Share

10. SAH!

      Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.

Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.

Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat itu juga semuanya menegang.

Melihat itu Pak Arsan menarik Alin untuk lebih dekat dan membisikkan sesuatu pada Alin selama beberapa detik. Ketika Pak Arsan bertanya satu kali lagi, barulah Alin mengangguk walau tanpa berkata iya. Semuanya tersenyum lega, kecuali Ibu Siska. Beliau hanya memandang datar seperti tidak minat.

Setelah acara lamaran yang sangat sederhana itu, Om Adi langsung mengalihkan topik menuju ke tanggal pernikahan. Beliau bilang ingin di segerakan, mengingat usia Pak Arsan yang sudah agak-agak tidak muda lagi yaitu 30. Hehehe.

Karena aku belum siap, aku meminta waktu satu bulan untuk menegaskan hati dan menenangkan fikiran. Akhirnya Om Adi setuju. Dan tanggal pernikahan jatuh pada bulan depan, tanggal dua.

Untuk masalah perasaan, jujur aku tidak terlalu tahu perasaanku sendiri terhadap Pak Arsan. Setiap kali mendengar Pak Arsan memanggilku dengan 'Nawang' entah kenapa hatiku berbuah-buah. Apa iya, aku sudah mulai suka dengan Pak Arsan? Masa?

Tapi, nggak herah sih... Secara, tampang Pak Arsan kece badai walaupun usianya sudah 30 tahun, gimana aku mau nolak coba? Mataku ini mata-mata lelaki tampang ganteng tanpa memperdulikan dompet enteng. Buatku harta nggak penting-penting amat, selagi masih bisa dicari. Hamish Daud saja kalah kayaknya. Sebenarnya aku agak heran dengan tampang Pak Arsan. Dia hampir setiap hari marah-marah tapi sama sekali tidak membuat wajahnya terlihat tua. Mungkin karena kulit putihnya kali yak, yang membuatnya agak awet muda.

Dibandingkan dengan Arman, mungkin sebelas duabelas. Mereka sama-sama punya kulit putih, apalah dayaku yang memiliki kulit sawo bosok keturunan Papa.

Ah, hitam-hitam begini juga aku punya mantan. Bahkan ada yang bersedia menikahi aku. 

“Kawin, Kawin, bulan depan Nana kawin! Cie... Bentar lagi....” raut wajahku seketika berubah. Menoleh ke kursi sisi kanan, kulihat Mbak Mila cengengesan sendiri.

Ingin sekali menjambak hijab dan perut buncitnya. Tidak habis-habisnya dia mengejekku. “Diem lo!” bentakku.

“Nana, ngomongnya...” Mama masuk ruang makan sambil membawa nasi goreng.

“Mana nih cincinnya? Gede nggak?” Mbak Mila mencari-cari tangan kiriku yang sengaja aku masukkan kedalam kaos. Tingkahnya yang sedikit kekanakan membuatku jengah. Karena tidak tahan akhirnya aku beranjak pergi. Persetan untuk sarapan. Kalau sudah ada Mbak Mila aku jadi malas makan dan nafsu makanku juga seketika hilang.

Masuk ke kamar, aku menemukan Fika tengah menuncir rambut didepan cermin. Tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Ketika dia menyadari keberadaanku, tubuhnya langsung berbalik menghadapku.

“Aku mau berangkat sekolah, Teteh ada yang mau di sampaikan buat Pak Arsan?”

Mataku menatapnya jengkel. Dasar anakkonda!

“Udah sana ah, keluar. Teteh mau tidur!” aku mendorong tubuhnya keluar dari kamar dan menutup pintu keras-keras.

***

    Seminggu, dua minggu, tiga minggu telah berlalu. Tinggallah satu minggu lagi waktuku untuk menjadi seorang gadis, sebelum akhirnya menjadi istri.

Tepat pada hari minggu ketiga ini, Pak Arsan mengajakku pergi ke sebuah toko perhiasan. Dan, disinilah aku sekarang. Di toko emas bersama Pak Arsan, calon suamiku.

“Jadi kamu pilih yang mana?”

Aku tersentak mendengar tegurannya. Pandangan yang semula kabur kini kembali memandang dua cincin yang berpasang-pasangan didepanku dan aku harus memilih salah satunya. Tapi aku tidak bisa memilih. Keduanya sama-sama bagus. Andai aku punya uang lebih, pasti akan aku beli satu yang untuk perempuannya saja.

“Yang putih polos deh!” jawabku gusar.

“Yang putih polos tolong di bungkus ya, Mbak.” ujar Pak Arsan pada pegawai toko emas ini.

Aku memandang sedih pada cincin yang tidak kupilih. Dia sudah dimasukkan kedalam etalase kembali. Ya Tuhan... Semoga aja nggak ada yang beli itu cincin.

     Usai memilih cincin, Pak Arsan membawaku ke restoran untuk makan siang. Setelah kupikir-pikir, semakin dekat dengan hari pernikahan entah kenapa Pak Arsan agak-agak berlaku baik padaku. Apa iya, ini adalah sifat aslinya? Jika iya, tidak heran pada Mamanya Alin kenapa dia mau dengan Pak Arsan. Bahkan sampai memproduksi Alin.

Sambil menunggu pesanan datang, aku menyeruput jus jeruk. Belum juga sampai ke tenggorokan, aku langsung menyemburkan minumanku ke depan. Perbuatanku membuat kemeja Pak Arsan basah. Aku melotot tidak percaya pada pasangan yang tengah berdiri di belakang Pak Arsan, mereka sedang berbicara pada salah seorang pelayan restoran ini.

Demi apa! Dari semua orang yang aku kenal, kenapa harus Arman dan Emily yang kebetulan masuk ke restoran ini? Kenapa tidak Zahra dan Mas Ridwan saja?

“Nawang, apa yang kamu lakukan?!”  kudengar Pak Arsan menggeram tertahan padaku.

Ketika mata Emily memutar untuk memandang sekeliling restoran, aku buru-buru menarik paksa tangan Pak Arsan dan keluar dari restoran ini. Tidak peduli pada pramusaji yang memanggil-manggil kami karena pesanannya sudah sampai.

Pak Arsan menyentak tanganku ketika kami sudah sampai di parkiran. “Apa-apaan sih kamu? Sengaja mau buat saya malu?” suaranya meninggi.

Ternyata aku salah menilai sifat baiknya belakangan ini. Dia akan baik hanya kalau sedang berada pada mood baik saja.

Setelah menyemprotku dengan suara kerasnya, dia berbalik dan masuk ke restoran kembali. Entah apa yang akan dia lakukan disana, mungkin saja membayar pesanan kami dan sekalian membersihkan noda-noda membandel di kemejanya yang diperbuat olehku.

Sekitar lima menit, dia kembali di hadapanku dengan ucapan memalukan. “Kamu terlalu berlebihan, Nawang. Dia mantan, bukan musuhmu.”

Kurang ajar banget memang. Bagiku mantan adalah musuh. Musuhku adalah mantan. Tidak mau ribut di parkiran, mengajaknya untuk pulang.

    Di dalam mobil, aku diam tidak berkutik. Sesekali mencuri pandang pada Pak Arsan yang kini serius mengendarai. Kalau lagi diam begini, Pak Arsan kelihatan tambah ganteng. Wajahnya bersih terawat, membuatku sebagai wanita menjadi iri.

“Saya nggak nyaman dengan pandangan kamu.”

Segera kupalingkan bola mata kearah jendela. Jantungku berdegup kencang tertawan basah sedang memandangnya.

Ketika mobil Pak Arsan berhenti tepat di depan garasi rumahku, segera aku membuka pintu dan keluar. Hendak melangkah masuk, namun Pak Arsan menghentikannya dengan kalimat,

“Nanti sore saya ke rumah kamu lagi. Kita ke makam istri saya.”

Kepalaku mengangguk cepat dan segera masuk.

“Lhoh, kamu kok pulang sendirian?” pertanyaan pertama terlontar dari mulut Mama ketika aku baru saja membuka pintu.

“Pak Arsan buru-buru, Alinnya rewel.” dustaku.

Mama geleng-geleng kepala, menyerocos tentang Alin yang kenapa tidak ikut saja. Sejak Pak Arsan resmi melamarku, Mama meridhoi aku dengan Pak Arsan. Beliau juga sekarang sudah tidak lagi menjodoh-jodohkanku dengan anak teman pengajiannya.

Ketika aku duduk di kursi meja makan, Mama ikutan duduk di depanku.

“Kamu belajar panggil Arsan pake Mas dong, Na. Sebentar lagi kan status kalian bukan mantan murid dan mantan guru lagi. Suami istri lhoh.” katanya.

“Iya nanti aku coba.”

“Sekarang, Nawang Wulan!”

Aku menghela napas sambil menutup mata lantas berteriak, “Mas Arsan...!” kulihat Mama menutupi kedua telinganya. Dengan tawa mengglegar aku beranjak pergi.

***

     Satu bulan telah lewat. Hari Senin, tepatnya tanggal satu bulan april, aku dan Pak Arsan akan melangsungkan resepsi ijab qabul yang bertempat di rumahku sendiri.

Saat ini aku tengah duduk terdiam di depan cermin. Wajahku sudah dirias layaknya pengantin. Kebaya pink melekat indah pada tubuhku. Berkali-kali aku melebarkan mata, karena sedikit terganggu dengan bulu mata palsu yang terasa berat. Seumur-umur, selama aku mengenal yang namanya make-up, baru kali ini aku menggunakan yang namanya bulu mata palsu.

Tubuhku menegang kala mendengar suara Pak Penghulu membacakan ijab qabul untuk Pak Arsan ikuti nantinya.

“Saya terima nikahnya Nawang Wulan binti Bapak Abdullah dengan emas kawin tersebut dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!” Pak Arsan mengucap ijab qabul dalam sekali.

“Bagaimana para saksi? Sah?”

“Sah!

“Sah...!

“SAH....!!”

     Jika biasanya para mempelai akan meneteskan air mata kala mendengar kalimat itu, maka aku tidak. Usai mendengar itu aku memutar bola mata sambil menghela napas panjang. Akhirnya aku bisa lepas dari jagaan Mama dan Papa. Dan sekarang aku akan menjadi seorang Ibu dan istri. Iihh, kok jadi geli, ya?

Aku tersentak ketika melihat pintu terbuka, Mama, Zahra dan Fika masuk. Mereka menghambur memelukku sambil mengucap selamat. Berusaha keras aku melepas para tubuh-tubuh berat itu.

“Ayo, sekarang kamu dipersilakan untuk keluar. Arsan sudah nunggu.”

Lengan kanan dan kiriku di genggam oleh Mama dan Zahra sedang Fika bertugas membawa buntutku dibelakang.

    Aku di persilakan duduk, menandatangani surat nikah, saling tukar cincin setelah itu aku mencium punggung tangannya. Riuh tepuk tangan menggema disekeliling kami. Bibirku mencoba melepas senyum kala Zahra sengaja memotretku dan Pak Arsan.

Dari banyaknya kepala yang menonjol, baru kusadari disini tidak ada Alin. Dia sama sekali tidak nampang wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status