi, membuat perempuan berambut coklat gelap yang dicepol rapi itu sedikit mengernyit. Sedetik kemudian, wajahnya berubah pias saat membaca tulisan tebal di bagian atas kertas itu.
“Kontrak... pernikahan?”
Suara Aveline tercekat. Berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang riuh, memikirkan berbagai pikiran buruk.
Seorang pria yang belum dua hari menjadi suaminya, menyandarkan punggung ke sofa. Tatapan matanya lurus pada Aveline yang terpaku.
Pria itu berdecak, setelahnya meletakkan kertas itu ke atas meja dihadapan mereka. "Kontrak pernikahan selama satu tahun. Setelah itu, kita CERAI," kata suami Aveline, Cassian Ardentio Wijaya dengan suara yang tenang, seolah-olah apa yang dikatakannya adalah hal yang biasa.
“Hah?”
Tunggu..
Aveline tiba-tiba saja seperti orang linglung. Kata-kata cerai entah mengapa menyedot semua kemampuannya dalam berpikir. Apalagi ini untuk satu tahun pernikahan? Mereka saja baru hari ini beristirahat setelah lelahnya rangkaian persiapan dan acara pernikahan, tapi berniat untuk berpisah?
“Tapi, Kak…”
Suara Aveline melemah, nyaris tak terdengar. Kata-kata berikutnya seolah lenyap ditelan kecemasan yang mulai menyelubungi pikirannya. Ia bahkan tak yakin harus bicara apa.
Cassian menatapnya, tetap dengan ekspresi datar yang membuat Aveline makin sulit menebak isi kepalanya.
“Seperti yang kita berdua tahu, kita nggak saling cinta,” ucapnya pelan namun mantap. “Aku nikahin kamu karena papa kamu yang minta.”
Crash..
Aveline seakan mendengar suara remasan di jantungnya, ia nyaris berhenti bernapas. Ucapan itu menghantam tepat ke ulu hati.
Ia tahu… Ia sangat tahu alasannya. Tapi mendengar Cassian mengatakannya dengan begitu gamblang… tanpa ragu dan tanpa beban… itu lain cerita.
Vincent Rinaldi
Papanya langsung memenuhi pikirannya. Pria yang begitu ia hormati, begitu keras kepala, dan begitu mengagumi Cassian. Papa melihatnya sebagai sosok sempurna—cerdas, ambisius, dan tangguh. Bahkan lebih layak memimpin perusahaan keluarga dibanding dirinya atau Aurora, adik bungsunya.
Dan sekarang, saat Papa sedang sakit dan perusahaan di ambang krisis, pernikahan ini adalah satu-satunya jalan yang Papa yakini.“Terus… gimana sama Papa?” tanya Aveline, suaranya terdengar rapuh. Wajah Papa yang terbaring lemah di rumah sakit terlintas begitu jelas di kepalanya.
Cassian menatapnya sekilas. “Tenang aja. Selama setahun ini, aku bakal cari cara buat bujuk Papa kamu dan selesain masalah perusahaan. Setelah itu, kita cerai.” suaranya tetap tenang
Sederhana dan sesantai itu ia bicara tentang perceraian.
Sementara Aveline...
Kepalanya kacau. Jantungnya tak karuan. Pikirannya menolak, tapi mulutnya bungkam.
Apa dia benar-benar tidak bermaksud untuk bertahan?
Padahal...
Cassian bukan orang asing. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama. Rumah bersebelahan. Tapi kedekatan itu… ilusi. Aveline mengingatnya seperti mengingat cuaca pagi yang kabur, dingin, tapi tak bisa dilupakan.
Remaja laki-laki dengan seragam kusut, langkah terburu-buru, dan sorot mata yang membuat dunia terlihat seperti beban. Dia terlalu cepat dewasa. Terlalu banyak luka yang Aveline tak tahu namanya. Cassian hidup bertiga dengan ibunya dan adik perempuannya, sebelum sang ayah datang dan perlahan mengubah hidup mereka.
Sekarang, keduanya duduk dalam satu ruang yang sama. Suami-istri, katanya. Tapi rasanya... asing.
Aveline menunduk, menatap kontrak pernikahan yang tergeletak di meja. Lembar kertas itu seolah menertawakannya.
Ia tahu keputusan ini tak mudah. Tapi lebih dari itu, ia tahu dirinya tak punya pilihan.
Tatapan Cassian yang tajam, ucapan Papa yang mengikat, bahkan perasaannya untuk Cassian… semuanya menjeratnya.
Dengan napas berat, ia mengambil pulpen. Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya tanda tangan itu tergores di atas kertas.
Cassian mengambil dokumen itu. Tak ada sepatah kata pun. Hanya langkahnya yang terdengar perlahan, menjauh dari ruang tamu menuju ruang kerja yang berada tepat di sebelah kamar utama mereka.
Rumah besar itu sunyi. Hadiah pernikahan dari papanya. Kamar utama di lantai dua, berdampingan dengan tiga ruangan lain. Satu sudah diubah menjadi ruang kerja. Dua sisanya kosong. Aveline tahu ruangan-ruangan itu disiapkan Papa untuk cucu-cucunya kelak.
Tapi sekarang?
Bahkan membayangkan ada masa depan saja terasa menyakitkan.
Aveline duduk terpaku. Napasnya berat. Matanya mulai panas, tapi ia menahan semuanya.
Kenapa gue setuju?
Pertanyaan itu mengambang di kepalanya, menggantung bersama segala rasa yang tak bisa ia kenali—bingung, kecewa, dan kosong.
Dengan napas berat dan kepala yang masih penuh dengan sisa konflik tadi, Aveline menginjak pedal gas mobilnya dengan perlahan.
Langit sore berwarna kelabu. Dan sejujurnya, suasana itu cocok dengan suasana hatinya.
Ia mengendarai mobilnya sendiri, seperti biasa. Mandiri bukan lagi pilihannya, tapi tuntutan untuknya.
Koridor rumah sakit dipenuhi bau disinfektan dan terasa sunyi, sampai sebuah suara menyentaknya dari lamunan.
“Ave? Kamu ke sini? Suami kamu mana?”
Natalia Rinaldi, Mamanya, muncul dari ujung lorong, menenteng paper bag kosong yang diduga Aveline adalah sisa makan siang orang tuanya. Senyum di wajah mamanya tampak lembut, hingga tanpa sadar Aveline ikut tersenyum.
Eh.. tapi.. suami?
Aveline meringis. Ia betul-betul lupa dengan kewajiban istri yang harus terus laporan setiap akan keluar rumah. Ingatkan Aveline jika lain kali hal ini terulang.
“Aku mau jenguk Papa, tapi... lupa ngabarin Kak Ian,” ucapnya pelan.
Natalia hanya mengangguk pelan. Maklum pasutri baru, masih berusaha beradaptasi.
“Papa di dalam sendiri, Ma?”
“Iya, Papa lagi sendirian. Temenin sebentar, ya.”
Aveline mengangguk, setelahnya membawa tubuhnya memasuki kamar rawat sang Papa. Tidak ada yang perlu dicemaskan kata dokter. Papa Vincent hanya tidak boleh terlalu lelah dengan aktivitas yang berat. Tubuhnya tidak lagi sebugar dulu.
“Cassian mana, Ave?” suara Papa Vincent menyambutnya.
See?
Bukannya menyambut putrinya, beliau justru menanyakan Cassian. Gak usah ragukan kasih sayang Vincent Rinaldi pada Cassian, deh. Tapi buah tak jatuh dari pohonnya, kan? Aveline juga sama tergila-gilanya pada suaminya.
Dengan sedikit mendengus, Aveline duduk di kursi samping ranjang.
“Kak Ian di rumah, Pa. Aku lupa ngabarin…”
Alis sang papa langsung mengerut.
“Jadi kamu ke sini tanpa minta izin suami kamu?”
Aveline meringis. Bukan karena merasa bersalah. Di depan tadi, ia sudah menyadari kesalahannya dan akan memperbaikinya, kan? Aveline meringis karena tiba-tiba saja, jari Papa Vincent mendarat di kepalanya.
Refleks, Aveline mengusap bagian yang sakit sambil meringis.
“Aww… sakit, Pa.”
“Kamu itu udah istri orang, Ave. Apa pun sekarang harus dibicarakan bareng suami. Paham?”
Aveline mengangguk, nyaris tak bersuara.
“Nggak jalan-jalan atau honeymoon sama Cassian?” Nada suara Vincent berubah. Penuh harap, seperti seorang ayah biasa yang ingin tahu cerita manis dari awal pernikahan anaknya.
Aveline hanya menggeleng.
“Nggak ada rencana, Pa…”
Tarikan napas Vincent terdengar berat.
“Papa tahu hubungan kalian gak seperti pasangan suami lainnya. Tapi… cinta bisa tumbuh, kan?”
Suara itu nyaris seperti doa. Dan Aveline ingin menangis karenanya.
“Setelah semua yang Papa korbankan, masa kalian nggak bisa berusaha sedikit aja?”
Aveline menunduk. “Aku ragu, Pa…” Ia ingin bicara lebih. Tentang Cassian yang begitu jauh. Tentang rasa yang tumbuh sendirian.
Tapi kemudian—
“Papa gak mau tahu.” Suara itu dingin. Datar. “Kamu harus bisa bikin Cassian jatuh cinta sama kamu.”
Dan di detik itu juga, Aveline merasa seperti remaja tujuh belas tahun yang dikalahkan lagi oleh ambisi orang tua.
“Ini kontribusi kamu ke perusahaan, Ave. Karena dulu kamu gagal penuhi harapan Papa.”
Rasanya lebih menghantam daripada kontrak pernikahan pagi itu.
Dulu…
Saat Aveline memilih Arsitektur dan bukannya Manajemen, impian sang papa hancur. Dan sejak itu, hubungan mereka tak pernah sembuh benar. Vincent Renaldi adalah pria ambisius. Dalam kamusnya, keluarga dan perusahaan adalah satu tubuh. Dan Aveline... adalah bagian yang dianggap lemah.
Pernikahan dengan Cassian bukanlah sakral. Itu strategi. Itu jalan keluar yang Papa Vincent paksa masuk ke dalam hidupnya.
Dan sekarang, luka lama itu disayat lagi. Pelan, tapi pasti.
Suara Mama Natalia muncul, mencoba mencairkan suasana. Tapi Aveline sudah terlalu penuh.
Ia pamit. Keluar dari kamar rawat dengan dada sesak dan langkah berat.
Ia ingin mencari udara segar dan ketenangan.
Taman kecil di depan rumah sakit jadi pelarian sementara. Ia duduk di bangku kosong. Angin sore menggerakkan dedaunan, tapi tak sanggup menggeser sedikit pun kekacauan di dalam dirinya.
Beberapa menit berlalu. Hening. Tapi pikirannya tak berhenti.
Mungkin Papa benar…
Ia menggigit bibir bawahnya.
Gue harus liat dari sisi Papa. Siapa yang bakal nerusin perusahaan kalau bukan gue atau Aurora? Perusahaan itu yang ngasih makan keluarga gue.
Senyum muncul di wajahnya. Tipis. Bukan senyum bahagia, tapi pasrah.
Ia menarik napas panjang. Menutup matanya sejenak.
Kalau ini jalannya… gue coba jalanin aja.
Bukan buat Papa.
Bukan buat reputasi perusahaan.
Tapi buat dirinya. Buat kesempatan kecil yang masih tersisa untuk menarik Cassian. Untuk… balik mencintainya.
Satu tahun... waktu yang Kak Ian kasih. Dan satu tahun cukup buat nembus tembok setebal apa pun, kan?
Satu tahun itu.. Waktu yang cukup… untuk bikin Cassian jatuh cinta.
Lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke sekeliling ruang makan yang luas namun terasa sunyi. Di tengah meja makan berlapis marmer, dua piring hampir bersih. Hanya bunyi sendok dan garpu dari sisi kanan meja yang memecah keheningan.Nicholas menyuapkan potongan daging ke mulutnya tanpa benar-benar merasa lapar. Tatapannya kosong. Tapi tangannya tetap bekerja, seolah rutinitas makan malam ini adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia kontrol.Papi Bayu duduk di seberangnya, mengamati diam-diam. Ia bersandar, meletakkan serbet makan di pangkuannya sebelum membuka percakapan.“Kamu beneran nggak mau tahu kabar dari istrimu?”Nicholas tak menjawab. Hanya mengunyah pelan, lalu meneguk air putih.“Rora gak pulang ke rumah kalian. Ke rumah orang tuanya juga nggak. Kamu nggak penasaran dia di mana?”“Dia udah dewasa. Bukan tanggung jawabku kalau dia mutusin pergi tanpa bilang.” Ucap Nicholas acuh tak acuh.Meskipun terdengar dingin, Papi Bayu tahu… ketenangan putranya hanya alibi u
“Kak Rora bikin rencana apa lagi buat ngelindungin psikopat itu?”Pertanyaan itu menusuk seperti sembilu. Tanpa basa-basi. Tadinya Adelia ingin berbicara tentang kekhawatiran keluarga mereka pada Aurora. ingin membujuk perempuan itu untuk memberi kabar pada orang tuanya. tapi saat mendengar pembicaraan Aurora dengan seseorang di telfon, Adelia merasa kecewa dan marah pada adik dari kakak iparnya ini.Aurora tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah ia sudah mengantisipasi pertanyaan semacam itu sejak lama.“Gue gak ngelindungin dia, Del.” Tapi bohong. Mana bisa Aurora membiarkan cinta pertamanya menderita di penjara?“Kakak masih percaya dia bisa sembuh. Itu sama aja.”“Del—”“Dia nyakitin Kak Ave. Kakak tau itu, kan? Dan dia... nyakitin Bang Ian juga.” Suara Adelia mulai bergetar, meskipun wajahnya tetap dingin. &ldquo
Nicholas didorong masuk dengan paksa di ruang kerja Papi Bayu. Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Aroma kayu tua dan cerutu menggantung di udara.Papi Bayu berdiri membelakangi jendela, tangan di balik punggung. Ia tak menoleh saat mendengar langkah masuk."Keluar semua," ucapnya, pelan tapi tajam.Rey dan anak buahnya mengangguk, meninggalkan ruangan. Pintu ditutup rapat.Nicholas berdiri kaku, napasnya masih berat. “Papi mau apa sekarang? Mau ikut-ikutan ngehajar aku kayak mereka?”Papi Bayu perlahan berbalik. Sorot matanya tajam, tapi bukan kemarahan yang terpancar, melainkan kekecewaan yang mendalam.“Papi udah tahan. Berkali-kali.” Suaranya nyaris berbisik, tapi tajam seperti belati. “Tapi kali ini… kamu benar-benar sudah melewati batas.”Nicholas mencibir. “Jadi papi percaya mereka? Bukannya anak kandung sendiri?”“Pap percaya bukti.”&l
“—Kita jalanin rencana kedua,” potong Cassian, tenang tapi tegas.Ada keheningan singkat sebelum Papa Vincent berdiri. Ia mengambil jasnya yang tergantung di belakang kursi.“Papa mau percayakan ini ke cara yang damai dulu, Ian. Kita dateng bukan buat cari musuh. Tapi juga nggak akan pulang tanpa kepastian.”Cassian ikut berdiri. “Aku ngerti, Pah.”Papa Vincent menatap Cassian, menepuk bahunya pelan. “Kamu udah lebih dari sekadar menantu. Terima kasih udah jagain anak-anak Papa.”“Ini bukan apa-apa dibanding yang udah Papa lakuin buat keluargaku. Dan sejak menikah dengan Sera, aku juga udah jadi anak Papa.”Papa Vincent hanya tersenyum kecil, walau wajahnya masih tegang. “Ayo. Kita berangkat sebelum Papa berubah pikiran dan pengin langsung nyeret Nicholas sendiri.”Cassian mengangguk, lalu mengikuti langkah Papa Vincent keluar dari ruang keluarga.Mob
Kini di dalam kamar hotel tersisa Aurora dan Nicholas. Tadi, Hans sudah membantu membawa Nicholas kembali ke ranjang. Pria itu masih tak sadarkan diri, napasnya lambat namun teratur, sementara tubuhnya dipenuhi memar dan darah kering di sudut bibirnya.Aurora duduk di sisi ranjang dengan baskom air hangat dan kain bersih. Tangannya gemetar saat ia memeras kain itu dan mulai mengusap lembut pelipis Nicholas yang lebam.“Apa sih sebenernya yang kamu cari?” bisiknya nyaris tak terdengar.Meskipun baru saja mengetahui segalanya, rasa cintanya yang sangat dalam itu tidak bisa membiarkannya mengacuhkan suaminya. Tak tega rasanya meninggalkan sang suami dalam keadaan tidak baik-baik saja.Tangan Aurora bergerak ke dada Nicholas yang penuh luka pukulan. Perlahan, ia membersihkannya dengan kain basah.“Kamu tahu gak?” ucapnya lirih, “aku bisa saja ninggalin kamu detik ini juga. Tapi kenapa hatiku tetap milih buat tinggal?”Nicholas bergeming.Aurora menunduk. Air matanya akhirnya jatuh, satu p
“Lo… sialan!”BUG.Cassian menghantamkan kepalan tangannya tepat ke wajah Nicholas. Aurora menjerit tertahan.Cassian menarik tubuh Nicholas ke bawah tempat tidur, memukul pria itu membabi buta untuk meluapkan kemarahannya. Bahkan Nicholas tidak sempat menghindar, apalagi melawan.“Berani-beraninya lo rencanain itu, breng**k!”“Bang, stop!” Aurora meraih Cassian, menarik kerah bajunya dengan panik. Tapi Cassian tak bergeming. Nafasnya menggebu, seperti binatang buas yang baru saja mencium darah.“Bang, please! Jangan kayak gini!” suara Aurora pecah. “Lo bisa bunuh dia!”Cassian tetap menghantam. Sekali. Dua kali. Sampai buku jarinya memerah, dan Nicholas terbatuk keras, tubuhnya meringkuk dalam usaha melindungi diri.Aurora mengguncang bahu Cassian, air matanya meluruh deras. Ia sungguh tidak tega melihat suaminya dipukuli seperti ini. “Kita udah sepakat gak ada lagi yang kayak gini, Bang.”Tanpa repot membalas ucapan Aurora, Cassian bergeming. Baginya, meluapkan emosinya dengan mengh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments