Tatapan Nadira menusuk, tajam seperti pisau yang baru diasah. Ia menatap Lukas seolah kata-katanya tak pantas ditawar.
“Kalau gitu, suruh dia pergi,” ucapnya dingin, nadanya padat, tegas, tak meninggalkan celah.
Sejenak ia melirik ke sekeliling, ke arah para staf yang tak sadar sejak tadi menyaksikan drama itu seperti penonton sinetron tanpa suara.
Ekspresinya berubah, matanya menyapu satu per satu wajah yang langsung gugup berpura-pura sibuk.
“Yang dari tadi nonton drama, kerja sana,” suaranya serak tertahan, seperti batu yang digerus pelan-pelan.
“Dan satu lagi, kalau ada yang ngomongin kejadian hari ini keluar kantor, langsung gue pecat.”
Tak perlu diulang dua kali. Semua kepala menunduk, kursi berderit saat tubuh-tubuh buru-buru kembali ke meja masing-masing.
Ruangan yang semula riuh dengan napas yang tertahan itu mendadak sunyi, hanya suara AC yang menggigil di dinding.
Nadira melangkah
Nadira menatap layar laptop yang perlahan meredup, lalu menekan tombol untuk mematikan kameranya.Satu tarikan napas pendek lolos dari bibirnya, seperti menyingkirkan sisa-sisa beban yang tak kasatmata.Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan sisa bara.“Nggak apa-apa,” ucapnya akhirnya, suaranya ringan namun tajam seperti bilah tipis, “lebih baik tahu sekarang daripada nanti. Setelah tahu sifat aslinya Tina, aku nggak akan segan-segan lagi.”Di seberang, Tama hanya mengangguk kecil, suaranya terpantul samar lewat speaker. “Tina itu nurun sifat buruk dari ayahnya. Cemburuan, dan nggak tahan lihat orang lain lebih sukses. Tapi Veronika, dia beda, kan?”Nadira mengangkat bahu, tubuhnya tenggelam di sofa abu-abu yang empuk, seperti hendak larut dalam ketidakpastian.Helaan napasnya menyatu dengan aroma kopi yang baru diseduh.“Aku juga nggak tahu pasti soal yang lain,” lanjut Tama, nada suaranya lebih berat kini, seolah kata-kata i
“Kamu tahu nggak, dia nyuruh aku berlutut semalaman di kamar mandi!”Suara Tina meledak di udara, penuh drama dan luka yang dipamerkan. Ia mengangkat bagian bawah celananya, memperlihatkan lutut yang tampak kemerahan dan sedikit bengkak.“Lihat ini! Bengkaknya belum turun! Terus dia maksa aku hafalin seratus aturan keluarga! Seratus, Ver! Belum cukup sampai di situ, dia juga ngancam mau pakai cambuk! Ini tuh bukan rumah, ini penjara berlapis marmer!”Ruangan itu penuh nuansa mewah, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. Jendela tinggi dibiarkan tertutup tirai tipis berwarna gading, cahaya sore merambat perlahan, memantul di lantai kayu mengilap.Di pojok ruangan, Veronika duduk di sofa berlapis beludru biru keabu-abuan, tubuhnya kaku, matanya berkedip pelan menatap Tina yang gelisah.Sementara itu, di ruang pengawasan yang tersembunyi di balik panel kayu perpustakaan, Tama tertawa pendek, menepuk ringan bahu Nadira.“Wah, kejam juga kamu ya. B
“Aku berpikir... bisakah kita ajak Veronika ke Rose Garden beberapa hari? Dia sebentar lagi lulus kuliah, dan rasanya sudah lama kami tak kumpul. Aku kangen padanya,” ujar Tina pelan, tapi ada nada manis yang terdengar terlalu matang untuk ketulusan yang sebenarnya.Nadira menatapnya tajam, pupil matanya seperti mengiris. “Setahuku, hubungan kalian biasa saja. Bahkan sejak kecil kalian saling iri.”Tina terkekeh pendek, ringan namun berusaha terdengar tulus. “Ah, itu kan dulu. Namanya juga sepupu, wajar saling ribut. Sekarang kami sudah dewasa, harusnya bisa saling mendukung, kan?”Nadira tak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Tina dengan diam yang berat. Ada senyuman licik yang muncul di sudut bibir sepupunya itu, terlalu halus untuk disebut lelucon, tapi cukup mencolok bagi siapa pun yang tahu sejarah keluarga mereka.Ia menghela napas dalam hati, dalam sekali, seperti mengumpulkan kesabaran yang baru.&ldqu
Tatapan Mahesa tetap tenang di permukaan, seperti permukaan danau di pagi hari, tapi dalam sorot matanya yang tajam ada kilatan waspada yang tak bisa disembunyikan.Ia sudah terlalu mengenal pola gerak keluarga Halim, keluarga yang tersenyum saat menggenggam pisau di balik punggung.Walau wajahnya tak menunjukkan kepanikan, ada kegelisahan halus yang merambat di relung batinnya.“Suruh orang kita awasi gerak-gerik mereka. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan. Termasuk dari pihak Nadira,” ucapnya pelan namun mantap, suaranya seperti bara yang tak berasap.“Kirim beberapa orang ke sana untuk berjaga.”“Siap, akan saya atur sekarang juga,” Rafael menjawab cepat, lalu bergegas keluar dengan langkah yang terdengar mantap di lorong marmer.Malam telah menggulung langit Jakarta dalam selimut kelabu keperakan. Di luar, angin meniup dedaunan kering yang tertinggal di sudut taman, sementara lampu-lampu taman redup berkelip seperti bintang yang
Mahesa duduk membisu di ujung sofa panjang berlapis kulit, tubuhnya tenggelam setengah dalam permukaan empuk berwarna gelap yang menyatu sempurna dengan kemeja hitam yang membalut tubuhnya.Ruangan itu redup, hanya diterangi cahaya kuning lembut dari lampu gantung klasik yang menggantung rendah di atas meja kopi.Aroma kayu manis dari diffuser di sudut ruangan samar tapi konsisten, seperti penanda tak kasatmata akan kuasa yang terpatri di dalam ruangan itu.Di seberangnya, Susilo berdiri tegang, dengan wajah yang berusaha keras tetap ramah, meski urat-urat lehernya menegang jelas.Di sisi lain, Bima masih menunduk, pipinya memerah oleh bekas tamparan yang baru saja mendarat dari tangan ayahnya sendiri.Suara tamparan tadi masih terasa bergaung, meskipun sudah berlalu beberapa menit. Ia tidak menangis, tapi matanya berkaca, dan jemari tangannya mengepal tanpa arah.Mahesa tak berkata apa-apa. Ia sekadar mengamati. Tatapannya tajam dan datar,
Setelah saling melempar canda seperti biasa, suara Tama mendadak berubah nada. “Oh iya, Gilang tadi nelepon,” ucapnya, suaranya seolah menurunkan suhu percakapan.“Katanya syutingnya sebentar lagi kelar. Dia bakal pulang beberapa hari lagi. Kamu enggak perlu khawatir soal Wulandaru Starry Media. Dia yang akan handle semuanya.”Nadira menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak. Rasanya seperti menghela napas yang sejak tadi tertahan.“Syukurlah kalau dia pulang,” ujarnya pelan, meski tetap berusaha terdengar tegar. “Tapi aku juga bisa kok ngurus Wulandaru. Tapi ya sudah lah, nanti aja aku omongin langsung sama dia.”Nada suaranya berubah, melembut, tapi juga menyiratkan kelelahan yang tak ia sembunyikan lagi. “Ada lagi yang mau kamu bilang, atau aku tutup teleponnya?”Ada jeda. Lalu Tama bicara lagi, lebih ragu kali ini. “Sebentar, satu hal lagi… Aku baru dapet kabar, dan enggak yakin harus bilang atau nggak…”Dahi