Share

11. Gagal Ciuman


      Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.

Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.

“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.

“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.

“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang coba? Padahal make-up waktu ijab qabul juga sebenarnya masih bisa di pertahankan.” kataku.

Iya, resepsinya dimulai jam delapan malam dan aku di rias sejak jam lima sore bahkan sampai saat ini mereka belum menyelesaikan riasannya di diriku.

Ucapan protesku hanya dibalas helaan napas sabar oleh dua perias. Lagi-lagi aku memutar bola mata. Jujur, aku sangat jengah sekarang. Mana sejak siang belum makan! Padahal mau di pajang berjam-jam! Salahkan saja nanti dua perias ini jika aku pingsan di panggung pelaminan.

Cklek...

Mataku yang awalnya intens menatap wajah sendiri didepan cermin kini segera melesat melirik sebuah pintu yang terletak pada sisi kanan kamar hotel ini. Dan entai itu ruangan apa kenapa bisa terhubung. Mataku kontan membola ketika melihat tubuh kecil sedang sibuk mengucek-ucek kedua matanya. Kenapa Alin ada disini?

Alin melangkah mendekat ke arahku masih dengan aktivitas sama yaitu mengucek mata. Bisa kutebak dia pasti baru bangun tidur. Dari baunya saja aku sudah yakin.

“Tante lihat Ayah Alin nggak?” dia bertanya padaku. Suaranya seperti berusaha menahan tangis.

Kepalaku menggeleng. Setelah masuk ke kamar ini beberapa jam lalu untuk mengambil ponsel, dengan mengenakan kemeja putih layaknya pengantin, Pak Arsan keluar dan sampai saat ini belum kembali. Mungkin dia sedang menemui kerabat-kerabatnya yang datang.

Sedetik kemudian tangis Alin pecah. Dia melunturkan tubuhnya, menjadi duduk terlantar diatas lantai. Aku memerintahkan dua perias untuk berusaha menenangkan Alin namun mereka malah kena cakar olehnya. Sedang aku, karena tidak bisa berjongkok karena gaun sialan ini. Aku hanya bisa berusaha membujuknya dengan kalimat-kalimat saja. Namun Alin masih tetap Alin. Dia tidak mau menghentikan tangisnya hingga akhirinya aku dan dua perias hanya bisa memandanginya yang menangis semakin menjadi.

“Telpon Ayahnya saja, Mbak.” ucap salah perias.

Ide bagus!

“Iya deh, ambilin hape saya dong Mbak, di nakas.” pintaku.

Meraih ponsel, aku segera menghubungi nomor Pak Arsan yang untungnya baru beberapa detik tersambung dia dengan pekanya langsung mengangkat panggilan telponku.

“Pak, Alin nangis. Bapak kesini cepetan!” kataku, tanpa salam langsung saja mematikan panggilan.

“Ayah kamu bentar lagi kesini, udah diam. Jangan nangis, nanti ada Polisi kesini.” kataku berusaha membujuk. Bisa pengang ini telingaku. Suara tangisnya itu lhoh, menggema diseluruh ruangan.

Pintu kamar terbuka, Pak Arsan tiba langsung sigap membawa Alin ke gendongannya. Membisikkan sesuatu pada anaknya yang hebatnya langsung diam walau masih agak sesenggukan. Lagian, nangis segitunya memang dia habis diapakan waktu tidur?

“Ta-tadi, tadi Alin ngimpi Bubun nangis, Yah... hiks hiks....”

“Ssttt.. udah, Bubun nggak apa-apa. Cuma mimpi.” Pak Arsan merespon sambil mengelus lembut rambut anaknya.

Selanjutnya Pak Arsan masuk ke ruangan yang sepertinya memang sudah dia rencanakan untuk tidur Alin.

“Mbak, itu tadi anaknya Pak Arsan?” tanya perias. Kepalaku mengangguk.

“Lhah, kenapa panggil Mbaknya pake Tante, bukan Mama?”

Terserah Alin dong mau panggil aku apa! Kenapa sih setiap orang pasti memiliki sifat kepo? Seperti aku, contohnya.

“Belum terbiasa mungkin.” balasku berusaha sabar.

Keduanya manggut-manggut. Lima menit kemudian dua perias itu mengatakan bahwa diriku sudah selesai di rias, mereka lantas keluar dari kamarku setelah tadi cipika-cipiki tentunya.

Pak Arsan nongol secara tiba-tiba membuatku yang tengah asyik tersenyum di cermin sambil memuji kecantikan sendiri langsung terkejut. Aku memandangnya gugup, sedang dia memandangku dengan pandangan..... Aneh?

“Tadi Alin kenapa nangis, Pak?” tanyaku basa-basi, berusaha menghilangkan pandangannya yang memandangku aneh.

“Dia mimpi Bundanya nangis.” jawabnya datar.

Ooh, pantas saja nangisnya melebihi macan betina kekurangan pangan.

“Saya keluar dulu. Telpon saya kalo Alin nangis lagi, ya. Dia lagi tidur.”

Tidur mulu deh, perasaan. Kepalaku mengangguk menjawabnya.

Ketika sebuah pertanyaan teringat di benakku, aku mencegah Pak Arsan yang hendak membuka knop pintu untuk keluar. “Pak, waktu ijab qabul, kenapa Alin nggak ikut?”

“Dia nggak mau ikut.” hatiku tercabik sakit ketika mendengar jawaban miris itu. Apa sebenci itu, dia padaku? Apa salah dan dosaku, Alin? Apa kamu belum sudi Ayahmu menikah lagi? Bulan lalu waktu ditanya Ayahnya boleh menikah lagi atau nggak, kamu jawab mengangguk. Mataku yang terbalut lensa kini sudah menggenangkan air mata.

“....katanya mau tidur aja biar nanti malam bisa begadang di resepsi kita.” Pak Arsan melajutkan jawabannya, membuat kepalaku yang semula menunduk kini jadi mendongak menatapnya dari jarak jauh. “Saya keluar dulu.” katanya lagi lalu pergi keluar.

Tubuhku memutar menatap cermin kembali. Senyum terukir dibibir. Ternyata Alin tidak seperti yang aku pikirkan. Dia menghargai pernikahan Ayahnya dengan aku. Bahkan dia rela tidak ikut resepsi ijab qabul karena harus tidur agar malam nanti bisa ikit party.

***

    Sudah dua jam lebih diriku di pajang dengan Pak Arsan, Orangtua Pak Arsan, Orangtua ku dan Alin, diatas panggung pelaminan. Selain kaki yang sudah lelah menopang tubuh, aku juga lelah menahan rasa malu. Bagaimana tidak malu coba? Pak Arsan ternyata mengundang semua guru di SMA Satu, tanpa terkecuali. Satpam dan bapak kebon saja dia undang. Membuatku perkali-kali lipat menahan malu dan mual.

Aku tahu dia berhak mengundang mereka, karena mereka rekan kerjanya setiap hari. Tapi, nggak semuanya juga dia undang kali! Para guru-guru SMA Satu, satu persatu menyalamiku sambil mengucapkan kalimat selamat dan sebagainya sampai menjerumus ke ; semoga cepat punya momongan, ya.

“Pak, masih lama ya selesainya?” tanyaku pada Pak Arsan. Nggak mungkin juga aku tanya pada wanita yang berdiri disebelah kananku. Dan, males juga sebenarnya ngomong sama beliau.

“Sudah jadi istri kok nggak ada sopan-sopannya. Arsan itu suami kamu bukan Bapak kamu! Panggil yang sopan.” Bu Siska alias Mama mertua nyinyir menyeletuk.

Suka-suka aku dong mau panggil Pak Arsan apa.

Dengan segenap rasa sopanku, aku mengulang pertanyaan pada Pak Arsan. “Acara resepsinya masih lama ya Mas, selesainya?”

“Sebentar lagi, teman-teman arisan Mama belum datang.” Mama mertua yang jawab.

Bola mataku memutar jengah. Ya Tuhan, kenapa aku harus memiliki Ibu mertua seketus itu? Apa salahku?

“Yah, Alin mau ke Kak Fara Fira, ya?” tanya Alin, dia berdiri di tegah kami. Tangannya menunjuk pada keluarga Mbak Nina, tepatnya pada anak kembarnya Mbak Nina yang tengah asyik makan.

Pak Arsan mengangguk.

***

     Aku menatap wajahku didepan pantulan cermin dengan balutan mukena putih pemberian dari Pak Arsan beberapa jam lalu. Setelah resepsi usai pada pukul setengah dua belas, kini kami akan melaksanakan solat pengantin dua rokaat. Sambil menunggu Pak Arsan selesai wudhu, aku menyiapkan dua sajadah.

Pintu kamar mandi terbuka, kulihat Pak Arsan sudah mengenakan sarung. Dia meraih baju koko diatas kasur lalu mengenakannya.

Kami pun melaksanakan solat pengantin. Usai salam, dia memimpin do'a yang diakhiri dengan kata amin. Lalu dia menggeser duduknya menjadi menghadap kearahku. Dia mengangsurkan tangannya untuk salaman. Malu-malu aku mencium punggung tangan Pak Arsan. Selanjutnya kedua tangan Pak Arsan menangkup kepalaku, dia membacakan do'a, tepat didepan keningku.

Mataku menatap bibirnya yang komat-kamit serius sambil menutup mata. Jantungku berdetak kencang melihat keseriusannya, tidak kuat, akhirnya aku menurunkan pandangan kebawah.

Sesuatu yang basah telah menempel di tengah keningku. Segera bola mataku menatap keatas dan melotot tidak percaya.

Apaan ini?

Dia mencium keningku! Dan jika tidak salah hitunganku, ciumannya sudah lebih dari tiga detik. Ingin rasanya mendorong dadanya agar menjauh, namun peri kecil telah berbisik mengingatkanku bahwa Pak Arsan sudah sah bagiku. Membuatku urung untuk mendorongnya.

Sekitar tujuh detik, Pak Arsan menjauhkan bibirnya dari keningku. Kami saling tatap, dengan kedua tangan Pak Arsan masih ditempat yang sama yaitu memegangi kepalaku.

“Jangan panggil saya Pak, lagi. Saya suami kamu bukan guru kamu. Belajarlah sopan.” katanya.

Duh, kenapa sih semuanya menegurku hanya karena aku memanggil suami sendiri dengan panggilan, Pak?

Entah dorongan dari siapa, kepalaku mengangguk-angguk lirih.

Dia ikut mengangguk. Pandangan matanya turun kebawah menatap...

Bibirku? Dia menatap bibirku. Lalu kulihat kepalanya sedikit demi sedikit bergerak maju. Mataku membola. Sebagai seorang wanita yang sering nonton drama romance gratisan, aku tahu gerak-gerik. Dia pasti akan menciumku.

Karena dia sudah halal bagiku dan tidak bisa dilarang juga, akhirnya aku pasrah menutup mata saja. Hembusan napasnya membuat sekujur tubuhku panas dingin dan kejang-kejang. Belum lagi jantungku ini. Nasib punya jantung yang gampang baperan, baru dikasih tanda-tanda mau ciuman saja dia sudah memompa lebih cepat dari biasanya. 

“Ayaaaahh...”

Mendengar suara rengek itu. Mataku membuka. Pak Arsan melepas tangannya dari kepalaku. Kami bebarengan menatap sosok Alin disana. Dengan mata tertutup, gadis itu melangkah mendekat kearah kami. Lalu tanpa membuka mata dia mendorong dadaku. Dia duduk di paha Pak Arsan sambil merengek. Mimpi apalagi dia? Mamaknya nangis lagi?

“Alin nggak mau tidur sendiri.... Mau sama Ayah...” rengeknya. Kukira dia mimpi lagi.

Dengan sayang Pak Arsan mengelus-elus rambut anaknya lalu dia berdiri menggendong Alin. Aku ikut berdiri.

“Kamu nggak keberatan kan, Alin ikut tidur disini? Dia nggak berani tidur sendiri. Kami selalu tidur bersama.” ungkap Pak Arsan.

Kepalaku menggeleng. “Nggak kok. Aku juga nggak berani tidur sendiri. Dirumah selalu tidur bareng Fika.” kataku, malah curhat.

Dua detik kemudian mataku membola menatapnya. Aku segera menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Baru saja aku keceplosan! Ah! Kenapa aku malah membuka kartu sendiri?! Pantas saja dia menatapku tidak percaya.

Pak Arsan geleng-geleng kepala lantas berbalik untuk menidurkan Alin ditengah kasur.

Ah, Alin... Alin... Gara-gara kamu, aku tidak jadi merasakan yang namanya ciuman bibir! Dan gara-gara kamu juga, aku jadi membongkar aib sendiri didepan Pak Arsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status